ADA dua cerita yang ingin saya sampaikan sebagai pembuka tulisan ini. Pertama, cerita tentang seorang pria di Blitar yang tiba-tiba membentangkan poster saat mobil Presiden Joko Widodo beranjak meninggalkan lokasi vaksinasi di area PIPP Kota Blitar menuju makam Bung Karno Selasa (7/9/2021). Pria yang diduga peternak ayam itu membentangkan poster dengan tulisan ”Pak Jokowi, Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar”.
Belakangan pria yang membawa poster tersebut diketahui bernama Suroto. Memang benar seorang peternak ayam. Dia malah diundang ke Istana Negara pada Rabu (15/9) pukul 13.00 guna menyampaikan aspirasi peternak ayam kepada kepala negara.
Kedua, cerita tentang Krisdayanti, penyanyi yang kini menjadi anggota DPR. Krisdayanti bicara blak-blakan soal penghasilan yang diterimanya sebagai anggota Komisi IX DPR RI. Dia membeberkannya dalam video berjudul Nekat, Krisdayanti Berani Bicara Politik di Sini, yang tayang di kanal Akbar Faizal Uncensored di YouTube Senin (13/9).
Perinci Krisdayanti, setiap tanggal 1 (dapat) Rp 16 juta. Tanggal 5 Rp 59 juta. Lalu ada dana aspirasi yang diterimanya setiap reses sebesar Rp 450 juta. Itu lima kali dalam setahun. ”Kami juga harus menyerap aspirasi di setiap 20 titik kehadiran kami,” ungkapnya. Plus dana kunjungan dapil sebesar Rp 140 juta, delapan kali dalam setahun (JPNN.com, Rabu, 15 September 2021 – 09:35 WIB).
Kebuntuan Aspirasi
Dua cerita di atas mengerucut pada satu kata ”aspirasi”. Suroto nekat membentangkan poster hanya karena ingin menyampaikan aspirasi. Pengakuannya, ada kebuntuan menyampaikan aspirasi sebagai peternak. Mengeluh ke berbagai pihak selalu tak memperoleh respons. Akhirnya nekat membentangkan poster di hadapan Presiden Joko Widodo. Responsnya malah di luar dugaan Suroto. Dia diundang ke Istana Negara.
Padahal, seperti dikemukakan Krisdayanti, wakil rakyat kita ini sudah dibekali apa yang namanya dana aspirasi. Tujuannya, wakil rakyat bisa menyerap aspirasi rakyat sebanyak-banyaknya. Kata Krisdayanti, harus menyerap aspirasi di setiap 20 titik kehadiran wakil rakyat. Cukuplah dana aspirasi Rp 2,25 miliar per anggota per tahun. Ditambah dana kunjungan dapil Rp 1,12 miliar.
Dana aspirasi ini memang sempat menuai pro dan kontra. Kali pertama muncul ke permukaan pada 2011. Ketika itu diusulkan Fraksi Golkar DPR. Gagasannya agar setiap anggota DPR diberi jatah alokasi dana sebesar Rp 15 miliar per tahun untuk daerah pemilihan (dapil)-nya. Dana itu akan diambil dari APBN setiap tahunnya. Artinya, merujuk pada jumlah anggota DPR 560 orang (periode itu), besar anggaran untuk dana aspirasi DPR (DAD) tersebut mencapai Rp 8,4 triliun per tahun. Wajar jika saat itu ditentang masyarakat luas dan pengamat politik di dalam negeri. Usul itu pun tidak dilanjutkan.
Namun, di periode berikutnya, 2014–2019, dana aspirasi kembali diusulkan dengan angka lebih besar, yakni Rp 20 miliar, sehingga secara keseluruhan menghabiskan dana APBN Rp 11,2 triliun per tahun. Tujuan dana aspirasi ini adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan, dan percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah yang selama ini dirasakan masih kurang memuaskan. Namun, usul itu ditolak berbagai pihak.
Ketika Krisdayanti mengungkapkan adanya dana aspirasi, seolah kita diingatkan lagi bahwa wakil rakyat (DPR maupun DPRD) punya tugas atau fungsi menyerap aspirasi rakyat. Bermodal dana aspirasi plus dana kunjungan dapil, semestinya kesulitan Suroto di Blitar bisa segera didengar wakil rakyat. Kemudian segera dibawa ke rapat kerja untuk diselesaikan dengan kementerian terkait.
Sayangnya, kesulitan Suroto harus diselesaikan secara nekat. Dia mesti ”berdemo” di hadapan presiden dan sempat ”diamankan” oleh aparat keamanan. Pertanyaan kita bersama, ke manakah wakil rakyat? Etika mewakili rakyat juga dipertanyakan. Seharusnya wakil rakyat itu altruis dan meminggirkan dulu egoisme mereka. Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa mendahulukan dirinya.
Suroto tak sendirian. Banyak cerita kebuntuan aspirasi dialami rakyat di pelosok negeri. Lantas mereka berupaya sendiri, lalu ditayangkan atau diviralkan lewat medsos, barulah aspirasi mereka ada yang mendengarkan. Padahal, negeri kita ini sekarang mempunyai 575 wakil rakyat di DPR. Belum lagi 136 wakil di DPD. Bahkan, ada pula wakil di DPRD.
Salah Arah?
Ketika pro dan kontra dana aspirasi mencuat, muncul pula kekhawatiran publik bahwa dana aspirasi akan digunakan politisi untuk ”membayar balik” konstituennya dalam bentuk bantuan dana untuk proyek-proyek di dapilnya. Pengertian ”membayar balik” di sini adalah membalas dukungan politik yang didapatkannya sebelum dia terpilih. Dukungannya bisa beragam, baik dukungan dalam bentuk suara pemilih (vote) ataupun kontribusi dalam kampanye politiknya.
Jangan-jangan kekhawatiran itu benar adanya. Jangan-jangan salah arah. Dana aspirasi lebih mengarah kepada kelompok konstituennya, sementara aspirasi dari sisi lain tak ditanggapinya. Itulah yang mengakibatkan kebuntuan aspirasi di berbagai tempat. Mudah-mudahan pengakuan Krisdayanti itu membuka mata kita bersama bahwa ada dana aspirasi sebanyak Rp 1,29 triliun dan dana kunjungan dapil Rp 644 miliar per tahun yang harus dipertanyakan pemanfaatannya. (*)
TOTO TIS SUPARTO, Editor Buku, Pengkaji Etika, Peneliti Institut Askara