RUPIAH kita kerap tidak berdaya ketika berhadapan dengan berbagai
mata uang asing, khususnya dolar Amerika Serikat (USD). Sumber masalahnya
memang banyak dan kompleks. Tidak sekadar kecenderungan defisit perdagangan
dengan mitra dagang strategis. Tetapi berbagai pengaruh kebijakan moneter
negara lain, termasuk respons para pelaku pasar keuangan di bursa atas berbagai
isu dan sentimen negatif yang kerap menerpa negara kita terkait politik dan
keamanan di Indonesia.
Rupiah telah lama mengalami
depresiasi, khususnya terhadap USD. Sekadar gambaran secuil, pada Januari 2010,
kurs rupiah terhadap USD pada kisaran Rp 9.000 dan terapresiasi pada kisaran Rp
8.000 pada 2011. Setelah itu, terdepresiasi kembali pada 2013 menjadi Rp
11.000-an dan lebih dalam lagi pada 2014 menjadi Rp 12.000-an. Lalu, pada 2015
menanjak lagi ke level Rp 14.000-an dan bertahan hingga kini.
Data di atas memperlihatkan ada
kerugian finansial yang kita hadapi. Sebelum banyak korporasi menjalankan
kebijakan pencadangan USD (hedging) sebagai pembayaran perdagangan mereka,
depresiasi kurs rupiah kerap menimbulkan kesulitan finansial. Termasuk
â€membengkaknya†utang akibat selisih kurs.
Di sisi lain, depresiasi rupiah
memberikan peluang bagi para pelaku ekspor karena akan mendapat imbal hasil lebih
besar dari selisih kurs. Sekadar ilustrasi, pada rentang 2015–2020, nilai
ekspor kita mencapai USD 975,1 miliar. Sedangkan nilai impor kita USD 935,5
miliar. Surplus perdagangan ini tidak cukup menolong rupiah meskipun masih
ditolong kinerja positif pada investasi langsung dan portofolio. Akibat angka
pada neraca transaksi berjalan masih menunjukkan posisi yang minus.
Pada 2017, neraca transaksi
berjalan kita minus USD 16,2 miliar. Tahun 2018 minus USD 30,6 miliar; 2019
minus USD 30,3 miliar; dan 2020 minus USD 4,7 miliar. Situasi itu tidak cukup
untuk mengerek apresiasi kurs rupiah terhadap USD. Setidaknya secara year to
week (pekan ketiga Maret 2021) rupiah terdepresiasi 2,26 persen.
Mencermati sejarah perjalanan
kita menggunakan USD sebagai alat pembayaran internasional memang cenderung
tidak menguntungkan. Sistem moneter dunia dilahirkan dari keadaan yang tidak
objektif untuk kepentingan semua bangsa. Lahirnya kesepakatan Bretton Woods
yang dikomandoi Amerika Serikat sebagai pemenang Perang Dunia II adalah sejarah
baru bagi sistem moneter dunia.
Semula berbagai negara sepakat
menjadikan gold standar. Namun, tangan Amerika Serikat melalui IMF menjadikan
USD sebagai acuan kurs dan pembayaran internasional. Hasilnya, Amerika Serikat
hingga kini menjadi raksasa dan polisi keuangan dunia. USD menguasai 60 persen
pembayaran internasional, 30 persen euro, dan 10 persen mata uang lainnya.
Berkreasi Alat Pembayaran
Indonesia adalah negara merdeka
dan berdaulat. Karena itu, Indonesia harus mulai mengidentifikasi peluang dan
tantangan ke depan agar mendapatkan keuntungan dalam percaturan perdagangan dan
keuangan global. Indonesia harus membangun kesepakatan strategis dengan negara
yang menjadi mitra dagang (ekspor dan impor).
Kekuatan ekspor Indonesia adalah
hasil-hasil komoditas seperti batu bara, baja, besi, tembaga, gas, hasil
minyak, ikan segar, buah-buahan, minyak sawit, rumput laut, dan perhiasan.
Negara tujuan ekspor kita adalah ASEAN, Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, dan
Eropa. Mirip dengan negara tujuan ekspor, ketergantungan produk impor kita
seperti beras, minyak bumi, pupuk, semen, sayuran, buah, kendaraan bermotor,
bahan baku, yang sebagian besar ditopang ASEAN, Jepang, Tiongkok, Amerika
Serikat, dan Eropa.
Peta investor pada portofolio dan
investasi langsung ke negara kita juga didominasi Jepang, Tiongkok, Korsel,
Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Komposisi ini tidak jauh beda dengan
peta mitra dagang strategis kita melalui kegiatan ekspor dan impor.
Atas peta seperti ini,
sesungguhnya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dapat menggunakan mata uang
pembayaran yang lebih variatif. Dengan ASEAN dan Amerika Serikat, kita bisa
tetap menggunakan USD ataupun dolar Singapura. Tetapi, dengan Tiongkok, Jepang,
dan Eropa, kita bisa menjadikan yuan, yen, dan euro sebagai alternatif
pembayaran. Bukankah pada 2015 IMF telah menetapkan yuan sebagai alat
pembayaran internasional? Mekanisme ini sesungguhnya dapat dijadikan modal
penting BI membuat kebijakan Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) terhadap
berbagai negara tersebut.
Kita apresiasi BI melakukan
perpanjangan kerja sama BCSA dengan Bank of Korea (BOK) senilai Rp 115 triliun
hingga 2023. Kita harapkan Indonesia juga meningkatkan kerja sama BCSA dengan
Tiongkok yang dimulai pada 2009, di mana saat itu menyepakati nilai perjanjian
BCSA sebesar Rp 175 triliun dan dilanjutkan kembali pada 2018 setara USD 30
miliar. BCSA dengan Bank Sentral Singapura (MAS) patut kita kuatkan. BCSA pada
2018 dengan MAS setara USD 10 miliar juga perlu dilanjutkan.
BI dan pemerintah juga perlu
membuat kajian mendalam terkait alat pembayaran regional dengan memanfaatkan
perdagangan bebas zona ASEAN. Bila negara-negara di Eropa berhasil menyepakati
euro sebagai pembayaran mereka, seharusnya ASEAN bisa mengambil pelajaran yang
sama. Jika memang memberikan keadilan bersama, kerja sama BI di tingkat ASEAN
tidak sebatas payment system melalui penggunaan QR code. Lebih dari itu, yakni mata
uang regional bersama.
Ke depan, bila penggunaan
cryptocurrency meningkat lebih dari USD 500 miliar, apalagi jika disepakati
model underlying dari para penggunanya, situasi itu akan memaksa industri
keuangan dunia untuk menyerapnya. Karena itu, BI dan pemerintah harus membuat
proyeksi masa depan atas sistem moneter dan pembayaran kita. Tidak selamanya
kita bisa bertahan dengan mata uang dan alat pembayaran konvensional meski hal
itu saat ini masih dominan. Perubahan adalah kekekalan dan keniscayaan. Karena
itu, perlu antisipasi dan menerima manfaat atas perubahan tersebut. (*)
(M.H SAID ABDULLAH, Ketua Badan
Anggaran DPR)