26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kontroversi Pidana Kelalaian Tenaga Medis

MESKIPUN mendapat penolakan dari berbagai pihak, DPR tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi undang-undang kemarin (11/7). Selama RUU itu dibahas DPR, beragam penolakan telah muncul dari lima organisasi profesi tenaga medis di Indonesia.

Yakni, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Pengesahan itu akan mengunci semua penolakan dengan adagium bahwa setiap orang dianggap mengetahui adanya hukum yang telah disahkan badan legislatif (presumptio iures de iure). Salah satu pasal kontroversial dalam UU Kesehatan yang baru disahkan adalah pasal 462 ayat (1) yang berbunyi: Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.

Asumsinya, selama tenaga medis menjalankan profesi sesuai dengan standar etika profesi, maka mereka tidak perlu diancam dengan pidana. Pelanggaran profesi bisa ditindak dengan sidang kode etik yang ditegakkan oleh lembaga profesi, seperti Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).

Setelah RUU Kesehatan disahkan, tenaga medis bisa diadukan sebagai pelaku tindak pidana akibat kelalaian berat dalam menjalankan tugas. Pasal itu memang tergolong kasar atau tidak ramah bagi tenaga medis. Padahal, tenaga medis itu ibarat seorang ayah yang memperlakukan pasien seperti anak sendiri. Secara etika, separah itukah perilaku tenaga medis yang harus diancam dengan pidana?

Pasal itu seolah bukti bahwa kode etik profesi tidak cukup mengatasi perilaku tenaga medis yang lalai dalam menjalankan tugas. Kecuali, DPR sebagai pembuat undang-undang, telah menemukan banyak kasus kelalaian tenaga medis yang menimbulkan kerugian pada pasien. Namun, DPR seharusnya membedakan profesi tenaga medis yang bekerja mandiri (klinik pribadi) dengan tenaga medis yang bekerja di rumah sakit.

Baca Juga :  Refleksi Hari Buku Nasional: Buku vs Internet

Jika tenaga medis melakukan kelalaian dalam statusnya sebagai staf medis di rumah sakit, UU Kesehatan seharusnya merujuk pada Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan: Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Seseorang yang dimaksud di sini adalah majikan (pimpinan perusahaan), mandor, dan pihak sekolah.

Karena itu, untuk tenaga medis, berlaku pula Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: Majikan-majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan (menjalankan tugas). Dalam pasal itu, jelas bahwa perilaku tenaga medis yang dianggap lalai merupakan tanggung jawab majikan (dalam hal ini pihak rumah sakit).

 

Doktrin Vicarious Liability

Dengan kata lain, manajemen rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian para tenaga medisnya. Hal itu didasarkan pada hubungan hukum atau hubungan kerja rumah sakit (selaku pemberi kerja) dengan pekerja (tenaga medis) yang biasa disebut sebagai doktrin vicarious liability.

Dalam doktrin itu, berlaku dua syarat. Pertama, terdapat hubungan khusus antara atasan dan bawahan. Artinya, perbuatan melawan hukum (lalai) yang dilakukan tenaga medis berhubungan dengan layanan kesehatan.

Kedua, tindakan lalai tenaga medis itu harus terjadi dalam lingkup menjalankan tugas, bukan di luar jam kerja atau dinas. Karena itu, kelemahan Pasal 462 ayat (1) UU Kesehatan yang baru adalah melanggar doktrin vicarious liability.

Ini berbahaya bagi tenaga medis karena pihak rumah sakit seolah tak bisa disalahkan jika terjadi kelalaian dalam layanan kesehatan. Padahal, peluang besar terjadinya kelalaian oleh tenaga medis justru bisa disebabkan oleh tiga kesalahan pihak rumah sakit.

Baca Juga :  Pengaruh Keputusan Investasi Terhadap Nilai Perusahaan

Pertama, pengawasan kompetensi dan karakter tenaga medis yang tidak memadai dari pihak rumah sakit. Dalam proses rekrutmen, dokumen profesi (termasuk surat izin praktik) yang tidak diperiksa secara ketat oleh pihak rumah sakit dapat menjadi sumber bahaya bagi pasien.

Kedua, pihak rumah sakit tidak memberikan pelatihan yang memadai kepada seluruh tenaga medis. Hal itu bisa dianggap sebagai kegagalan manajemen rumah sakit menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni dalam melayani pasien.

Ketiga, tata kelola rumah sakit yang buruk dan tidak memadai sehingga sistem kerja dan jadwal praktik tenaga medis tergolong buruk. Demikian juga proses perekrutan staf medis yang tidak sesuai dengan jumlah pasien (overkapasitas layanan). Jam kerja yang berlebihan dapat membuat tenaga medis lelah sehingga berisiko bagi pasien yang dilayani.

Jumlah staf medis yang tak sebanding dengan jumlah pasien juga melahirkan layanan yang terburu-buru sehingga berisiko terhadap pasien. Padahal, tenaga medis harus menyediakan waktu yang cukup bagi pasien yang butuh tindakan medis.

Khusus klinik-klinik pribadi, tenaga medis bertanggung jawab sendiri atas kelalaian tugas yang dilakukannya. Persoalannya, pasien selalu berada dalam posisi lemah (dari segi pengetahuan) untuk menentukan adanya kelalaian oleh tenaga medis, baik di rumah sakit maupun klinik pribadi. Karena itu, perlindungan utama pasien tetaplah pada tanggung jawab moral dan etika tenaga medis. (*)

 

*) AUGUSTINUS SIMANJUNTAK, Dosen Aspek Hukum Program Business Management Universitas Kristen Petra Surabayaa

MESKIPUN mendapat penolakan dari berbagai pihak, DPR tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi undang-undang kemarin (11/7). Selama RUU itu dibahas DPR, beragam penolakan telah muncul dari lima organisasi profesi tenaga medis di Indonesia.

Yakni, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Pengesahan itu akan mengunci semua penolakan dengan adagium bahwa setiap orang dianggap mengetahui adanya hukum yang telah disahkan badan legislatif (presumptio iures de iure). Salah satu pasal kontroversial dalam UU Kesehatan yang baru disahkan adalah pasal 462 ayat (1) yang berbunyi: Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.

Asumsinya, selama tenaga medis menjalankan profesi sesuai dengan standar etika profesi, maka mereka tidak perlu diancam dengan pidana. Pelanggaran profesi bisa ditindak dengan sidang kode etik yang ditegakkan oleh lembaga profesi, seperti Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).

Setelah RUU Kesehatan disahkan, tenaga medis bisa diadukan sebagai pelaku tindak pidana akibat kelalaian berat dalam menjalankan tugas. Pasal itu memang tergolong kasar atau tidak ramah bagi tenaga medis. Padahal, tenaga medis itu ibarat seorang ayah yang memperlakukan pasien seperti anak sendiri. Secara etika, separah itukah perilaku tenaga medis yang harus diancam dengan pidana?

Pasal itu seolah bukti bahwa kode etik profesi tidak cukup mengatasi perilaku tenaga medis yang lalai dalam menjalankan tugas. Kecuali, DPR sebagai pembuat undang-undang, telah menemukan banyak kasus kelalaian tenaga medis yang menimbulkan kerugian pada pasien. Namun, DPR seharusnya membedakan profesi tenaga medis yang bekerja mandiri (klinik pribadi) dengan tenaga medis yang bekerja di rumah sakit.

Baca Juga :  Refleksi Hari Buku Nasional: Buku vs Internet

Jika tenaga medis melakukan kelalaian dalam statusnya sebagai staf medis di rumah sakit, UU Kesehatan seharusnya merujuk pada Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan: Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Seseorang yang dimaksud di sini adalah majikan (pimpinan perusahaan), mandor, dan pihak sekolah.

Karena itu, untuk tenaga medis, berlaku pula Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: Majikan-majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan (menjalankan tugas). Dalam pasal itu, jelas bahwa perilaku tenaga medis yang dianggap lalai merupakan tanggung jawab majikan (dalam hal ini pihak rumah sakit).

 

Doktrin Vicarious Liability

Dengan kata lain, manajemen rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian para tenaga medisnya. Hal itu didasarkan pada hubungan hukum atau hubungan kerja rumah sakit (selaku pemberi kerja) dengan pekerja (tenaga medis) yang biasa disebut sebagai doktrin vicarious liability.

Dalam doktrin itu, berlaku dua syarat. Pertama, terdapat hubungan khusus antara atasan dan bawahan. Artinya, perbuatan melawan hukum (lalai) yang dilakukan tenaga medis berhubungan dengan layanan kesehatan.

Kedua, tindakan lalai tenaga medis itu harus terjadi dalam lingkup menjalankan tugas, bukan di luar jam kerja atau dinas. Karena itu, kelemahan Pasal 462 ayat (1) UU Kesehatan yang baru adalah melanggar doktrin vicarious liability.

Ini berbahaya bagi tenaga medis karena pihak rumah sakit seolah tak bisa disalahkan jika terjadi kelalaian dalam layanan kesehatan. Padahal, peluang besar terjadinya kelalaian oleh tenaga medis justru bisa disebabkan oleh tiga kesalahan pihak rumah sakit.

Baca Juga :  Pengaruh Keputusan Investasi Terhadap Nilai Perusahaan

Pertama, pengawasan kompetensi dan karakter tenaga medis yang tidak memadai dari pihak rumah sakit. Dalam proses rekrutmen, dokumen profesi (termasuk surat izin praktik) yang tidak diperiksa secara ketat oleh pihak rumah sakit dapat menjadi sumber bahaya bagi pasien.

Kedua, pihak rumah sakit tidak memberikan pelatihan yang memadai kepada seluruh tenaga medis. Hal itu bisa dianggap sebagai kegagalan manajemen rumah sakit menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni dalam melayani pasien.

Ketiga, tata kelola rumah sakit yang buruk dan tidak memadai sehingga sistem kerja dan jadwal praktik tenaga medis tergolong buruk. Demikian juga proses perekrutan staf medis yang tidak sesuai dengan jumlah pasien (overkapasitas layanan). Jam kerja yang berlebihan dapat membuat tenaga medis lelah sehingga berisiko bagi pasien yang dilayani.

Jumlah staf medis yang tak sebanding dengan jumlah pasien juga melahirkan layanan yang terburu-buru sehingga berisiko terhadap pasien. Padahal, tenaga medis harus menyediakan waktu yang cukup bagi pasien yang butuh tindakan medis.

Khusus klinik-klinik pribadi, tenaga medis bertanggung jawab sendiri atas kelalaian tugas yang dilakukannya. Persoalannya, pasien selalu berada dalam posisi lemah (dari segi pengetahuan) untuk menentukan adanya kelalaian oleh tenaga medis, baik di rumah sakit maupun klinik pribadi. Karena itu, perlindungan utama pasien tetaplah pada tanggung jawab moral dan etika tenaga medis. (*)

 

*) AUGUSTINUS SIMANJUNTAK, Dosen Aspek Hukum Program Business Management Universitas Kristen Petra Surabayaa

Terpopuler

Artikel Terbaru