30.4 C
Jakarta
Friday, January 10, 2025

Dilema Moral dalam Squid Game: Pergulatan Id, Ego, dan Superego

Oleh: Tanaya Raissa Anindita *)

SQUID GAME, seri survival dari Korea Selatan, menghadirkan skenario di mana para pemain dipaksa memilih antara moralitas dan keinginan dasar mereka. Dengan mempertaruhkan nyawa demi hadiah uang yang sangat besar, para pemain menampilkan sisi gelap sifat manusia, terutama keserakahan.

Dari perspektif psikologi Sigmund Freud, perilaku mereka mencerminkan pergulatan internal antara Id, Ego, dan Superego. Freud menggunakan Id, Ego, dan Superego sebagai model untuk menjelaskan dinamika kepribadian dan konflik internal manusia.

Ketiganya bersifat metaforis dan digunakan untuk memahami bagaimana naluri, logika, dan moralitas saling berinteraksi dalam pikiran manusia. Id melambangkan naluri dasar manusia, seperti keinginan seksual dan perilaku agresif; Id mencari kepuasan instan tanpa memperhatikan keadaan realitas, Ego melambangkan fungsi rasional yang menyeimbangkan kebutuhan Id dengan realitas, sementara Superego melambangkan ideal moral dan nilai-nilai sosial yang tertanam dalam diri seseorang. Dalam Squid Game, model ini terlihat jelas dalam keputusan dan tindakan para pemain di setiap permainan.

Keserakahan adalah faktor utama yang memulai dan memelihara keberlangsungan permainan ini. Ketika pemain pertama kali masuk ke dalam permainan, dorongan insting mereka mulai mengambil alih. Di sinilah Id—bagian naluriah dari kepribadian manusia—menjadi penggerak utama. Tidak peduli nilai moral atau norma sosial, Id mengarahkan mereka untuk mencari kepuasan instan.

Karakter seperti Jang Deok-su, seorang preman, menjadi contoh nyata. Tanpa ragu, ia menggunakan kekerasan untuk memastikan keberlangsungan hidupnya. Bahkan di permainan kelereng, banyak pemain yang tega mengkhianati teman mereka demi bertahan hidup. Keserakahan yang lahir dari Id menjadi salah satu sifat yang paling menonjol di bawah tekanan.

Baca Juga :  Tak Ada yang Tak Mungkin di Olimpiade

Namun, tidak semua pemain sepenuhnya dikendalikan oleh Id. Ada kalanya mereka mencoba menyeimbangkan insting dasar dengan rasionalitas. Di sinilah Ego mulai berperan. Seong Gi-hun, karakter utama, adalah contoh sempurna dari konflik ini.

Pada permainan kelereng, ia hampir memanfaatkan kelemahan seorang teman lawannya, tetapi rasa bersalah yang muncul memperlihatkan bahwa Gi-hun tidak sepenuhnya dikuasai oleh instingnya.

Dalam permainan terakhir, ia bahkan memilih untuk tidak membunuh Sang-woo, meskipun itu berarti kehilangan kesempatan untuk menang. Keputusan-keputusan ini menunjukkan bagaimana Ego berupaya menyeimbangkan kebutuhan bertahan hidup dengan norma-norma moral.

Di sisi lain, ada beberapa karakter yang tetap menjunjung tinggi moralitas, bahkan dalam situasi ekstrem. Mereka menjadi cerminan dari Superego—suara hati yang berakar pada nilai sosial.

Ali Abdul, misalnya, menunjukkan rasa empati dan kepercayaan kepada pemain lain, meskipun itu akhirnya membuatnya menjadi korban pengkhianatan. Ji-yeong, dalam permainan kelereng, bahkan mengorbankan dirinya untuk memberi Sae-byeok kesempatan bertahan.

Karakter-karakter ini membuktikan bahwa meskipun tekanan luar biasa dapat mendorong manusia ke arah keserakahan, moralitas tetap bisa bertahan dalam hati nurani yang kuat.

Pada Squid Game 2, keserakahan kembali terlihat dengan jelas dari adegan perekrut menawarkan pilihan antara roti dan kupon lotre kepada gelandangan yang kelaparan. Dari 100 orang yang ditawarkan pilihan tersebut, hanya satu orang saja yang memilih roti.

Walaupun mereka tahu bahwa roti memiliki peluang yang lebih pasti untuk memenuhi rasa lapar mereka, sisanya tetap memilih kupon lotre demi peluang mendapatkan “lebih”. Ini menggambarkan bagaimana dorongan Id dapat mengaburkan rasionalitas yang lebih logis dari Ego.

Baca Juga :  Dampak Vaksinasi Covid-19 Ketiga di Amerika Serikat

Pada sesi voting, keserakahan dan harapan untuk mendapatkan lebih banyak uang terbukti mengalahkan naluri keamanan yang biasanya menjadi prioritas dalam kondisi ekstrem.

Sebelum melanjutkan ke permainan berikutnya, pemain diberikan pilihan untuk berhenti atau melanjutkan permainan, dan sebagian besar pemain memilih untuk melanjutkan permainan.

Dorongan Id terlihat jelas dalam keputusan para pemain yang didorong oleh keinginan untuk meraih kekayaan, meskipun mereka telah menyaksikan nyawa orang lain melayang dalam permainan sebelumnya, mengabaikan nilai moral atau keamanan diri.

Apa yang membuat Squid Game begitu menarik bukan hanya ketegangannya, tetapi bagaimana seri ini mencerminkan konflik batin yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia nyata, keserakahan muncul dalam berbagai bentuk—dari kompetisi kerja hingga ketimpangan ekonomi. Sering kali, kita dihadapkan pada pilihan antara mengejar keuntungan pribadi atau mempertahankan nilai moral. Dalam situasi tertentu, dorongan Id kita mengambil alih.

Namun, sebagaimana terlihat dalam Squid Game, Ego dan Superego selalu memiliki peluang untuk menjadi suara penyeimbang.

Pada akhirnya, Squid Game mengajarkan kita satu hal penting: manusia sering kali menginginkan lebih, tetapi kita dapat belajar untuk merasa cukup dan menghargai apa yang telah dimiliki.

Seri ini mengingatkan bahwa di tengah tantangan kehidupan, kita masih memiliki pilihan—tunduk pada naluri dasar atau mendengarkan suara hati kita.

*) Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Oleh: Tanaya Raissa Anindita *)

SQUID GAME, seri survival dari Korea Selatan, menghadirkan skenario di mana para pemain dipaksa memilih antara moralitas dan keinginan dasar mereka. Dengan mempertaruhkan nyawa demi hadiah uang yang sangat besar, para pemain menampilkan sisi gelap sifat manusia, terutama keserakahan.

Dari perspektif psikologi Sigmund Freud, perilaku mereka mencerminkan pergulatan internal antara Id, Ego, dan Superego. Freud menggunakan Id, Ego, dan Superego sebagai model untuk menjelaskan dinamika kepribadian dan konflik internal manusia.

Ketiganya bersifat metaforis dan digunakan untuk memahami bagaimana naluri, logika, dan moralitas saling berinteraksi dalam pikiran manusia. Id melambangkan naluri dasar manusia, seperti keinginan seksual dan perilaku agresif; Id mencari kepuasan instan tanpa memperhatikan keadaan realitas, Ego melambangkan fungsi rasional yang menyeimbangkan kebutuhan Id dengan realitas, sementara Superego melambangkan ideal moral dan nilai-nilai sosial yang tertanam dalam diri seseorang. Dalam Squid Game, model ini terlihat jelas dalam keputusan dan tindakan para pemain di setiap permainan.

Keserakahan adalah faktor utama yang memulai dan memelihara keberlangsungan permainan ini. Ketika pemain pertama kali masuk ke dalam permainan, dorongan insting mereka mulai mengambil alih. Di sinilah Id—bagian naluriah dari kepribadian manusia—menjadi penggerak utama. Tidak peduli nilai moral atau norma sosial, Id mengarahkan mereka untuk mencari kepuasan instan.

Karakter seperti Jang Deok-su, seorang preman, menjadi contoh nyata. Tanpa ragu, ia menggunakan kekerasan untuk memastikan keberlangsungan hidupnya. Bahkan di permainan kelereng, banyak pemain yang tega mengkhianati teman mereka demi bertahan hidup. Keserakahan yang lahir dari Id menjadi salah satu sifat yang paling menonjol di bawah tekanan.

Baca Juga :  Tak Ada yang Tak Mungkin di Olimpiade

Namun, tidak semua pemain sepenuhnya dikendalikan oleh Id. Ada kalanya mereka mencoba menyeimbangkan insting dasar dengan rasionalitas. Di sinilah Ego mulai berperan. Seong Gi-hun, karakter utama, adalah contoh sempurna dari konflik ini.

Pada permainan kelereng, ia hampir memanfaatkan kelemahan seorang teman lawannya, tetapi rasa bersalah yang muncul memperlihatkan bahwa Gi-hun tidak sepenuhnya dikuasai oleh instingnya.

Dalam permainan terakhir, ia bahkan memilih untuk tidak membunuh Sang-woo, meskipun itu berarti kehilangan kesempatan untuk menang. Keputusan-keputusan ini menunjukkan bagaimana Ego berupaya menyeimbangkan kebutuhan bertahan hidup dengan norma-norma moral.

Di sisi lain, ada beberapa karakter yang tetap menjunjung tinggi moralitas, bahkan dalam situasi ekstrem. Mereka menjadi cerminan dari Superego—suara hati yang berakar pada nilai sosial.

Ali Abdul, misalnya, menunjukkan rasa empati dan kepercayaan kepada pemain lain, meskipun itu akhirnya membuatnya menjadi korban pengkhianatan. Ji-yeong, dalam permainan kelereng, bahkan mengorbankan dirinya untuk memberi Sae-byeok kesempatan bertahan.

Karakter-karakter ini membuktikan bahwa meskipun tekanan luar biasa dapat mendorong manusia ke arah keserakahan, moralitas tetap bisa bertahan dalam hati nurani yang kuat.

Pada Squid Game 2, keserakahan kembali terlihat dengan jelas dari adegan perekrut menawarkan pilihan antara roti dan kupon lotre kepada gelandangan yang kelaparan. Dari 100 orang yang ditawarkan pilihan tersebut, hanya satu orang saja yang memilih roti.

Walaupun mereka tahu bahwa roti memiliki peluang yang lebih pasti untuk memenuhi rasa lapar mereka, sisanya tetap memilih kupon lotre demi peluang mendapatkan “lebih”. Ini menggambarkan bagaimana dorongan Id dapat mengaburkan rasionalitas yang lebih logis dari Ego.

Baca Juga :  Dampak Vaksinasi Covid-19 Ketiga di Amerika Serikat

Pada sesi voting, keserakahan dan harapan untuk mendapatkan lebih banyak uang terbukti mengalahkan naluri keamanan yang biasanya menjadi prioritas dalam kondisi ekstrem.

Sebelum melanjutkan ke permainan berikutnya, pemain diberikan pilihan untuk berhenti atau melanjutkan permainan, dan sebagian besar pemain memilih untuk melanjutkan permainan.

Dorongan Id terlihat jelas dalam keputusan para pemain yang didorong oleh keinginan untuk meraih kekayaan, meskipun mereka telah menyaksikan nyawa orang lain melayang dalam permainan sebelumnya, mengabaikan nilai moral atau keamanan diri.

Apa yang membuat Squid Game begitu menarik bukan hanya ketegangannya, tetapi bagaimana seri ini mencerminkan konflik batin yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia nyata, keserakahan muncul dalam berbagai bentuk—dari kompetisi kerja hingga ketimpangan ekonomi. Sering kali, kita dihadapkan pada pilihan antara mengejar keuntungan pribadi atau mempertahankan nilai moral. Dalam situasi tertentu, dorongan Id kita mengambil alih.

Namun, sebagaimana terlihat dalam Squid Game, Ego dan Superego selalu memiliki peluang untuk menjadi suara penyeimbang.

Pada akhirnya, Squid Game mengajarkan kita satu hal penting: manusia sering kali menginginkan lebih, tetapi kita dapat belajar untuk merasa cukup dan menghargai apa yang telah dimiliki.

Seri ini mengingatkan bahwa di tengah tantangan kehidupan, kita masih memiliki pilihan—tunduk pada naluri dasar atau mendengarkan suara hati kita.

*) Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru

/