26.3 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Waspada Panic Buying Ivermectin di Apotek

SENIN pagi yang lalu, saya terlibat diskusi menarik dengan beberapa tetangga perihal penggunaan obat cacingan, Ivermectin, yang sedang populer saat ini. Pertanyaan tetangga berkisar pada keamanan, kemanjuran, dan cara mendapatkan Ivermectin untuk mengatasi infeksi virus Covid-19. Termasuk, apakah Ivermectin dapat dibeli di apotek sekitar rumah.

Hari Ahad sebelumnya, beberapa jamaah subuh juga bertanya apakah mereka dapat menggunakan Ivermectin sebagai pencegahan agar tidak terinfeksi virus Covid-19. Dan lagi-lagi, ada pertanyaan apakah mereka bisa membeli Ivermectin dengan bebas di apotek. Dua peristiwa ini seakan melengkapi cerita kolega apoteker yang apoteknya ramai dikunjungi pelanggan hanya untuk mencari obat Ivermectin.

Masih segar dalam ingatan kita, di awal masa pandemi, masyarakat ramai mendatangi apotek untuk mencari deksametason yang seharusnya hanya bisa dilayankan dengan resep dokter. Ketika tren penggunaan deksametason masih hangat-hangatnya, muncul kemudian klorokuin –obat antiparasit bagi penyakit malaria– sebagai obat yang diklaim manjur untuk mengatasi infeksi virus Covid-19.

Alhasil, apotek kembali didatangi warga secara berbondong-bondong untuk mencari klorokuin. Tidak hanya dua obat tersebut, suplemen makanan, vitamin, obat herbal, hand sanitizer, disinfektan, dan masker adalah produk yang laris diborong masyarakat pada periode panic buying antara April sampai dengan Juli 2020.

Permintaan obat dan produk kesehatan pada periode tersebut sangat tinggi. Bahkan hingga mencapai enam kali lipat dari permintaan sebelum pandemi terjadi. Jamak dilihat, apotek-apotek menuliskan ’’masker kosong” atau tulisan sejenisnya karena saking tingginya permintaan yang sayangnya tidak dibarengi dengan suplai yang memadai dari sektor industri di hulu.

Panic buying juga berakibat melambungnya harga obat dan produk kesehatan sehingga sulit diterima nalar. Sebagai contoh, masker yang biasa dibanderol di kisaran Rp 15 ribu–30 ribu per kotak sebelum pandemi melonjak menjadi Rp 300 ribu–400 ribu. Kali ini, sepertinya giliran Ivermectin yang menjadi produk primadona. Hal ini ditambah derasnya informasi di media sosial yang mengklaim kemanjuran penggunaan Ivermectin untuk Covid-19 meskipun klaim itu masih menjadi kontroversi di antara para pakar.

Baca Juga :  Strategi Transdisiplin dalam Pandemi

 

Apotek dan apoteker merupakan garda terdepan dalam pelayanan kefarmasian di republik ini. Peraturan perundangan memercayakan kepada apoteker untuk dapat melayankan produk dan jasa kefarmasian. Kondisi panic buying tentu menjadikan pelayanan kefarmasian lebih pelik. Di satu sisi, apotek dan apoteker dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan terapi yang aman dan rasional bagi pasien. Namun di lain sisi, ketersediaan obat dan produk kesehatan yang kerap kali kosong memengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian. Hal ini menempatkan pasien dalam posisi yang berisiko karena seharusnya menerima obat yang dibutuhkan, namun tertunda gara-gara ketiadaan suplai obat.

Lantas, bagaimana mengantisipasi kondisi panic buying di apotek-apotek kita? Pertama, pemerintah selaku regulator sekaligus administrator sistem farmasi memiliki peran penting dalam menjaga ketersediaan obat di pasaran. Langkah pemerintah meningkatkan produksi obat Ivermectin dan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) tentu harus diapresiasi. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya panic buying dan pemberian harga (mark-up) yang terlampau tinggi akibat harga yang sudah kadung tinggi di sektor hulu.

Meski demikian, banyak pihak yang mewanti-wanti agar kebijakan ini dibangun di atas fondasi pengobatan yang rasional. Bagaimanapun, Ivermectin belum disepakati sebagai bagian dari standar pengobatan untuk Covid-19. Pemerintah perlu mempertimbangkan proses uji klinis yang sedang berjalan agar nantinya Ivermectin tidak bernasib seperti klorokuin yang akhirnya dilarang untuk digunakan karena risikonya jauh lebih besar dari kemanfaatannya.

Kedua, sektor manufaktur dan distribusi harus mengimbangi peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan memproduksi dan mendistribusikan obat dalam jumlah yang cukup dengan harga yang seharusnya terjangkau oleh masyarakat. Perusahaan farmasi dan distributor farmasi merupakan komponen yang penting dalam menjaga ketersediaan obat, termasuk memberikan informasi yang benar tentang khasiat obat yang diproduksi.

Baca Juga :  La Nina dan Politik Kebijakan Bencana

Sebagai contoh, Merck, perusahaan farmasi yang membuat Ivermectin, pada 4 Februari lalu menyatakan tidak yakin bahwa obat cacing yang diproduksinya mampu mendukung keselamatan dan kemanjuran dalam mengobati infeksi Covid-19. Sebuah langkah yang berani mengingat potensi pendapatan dalam jumlah besar yang mungkin hilang akibat pernyataan tersebut.

Ketiga, sektor apotek dan apoteker berperan penting dalam memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar kepada masyarakat. Dengan situasi apotek dibanjiri pelanggan yang mencari Ivermectin, sebenarnya memberi peluang kepada apoteker untuk mengedukasi masyarakat bahwa Ivermectin saat ini bukanlah obat yang dapat dibeli dengan bebas.

Ikatan Apoteker Indonesia sudah angkat bicara bahwa pembelian Ivermectin harus dalam pemantauan dokter. Bahkan, Badan POM tidak menyarankan penggunaan Ivermectin untuk keperluan terapi dan pencegahan. Kemampuan apoteker dalam mengomunikasikan hal ini dan bertindak secara profesional dapat menjadi kunci untuk mengerem pemakaian Ivermectin yang serampangan.

Terakhir, masyarakat sendiri juga dituntut untuk sadar dan melek informasi bahwa Ivermectin adalah obat dan bukanlah komoditas dagang pada umumnya. Oleh karena itu, Ivermectin hanya bisa didapatkan di jalur pembelian yang resmi dan benar. Salah satunya melalui apotek. Membeli Ivermectin melalui online merupakan langkah yang mengkhawatirkan karena masyarakat buta terhadap keamanan dan kualitas obat yang dijual secara online. Belum lagi, mark-up harga Ivermectin yang dilaporkan naik mencapai 500 persen di kisaran nyaris Rp 25 ribu–30 ribu per tablet semakin menjerumuskan masyarakat.

Keempat, strategi ini jika berjalan dengan baik dapat memunculkan harapan tidak terjadi panic buying Ivermectin. Namun demikian, Covid-19 masih merupakan misteri dan seperti halnya misteri-misteri yang lain, sangat menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (*)

 

Andi Hermansyah, Dosen Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

SENIN pagi yang lalu, saya terlibat diskusi menarik dengan beberapa tetangga perihal penggunaan obat cacingan, Ivermectin, yang sedang populer saat ini. Pertanyaan tetangga berkisar pada keamanan, kemanjuran, dan cara mendapatkan Ivermectin untuk mengatasi infeksi virus Covid-19. Termasuk, apakah Ivermectin dapat dibeli di apotek sekitar rumah.

Hari Ahad sebelumnya, beberapa jamaah subuh juga bertanya apakah mereka dapat menggunakan Ivermectin sebagai pencegahan agar tidak terinfeksi virus Covid-19. Dan lagi-lagi, ada pertanyaan apakah mereka bisa membeli Ivermectin dengan bebas di apotek. Dua peristiwa ini seakan melengkapi cerita kolega apoteker yang apoteknya ramai dikunjungi pelanggan hanya untuk mencari obat Ivermectin.

Masih segar dalam ingatan kita, di awal masa pandemi, masyarakat ramai mendatangi apotek untuk mencari deksametason yang seharusnya hanya bisa dilayankan dengan resep dokter. Ketika tren penggunaan deksametason masih hangat-hangatnya, muncul kemudian klorokuin –obat antiparasit bagi penyakit malaria– sebagai obat yang diklaim manjur untuk mengatasi infeksi virus Covid-19.

Alhasil, apotek kembali didatangi warga secara berbondong-bondong untuk mencari klorokuin. Tidak hanya dua obat tersebut, suplemen makanan, vitamin, obat herbal, hand sanitizer, disinfektan, dan masker adalah produk yang laris diborong masyarakat pada periode panic buying antara April sampai dengan Juli 2020.

Permintaan obat dan produk kesehatan pada periode tersebut sangat tinggi. Bahkan hingga mencapai enam kali lipat dari permintaan sebelum pandemi terjadi. Jamak dilihat, apotek-apotek menuliskan ’’masker kosong” atau tulisan sejenisnya karena saking tingginya permintaan yang sayangnya tidak dibarengi dengan suplai yang memadai dari sektor industri di hulu.

Panic buying juga berakibat melambungnya harga obat dan produk kesehatan sehingga sulit diterima nalar. Sebagai contoh, masker yang biasa dibanderol di kisaran Rp 15 ribu–30 ribu per kotak sebelum pandemi melonjak menjadi Rp 300 ribu–400 ribu. Kali ini, sepertinya giliran Ivermectin yang menjadi produk primadona. Hal ini ditambah derasnya informasi di media sosial yang mengklaim kemanjuran penggunaan Ivermectin untuk Covid-19 meskipun klaim itu masih menjadi kontroversi di antara para pakar.

Baca Juga :  Strategi Transdisiplin dalam Pandemi

 

Apotek dan apoteker merupakan garda terdepan dalam pelayanan kefarmasian di republik ini. Peraturan perundangan memercayakan kepada apoteker untuk dapat melayankan produk dan jasa kefarmasian. Kondisi panic buying tentu menjadikan pelayanan kefarmasian lebih pelik. Di satu sisi, apotek dan apoteker dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan terapi yang aman dan rasional bagi pasien. Namun di lain sisi, ketersediaan obat dan produk kesehatan yang kerap kali kosong memengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian. Hal ini menempatkan pasien dalam posisi yang berisiko karena seharusnya menerima obat yang dibutuhkan, namun tertunda gara-gara ketiadaan suplai obat.

Lantas, bagaimana mengantisipasi kondisi panic buying di apotek-apotek kita? Pertama, pemerintah selaku regulator sekaligus administrator sistem farmasi memiliki peran penting dalam menjaga ketersediaan obat di pasaran. Langkah pemerintah meningkatkan produksi obat Ivermectin dan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) tentu harus diapresiasi. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya panic buying dan pemberian harga (mark-up) yang terlampau tinggi akibat harga yang sudah kadung tinggi di sektor hulu.

Meski demikian, banyak pihak yang mewanti-wanti agar kebijakan ini dibangun di atas fondasi pengobatan yang rasional. Bagaimanapun, Ivermectin belum disepakati sebagai bagian dari standar pengobatan untuk Covid-19. Pemerintah perlu mempertimbangkan proses uji klinis yang sedang berjalan agar nantinya Ivermectin tidak bernasib seperti klorokuin yang akhirnya dilarang untuk digunakan karena risikonya jauh lebih besar dari kemanfaatannya.

Kedua, sektor manufaktur dan distribusi harus mengimbangi peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan memproduksi dan mendistribusikan obat dalam jumlah yang cukup dengan harga yang seharusnya terjangkau oleh masyarakat. Perusahaan farmasi dan distributor farmasi merupakan komponen yang penting dalam menjaga ketersediaan obat, termasuk memberikan informasi yang benar tentang khasiat obat yang diproduksi.

Baca Juga :  La Nina dan Politik Kebijakan Bencana

Sebagai contoh, Merck, perusahaan farmasi yang membuat Ivermectin, pada 4 Februari lalu menyatakan tidak yakin bahwa obat cacing yang diproduksinya mampu mendukung keselamatan dan kemanjuran dalam mengobati infeksi Covid-19. Sebuah langkah yang berani mengingat potensi pendapatan dalam jumlah besar yang mungkin hilang akibat pernyataan tersebut.

Ketiga, sektor apotek dan apoteker berperan penting dalam memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar kepada masyarakat. Dengan situasi apotek dibanjiri pelanggan yang mencari Ivermectin, sebenarnya memberi peluang kepada apoteker untuk mengedukasi masyarakat bahwa Ivermectin saat ini bukanlah obat yang dapat dibeli dengan bebas.

Ikatan Apoteker Indonesia sudah angkat bicara bahwa pembelian Ivermectin harus dalam pemantauan dokter. Bahkan, Badan POM tidak menyarankan penggunaan Ivermectin untuk keperluan terapi dan pencegahan. Kemampuan apoteker dalam mengomunikasikan hal ini dan bertindak secara profesional dapat menjadi kunci untuk mengerem pemakaian Ivermectin yang serampangan.

Terakhir, masyarakat sendiri juga dituntut untuk sadar dan melek informasi bahwa Ivermectin adalah obat dan bukanlah komoditas dagang pada umumnya. Oleh karena itu, Ivermectin hanya bisa didapatkan di jalur pembelian yang resmi dan benar. Salah satunya melalui apotek. Membeli Ivermectin melalui online merupakan langkah yang mengkhawatirkan karena masyarakat buta terhadap keamanan dan kualitas obat yang dijual secara online. Belum lagi, mark-up harga Ivermectin yang dilaporkan naik mencapai 500 persen di kisaran nyaris Rp 25 ribu–30 ribu per tablet semakin menjerumuskan masyarakat.

Keempat, strategi ini jika berjalan dengan baik dapat memunculkan harapan tidak terjadi panic buying Ivermectin. Namun demikian, Covid-19 masih merupakan misteri dan seperti halnya misteri-misteri yang lain, sangat menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (*)

 

Andi Hermansyah, Dosen Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru