25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

PPN Atas Penyerahan Konsinyasi vs Penyerahan Kepada Pedagang Perantara

DALAM rangka menciptakan kemudahan berusaha,
pemerintah melalui Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mencoret penyerahan barang
secara konsinyasi dari daftar jenis transaksi yang dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN). Artinya, barang yang dititipkan (konsinyasi) tidak otomatis
terutang PPN jika belum terjual. Kebijakan ini patut diapresiasi meskipun masih
menyisakan tanda tanya, kenapa perlakuan yang sama tidak diterapkan atas
penyerahan barang kepada pedagang perantara?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
konsinyasi didefinisikan sebagai penitipan barang dagangan kepada agen atau
orang untuk dijualkan dengan pembayaran kemudian; jual titip.

Sementara itu, pedagang perantara dinyatakan
dalam penjelasan Pasal 1A huruf c UU PPN sebagai orang pribadi atau badan yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian
atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau
balas jasa tertentu, misalnya komisioner. 

Dari kedua definisi tersebut, pada dasarnya
ada kesamaan sifat antara penjualan barang secara konsinyasi dengan penjualan
barang kepada pedagang perantara. Dalam kedua jenis transaksi tersebut,
kepemilikan atas barang baru berpindah tangan pada saat barang berhasil dijual
atau telah dibeli oleh pembeli akhir. Ketika barang diserahkan oleh penjual
kepada pedagang konsinyasi (consignee) atau kepada pedagang perantara
(komisioner), pada dasarnya belum terjadi transaksi jual beli.

Baca Juga :  Masa Depan Anak Korban Kekerasan Seksual

Walaupun secara substansi hampir sama,
Undang-Undang PPN membuat istilah terpisah antara penyerahan secara konsinyasi
dengan penyerahan kepada pedagang perantara.

Sebelum terbitnya UU Cipta Kerja, baik
penyerahan barang kena pajak (BKP) secara konsinyasi maupun kepada pedagang
perantara sama-sama terkena PPN. Artinya, PPN sudah terutang pada saat barang
dititipkan kepada consignee atau kepada komisioner.

 Konsekuensinya, penjual harus membayar PPN ke
kas negara sekalipun status barang belum terjual. Regulasi ini tentu saja tidak
ramah bisnis, karena akan mengganggu cash flow pelaku usaha. Meskipun tersedia
mekanisme retur untuk menghindari penyetoran PPN sebelum barang benar-benar
terjual, namun mekanisme ini cukup merepotkan secara administratif bagi pelaku
usaha.

Potensi Masalah

 

Harus diakui bahwa penghapusan penyerahan
barang secara konsinyasi dari daftar transaksi yang terutang PPN melalui UU
Cipta Kerja merupakan regulasi yang tepat. Sebab, PPN tidak terutang ketika
barang belum benar-benar terjual. Dengan mekanisme yang baru ini, pelaku usaha
yang melakukan titip jual barang kepada pihak lain tidak wajib menalangi PPN
atas barang yang sejatinya belum berpindah kepemilikan.

Wajib pajak juga tidak harus terbebani
administrasi perpajakan yang ribet melalui penerbitan nota retur guna menghindari
risiko membayar PPN di muka. Relaksasi ini sangat mendukung praktik perdagangan
yang semakin marak menggunakan skema konsinyasi. Terlebih di era digital yang
menumbuh-suburkan perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce.

Baca Juga :  Pelayanan Terpadu untuk Warga Desa

 

Permasalahannya kemudian, kenapa penyerahan
barang kepada pedagang perantara masih dinyatakan sebagai terutang PPN?
Padahal, skema transaksi ini pada hakikatnya sama dengan konsinyasi, yakni
belum terjadi penyerahan hak atas barang.

Adanya dua pengaturan yang berbeda tersebut
tentu saja berpotensi menimbulkan permasalahan implementasi di lapangan dan
bisa memicu sengketa antara wajib pajak dengan fiskus. Beda tafsir dalam
mendefinisikan kedua jenis transaksi tersebut juga bisa menimbulkan masalah.
Misalnya, wajib pajak menyatakan transaksinya merupakan penyerahan secara
konsinyasi, sehingga tidak terutang PPN.

Sementara, fiskus mungkin berpendapat
transaksi tersebut merupakan penyerahan barang kepada pedagang perantara,
sehingga sudah harus terutang PPN. Meskipun barang masih dimiliki oleh pihak
principal, dengan dianggap sebagai penyerahan kepada pedagang perantara,
transaksi tersebut dapat dianggap terutang PPN. Jadi, kenapa penyerahan barang
kepada pedagang perantara tidak sekalian dihapus dari daftar transaksi yang terutang
PPN?

 

Karsino, Direktur MUC Tax Research
Institute

DALAM rangka menciptakan kemudahan berusaha,
pemerintah melalui Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mencoret penyerahan barang
secara konsinyasi dari daftar jenis transaksi yang dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN). Artinya, barang yang dititipkan (konsinyasi) tidak otomatis
terutang PPN jika belum terjual. Kebijakan ini patut diapresiasi meskipun masih
menyisakan tanda tanya, kenapa perlakuan yang sama tidak diterapkan atas
penyerahan barang kepada pedagang perantara?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
konsinyasi didefinisikan sebagai penitipan barang dagangan kepada agen atau
orang untuk dijualkan dengan pembayaran kemudian; jual titip.

Sementara itu, pedagang perantara dinyatakan
dalam penjelasan Pasal 1A huruf c UU PPN sebagai orang pribadi atau badan yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian
atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau
balas jasa tertentu, misalnya komisioner. 

Dari kedua definisi tersebut, pada dasarnya
ada kesamaan sifat antara penjualan barang secara konsinyasi dengan penjualan
barang kepada pedagang perantara. Dalam kedua jenis transaksi tersebut,
kepemilikan atas barang baru berpindah tangan pada saat barang berhasil dijual
atau telah dibeli oleh pembeli akhir. Ketika barang diserahkan oleh penjual
kepada pedagang konsinyasi (consignee) atau kepada pedagang perantara
(komisioner), pada dasarnya belum terjadi transaksi jual beli.

Baca Juga :  Masa Depan Anak Korban Kekerasan Seksual

Walaupun secara substansi hampir sama,
Undang-Undang PPN membuat istilah terpisah antara penyerahan secara konsinyasi
dengan penyerahan kepada pedagang perantara.

Sebelum terbitnya UU Cipta Kerja, baik
penyerahan barang kena pajak (BKP) secara konsinyasi maupun kepada pedagang
perantara sama-sama terkena PPN. Artinya, PPN sudah terutang pada saat barang
dititipkan kepada consignee atau kepada komisioner.

 Konsekuensinya, penjual harus membayar PPN ke
kas negara sekalipun status barang belum terjual. Regulasi ini tentu saja tidak
ramah bisnis, karena akan mengganggu cash flow pelaku usaha. Meskipun tersedia
mekanisme retur untuk menghindari penyetoran PPN sebelum barang benar-benar
terjual, namun mekanisme ini cukup merepotkan secara administratif bagi pelaku
usaha.

Potensi Masalah

 

Harus diakui bahwa penghapusan penyerahan
barang secara konsinyasi dari daftar transaksi yang terutang PPN melalui UU
Cipta Kerja merupakan regulasi yang tepat. Sebab, PPN tidak terutang ketika
barang belum benar-benar terjual. Dengan mekanisme yang baru ini, pelaku usaha
yang melakukan titip jual barang kepada pihak lain tidak wajib menalangi PPN
atas barang yang sejatinya belum berpindah kepemilikan.

Wajib pajak juga tidak harus terbebani
administrasi perpajakan yang ribet melalui penerbitan nota retur guna menghindari
risiko membayar PPN di muka. Relaksasi ini sangat mendukung praktik perdagangan
yang semakin marak menggunakan skema konsinyasi. Terlebih di era digital yang
menumbuh-suburkan perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce.

Baca Juga :  Pelayanan Terpadu untuk Warga Desa

 

Permasalahannya kemudian, kenapa penyerahan
barang kepada pedagang perantara masih dinyatakan sebagai terutang PPN?
Padahal, skema transaksi ini pada hakikatnya sama dengan konsinyasi, yakni
belum terjadi penyerahan hak atas barang.

Adanya dua pengaturan yang berbeda tersebut
tentu saja berpotensi menimbulkan permasalahan implementasi di lapangan dan
bisa memicu sengketa antara wajib pajak dengan fiskus. Beda tafsir dalam
mendefinisikan kedua jenis transaksi tersebut juga bisa menimbulkan masalah.
Misalnya, wajib pajak menyatakan transaksinya merupakan penyerahan secara
konsinyasi, sehingga tidak terutang PPN.

Sementara, fiskus mungkin berpendapat
transaksi tersebut merupakan penyerahan barang kepada pedagang perantara,
sehingga sudah harus terutang PPN. Meskipun barang masih dimiliki oleh pihak
principal, dengan dianggap sebagai penyerahan kepada pedagang perantara,
transaksi tersebut dapat dianggap terutang PPN. Jadi, kenapa penyerahan barang
kepada pedagang perantara tidak sekalian dihapus dari daftar transaksi yang terutang
PPN?

 

Karsino, Direktur MUC Tax Research
Institute

Terpopuler

Artikel Terbaru