Harapan baru. Kata itulah yang tepat untuk menarasikan saat berkontemplasi menyambut tahun baru 2025. Harus realistis, tetapi tetap optimistis meski tidak mudah. Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) telah menanti. Semula 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Khusus untuk barang dan jasa mewah.
Meski diimbangi kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sebesar 6,5 persen dari 2024, diprediksi iklim perekonomian tidak akan secerah harapan. Banyak pakar ekonomi yang memproyeksikan, kenaikan PPN bakal memantik kelesuan ekonomi.
Walau bebas PPN, harga bahan pokok dikhawatirkan terkena imbasnya dan terkerek naik. Hal itu berpotensi menyulitkan rakyat kecil. Bagaimana dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)? Mereka harus berjuang lebih keras agar bisa tetap eksis dan tidak gulung tikar.
Mengenai kenaikan UMK, para pengusaha pun mulai gelisah. Mereka harus lebih giat memeras otak supaya neraca keuangan perusahaan masih tetap aman. Kegagalan bisa memicu PHK massal. Semoga tidak terjadi. Itu mimpi buruk bagi para pekerja.
Lantas, para ekonom berpesan, masyarakat harus cerdas merencanakan keuangannya. Agar tidak terpuruk! Nasihat itu tidak gampang diterjemahkan rakyat kecil. Selain mereka minim literasi, penghasilan harian pun belum tentu selalu ada. Mereka hanya bisa berharap korupsi tidak makin menggurita. Porsi yang dikeruk koruptor adalah hasil jerih payah pembayar pajak.
Mestinya bisa dialokasikan bagi program makan bergizi gratis (MBG) yang bertujuan menekan prevalensi kurang gizi. Kebijakan yang dijadwalkan dimulai Januari 2025 tersebut merupakan ”hiburan” dan harapan rakyat.
Beban Ganda Kesehatan
Kini makin sering dijumpai orang-orang dengan ”kelebihan gizi”. Secara kasatmata, hal itu tampak dari ukuran lingkar perutnya yang menonjol. Namun, tidak jarang pula ditemui anak-anak yang kurus kering, terlihat loyo, dan tidak bergairah. Problem kegemukan (obesitas) dan stunting (tengkes) bagaikan dua sisi mata uang akibat malanutrisi. Akankah prevalensi beban ganda persoalan gizi tersebut tertanggulangi pada 2025?
Prevalensi tengkes mencapai 21,6 persen. Target penurunan hingga 14 persen pada 2024 ternyata gagal. Tengkes berkaitan erat dengan status kekurangan gizi dalam dua tahun pertama kehidupan anak. Termasuk pula defisiensi nutrisi selama kehamilan dan buruknya sanitasi.
Efek negatifnya bukan hanya berupa gangguan perkembangan dan pertumbuhan fisik semata, tetapi juga pada indikator kesehatan lain. Misalnya, menurunnya kualitas hidup individu, rentan penyakit kronis, rendahnya kecerdasan intelektual, serta kurang kompetitif dalam persaingan. Semua kondisi tersebut rawan menjadi hambatan tercapainya generasi emas dan bonus demografi 2045.
Peningkatan konsumsi makanan bersumber hewani bisa menekan risiko tengkes secara signifikan. Susu sapi memiliki kualifikasi kandungan protein berkualitas tinggi. Artinya, asam amino esensial yang terkandung di dalamnya sulit tergantikan oleh bahan makanan lain. Selain protein, ada komponen lemak, karbohidrat, mineral, serta vitamin. Manfaatnya tidak diragukan lagi dalam meningkatkan pertumbuhan dan kecerdasan anak.
Dalam banyak riset epidemiologi, terbukti didapatkan korelasi terbalik antara konsumsi susu dan tengkes. Di negara-negara dengan prevalensi tengkes yang tinggi, konsumsi susu terbilang rendah. Ironisnya, 80 persen kebutuhan susu dalam negeri masih harus diimpor.
Obesitas
Tantangan fundamental saat ini ditujukan terhadap pengelolaan lima penyakit tidak menular (PTM). Penyakit tersebut adalah jantung, kanker, stroke, gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis reguler, serta tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan.
Sejatinya, mayoritas PTM bisa dicegah sejak dini. Sasarannya pada pengendalian faktor risikonya yang, antara lain, berupa obesitas dan diabetes. Jumlah penyandang obesitas dan diabetes di negara kita berturut-turut mencapai 68 juta dan 19,5 juta jiwa. Kondisi itu diperparah oleh malasnya warga bergerak.
Berdasar riset, rakyat Indonesia menduduki peringkat pertama pejalan kaki termalas di dunia. Tanpa upaya pencegahan maksimal, diprediksi prevalensi obesitas dan diabetes makin kencang melaju.
Perubahan gaya hidup masyarakat menjadi salah satu pemicunya. Kini terjadi pergeseran pola makanan. Dari menu tradisional yang lebih sehat dengan harga terjangkau menuju santapan siap saji yang relatif lebih mahal. Meski praktis, makanan siap saji tinggi kalori dan minim kandungan gizinya.
Komponen gula, garam, serta lemaknya rata-rata melebihi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Upaya edukasi untuk menguranginya belum mendapatkan respons optimal dari masyarakat. Di sisi lain, pemerintah masih ”gamang” menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Diproyeksikan baru diberlakukan pada 2025.
Apakah prediksi tantangan berat ekonomi 2025 mampu mengefisiensikan masyarakat untuk beralih kembali pada makanan tradisional? Akankah program MBG mampu meningkatkan status nutrisi anak Indonesia? Semoga. Kita tunggu saja. (*)
*) ARI BASKORO, Pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD dr Soetomo