SAAT ini ramai dibicarakan tentang vaksin Covid-19 yang dilakukan
dengan injeksi intramuskular. Kalau tidak familier dengan istilah kedokteran
tersebut, bahasa gampangnya vaksin Covid-19 dengan cara suntik. Menjadi tema
hangat karena rentang waktu vaksinasi bersinggungan dengan Ramadan.
Banyak pertanyaan yang muncul,
bagaimana hukum divaksin saat berpuasa? Batal atau sah puasanya? Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sudah mengantisipasinya dengan mengeluarkan Fatwa Nomor 13
Tahun 2021. Tidak batal puasa orang yang divaksin melalui suntikan.
Muara persoalan sebenarnya adalah
memasukkan sesuatu ke tubuh, sering dianalogikan seperti makan yang juga
memasukkan sesuatu ke tubuh berupa makanan.
Ijtihad MUI tentang hukum
disuntik bulan puasa diharapkan mengakhiri polemik tentang batal atau tidaknya
divaksin ketika berpuasa. Mudah-mudahan tetap ada jalan tengah bagi orang yang
tidak sepakat dengan fatwa MUI yakni dengan pelaksanaan waktu vaksin pada malam
hari.
Tulisan kali ini sebenarnya bukan
membahas suntikan yang berwujud fisik seperti vaksin di atas. Ada suntikan lain
pada Ramadan yang bisa jadi lebih penting dari suntikan vaksin untuk antibodi
tubuh tersebut yaitu menyuntik hati atau jiwa.
Hati harus disuntikkan sesuatu
yang menjadi obat agar menimbulkan reaksi kekebalan jiwa terhadap hal-hal yang
dilarang agama. Dengan injeksi ini, hati menjadi bersih. Hati yang selamat dari
berbagai penyakit dan kerusakan yang hanya berisi kecintaan kepada Penciptanya
dan takut melaksanakan hal-hal yang menjadikannya jauh dari Allah.
Hati bersih berbeda dengan model
hati lain yang dimiliki manusia yaitu hati yang sakit dan mati. Hati yang
selalu mengikuti hawa nafsu dan kesenangan.
Sebenarnya tidak sulit mendeteksi
hati seseorang telah mati secara kasatmata. Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam-nya
memberikan indikator orang yang telah mati hatinya dengan tidak merasa bersalah
atas dosa kelalaian beribadah dalam hidupnya. Beliau menggambarkan bahwa orang
yang lalai dalam ibadah serta kebaikan terhadap Allah ini, hidupnya seperti
tawar. Tidak merasakan kebahagiaan atau keresahan.
Ketaatan tidak membuat orang yang
mati hatinya menjadi bahagia. Sebaliknya kemaksiatan tidak membuatnya menjadi
resah.
Sufi terkenal Hasan al-Bashri
memberikan ciri matinya hati dengan selalu mengikuti jalan-jalan keburukan.
Sementara orang yang hatinya hidup selalu berupaya menempuh jalan kebaikan dan
menghindar perbuatan dosa serta senantiasa memohon ampun atas dosa-dosanya pada
masa lampau.
Hati yang sakit atau mati perlu
disehatkan dan dihidupkan agar hidup tidak sia-sia, apalagi menjadi su’ul
khatimah. Hidup yang diakhiri dengan keburukan sebagai lawan dari
husnulkhatimah, meninggal dalam keadaan baik.
Obat Hati
Cara mengobati hati memang tidak
semudah dan senikmat mendengar lantunan lagu Tombo Ati yang didendangkan para
seniman musik. Syair lagu yang dinukil dari Kitab Mandzumat Hidayat al-Adzkiya’
ila Thariq al-Auliya karya Syaikh Zainuddin al-Malibary tersebut benar-benar
harus dilaksanakan dengan penuh perjuangan.
Al-Malibary menyebut bahwa ada
lima obat yang bisa menjadi penyembuh hati yang sakit atau mati yaitu membaca
Al-Qur’an dan mentadabburi maknanya, menahan lapar, mendirikan salat malam,
memperbanyak zikir malam, dan bergaul dengan orang-orang saleh.
Kelima jenis “vaksin†di atas
dapat memberikan kekebalan hati terhadap penyakit-penyakit hati yang tidak
terlihat dari luar. Meski bisa dilaksanakan kapan saja untuk menggunakan vaksin
hati ini, momentum Ramadan merupakan momentum yang pas untuk mengobati hati.
Sebab, Allah banyak memberikan kemudahan dan fasilitas untuk bisa
mewujudkannya.
Di belenggunya setan, ganjaran
pahala yang berlipat ganda, dan serta fasilitas lain yang hanya ada pada
Ramadan menjadikan resep yang diberikan Al-Malibary harusnya lebih mudah
dilaksanakan. Membaca Al-Qur’an biasanya menjadi hal yang lebih mudah dilakukan
saat Ramadan. Sebab, ibadah ini dicontohkan langsung oleh Rasul ketika Ramadan.
Rasul makin giat membaca
Al-Qur’an saat Ramadan melebihi bulan-bulan lain. Karena itu, lazim ditemukan
banyak kaum muslim membaca Al-Quran selama Ramadan dengan target-target
tertentu.
Demikian pula dengan menahan
lapar atau berpuasa yang memang menjadi kewajiban dan ibadah utama pada Ramadan.
Tentu akan dilaksanakan secara penuh para pencari obat penyakit hati. Puasa
bisa membersihkan jiwa, mengendalikan nafsu dari kecenderungan melakukan
perbuatan buruk, dan melatih kesabaran.
Obat salat malam dan memperbanyak
zikir pada malam hari bisa dilaksanakan secara intensif selama Ramadan. Malam
hari, terutama sepertiga terakhir malam menjadi waktu utama untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Kedekatan itu akan mendatangkan efek mencintai Allah dan
tidak takut terhadap apapun kecuali Allah. Kecintaan seperti itu melahirkan
ketaatan untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Dzat yang
dicintainya.
Suntikan terakhir yang dimasukkan
adalah bergaul dengan orang-orang saleh. Manusia sering dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang ada di sekitarnya. Tidak salah ada pepatah mengatakan, jika
tidak ingin basah jangan main air dan jika tidak ingin terbakar jangan main
api.
Dalam konteks memperbaiki diri,
bergaul dengan orang-orang baik merupakan upaya memaksimalkan potensi menjadi
orang baik. Pergaulan terus-menerus dengan orang baik akan memberikan efek
tertular menjadi baik. Ramadan adalah momentum terbaik untuk selalu berkumpul
dengan orang-orang baik karena ketersediaan waktu yang lebih banyak
dibandingkan bulan-bulan lain.
Moga-moga kita semua dapat
mengobati hati pada Ramadan yang sebentar lagi datang dan mengabadikan
kesehatannya di bulan-bulan berikutnya setelah Ramadan. Amin.
(BAMBANG ISWANTO. Dosen Institut
Agama Islam Negeri Samarinda)