KETIKA pemerintah ingin mengimpor vaksin Sinovac dari Tiongkok pada
awal 2021, muncul perdebatan teologis di berbagai kalangan perihal status hukum
Islam. Di satu sisi, vaksin sangat dibutuhkan untuk memperkuat imunitas tubuh
agar tidak terpapar Covid-19. Namun, di sisi lain, banyak kelompok masyarakat
yang menolak. Salah satu alasan yang mengemuka adalah adanya kekhawatiran
pencampuran bahan vaksin dari tripsin babi.
Perdebatan teologis itu mulai
reda ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kehalalan vaksin
Covid-19 yang diproduksi Sinovac Life Science Co Ltd China dan PT Bio Farma itu
pada 11 Januari 2021. Berdasar berbagai landasan teologis yang mengacu pada
Alquran, hadis, dan kaidah fikih, fatwa MUI ini menjadi legitimasi hukum bagi
pemerintah untuk melanjutkan program vaksinasi.
Ketika vaksinasi yang menggunakan
Sinovac sudah berjalan dan merambah ke berbagai sektor profesi, ada
keterbatasan ketersediaan vaksin. Lalu, pemerintah kembali berinisiatif membeli
vaksin AstraZeneca dari Korea Selatan dan India sebanyak 1,1 juta dari 11 juta
dosis yang direncanakan agar tidak ada kegiatan vaksinasi yang terhenti.
Dissenting Fatwa
Saat vaksin AstraZeneca mulai
digunakan di beberapa daerah seperti Jawa Timur, tiba-tiba muncul perdebatan
teologis di kalangan agamawan. Mereka meragukan kehalalan vaksin AstraZeneca.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang menyatakan status hukum haram vaksin
AstraZeneca karena bahannya mengandung tripsin babi. Meskipun, MUI tetap
menoleransi kebolehan penggunaan vaksin AstraZeneca dalam kondisi darurat.
Sikap MUI pusat tecermin dalam
Fatwa Nomor 14 Tahun 2021 tentang Penggunaan Vaksin AstraZeneca dengan memenuhi
lima syarat. Pertama, ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajah syari’iyyah)
yang menduduki kondisi darurat syar’iy (dlarurah syar’iyyah). Kedua, ada
keterangan dari ahli kompeten dan tepercaya tentang adanya bahaya (risiko
fatal) jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19.
Ketiga, ketersediaan vaksin
Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi
Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity). Keempat,
ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah. Kelima, pemerintah tidak
memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 mengingat keterbatasan
vaksin yang tersedia.
Namun, berbeda dengan fatwa MUI
pusat, justru MUI Jawa Timur menyatakan bahwa status hukum vaksin AstraZeneca
adalah halal. Ketua MUI Jawa Timur menjelaskan sebuah metafora kehalalan vaksin
AstraZeneca seperti menanam pohon yang diberi pupuk dari kotoran hewan najis.
Kemudian, buah yang dihasilkan pohon tersebut hukumnya suci untuk dimakan.
Demikian pula ayam atau sapi yang memakan kotoran najis. Dagingnya tetap halal
untuk dikonsumsi.
Dalam kajian fikih, merujuk
pandangan KH Nadirsyah Hosen dalam tulisan berjudul Soal Vaksin: Mengenal 3
Teori Fiqh Istihalah, Istihlak, dan Darurat, perbedaan cara pandang MUI pusat
dan MUI Jawa Timur bisa dicermati dalam tiga teori besar. Pertama, istihalah,
yaitu perubahan sebuah hukum suatu hal kepada hal lain. Berdasar teori ini,
penjelasan metaforisme tentang sebuah kotoran hewan yang semula najis lalu
dijadikan pupuk dan pohon tersebut menghasilkan buah yang halal dimakan
memberikan penjelasan serupa tentang kehalalan vaksin AstraZeneca. Meskipun,
dalam teori ini ada perbedaan pendapat antara Imam Hanafi dan Imam Syafi’i,
terutama berkaitan dengan unsur perubahan secara alami dan adanya intervensi
manusia.
Kedua, teori istihlak, yaitu
percampuran antara benda najis dan benda suci yang kadar dan jumlahnya lebih
banyak. Berdasar teori ini, tripsin babi (kalaupun memang digunakan dalam
pembuatan vaksin AstraZeneca, namun dalam perkembangannya ada penjelasan lebih
lanjut dari pembuatnya bahwa di dalam racikan vaksin ini tidak ada unsur
tripsin babinya) yang telah berbaur dengan zat lain yang lebih banyak yang
tidak mengubah rasa, warna, maupun baunya, sesungguhnya tidak lantas melabelkan
hukum vaksin tersebut sebagai barang yang haram.
Titik Temu
Ketiga, teori darurat, yaitu
sebuah keadaan memaksa yang mengharuskan seseorang melakukan sebuah larangan
yang bila tidak dilakukan bisa mengancam keselamatan jiwanya. Dalam konteks
ini, MUI pusat dan MUI Jawa Timur bisa saling bertitik temu dalam menyikapi
vaksin AstraZeneca. Meskipun dalam formulasi status hukum vaksin yang
disampaikan MUI pusat tetap mengacu kepada hukum asal sebuah benda yang haram
karena ada prinsip kehati-hatian (ikhtiyat), namun demi menjaga kemaslahatan
bersama dan melindungi keselamatan jiwa, vaksin AstraZeneca diperbolehkan.
Dalam kaitan ini, perbedaan cara
pandang di tubuh MUI, antara pusat dan cabang, tentu memberikan pembelajaran
menarik dan mendidik bagaimana diskursus teologis dikembangkan sebagai kerangka
berpikir yang kritis dan responsif. Setidaknya, dengan perbedaan cara pandang
tersebut, ada praktik diskursif dan deliberasi gagasan yang bisa diteladani
berbagai lapisan masyarakat dalam menyikapi sebuah kasus hukum.
Perbedaan cara pandang antara MUI
pusat dan MUI Jawa Timur tentang status hukum vaksin AstraZeneca yang
mendudukkan haraman thayyiban dan halalan thayyiban sebagai rumusan fatwanya
jangan dinilai sebagai keterbelahan psikososial yang bisa mengganggu kelancaran
vaksinasi. Sebab, perbedaan cara pandang itu sebuah rahmat yang harus dirayakan.
Agar umat manusia tidak terjebak dengan monotafsir terhadap rumusan teologis
yang dijadikan basis aksiologis dalam menjalankan perintah Tuhan. (*)
(FATHORRAHMAN GHUFRON. Wakil
katib PWNU Jogjakarta, wakil dekan kemahasiswaan dan kerja sama Fakultas
Saintek UIN Sunan Kalijaga)