Site icon Prokalteng

Rohaniwan Katolik Akui Toleransi Umat Beragama Makin Baik

rohaniwan-katolik-akui-toleransi-umat-beragama-makin-baik

Tingkat toleransi di Indonesia semakin baik dari waktu ke waktu. Itu ditandai
dengan pelaksanaan perayaan hari besar agama-agama yang berjalan lancar dan
damai. Termasuk Hari Raya Natal 2019.

Rohaniwan Katolik Franz Magnis Suseno menyatakan sangat puas
dengan perkembangan toleransi umat beragama. Selama perayaan Natal 2019,
misalnya, banyak umat Islam maupun agama lain yang secara demonstratif
mengucapkan selamat Natal.

Begitu juga seterusnya. Saat umat Islam merayakan Idul Fitri,
umat agama lain juga ikut memberi ucapan selamat. ’’Ini tanda yang baik bagi
keberagaman Indonesia,” kata Franz Magnis Suseno dalam diskusi bertajuk Dialog
Lintas Iman untuk Moderasi Beragama di Cikini, Jakarta Pusat, kemarin (26/12).

Menurut Franz Magnis, tradisi di Indonesia telah menerima
kemajemukan sejak awal. Dari sisi bahasa, misalnya, para pendiri bangsa sepakat
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Padahal, suku Melayu hanya
mendiami 5 persen dari penduduk Indonesia. Bukan bahasa Jawa sebagai penduduk
mayoritas. ”Ini bukti para founding fathers menjaga semangat keberagaman,”
paparnya.

Terkait isu larangan Natal di Dharmasraya, Sumatera Barat, Frans
Magnis Suseno menilai itu hanya pengecualian. ”Satu kasus saja tidak akan
merusak persatuan,” kata guru besar ilmu filsafat tersebut.

Wakil Ketua Dewan Penasihat Persatuan Inteligensia Kristen
Indonesia (PIKI) Cornelius D. Ronowidjojo menambahkan, intoleransi adalah sikap
buruk yang harus dihindari semua agama. Bahwa sebetulnya tidak sulit menerima
perbedaan. ’’Toleransi, kesetaraan, dan kerja sama harus terus tumbuh di
masyarakat kita,” imbuhnya.

Sementara itu, Khatib Syuriah PB NU KH Yahya Cholil Staquf
menyampaikan, kebinekaan dan kerukunan adalah tradisi peradaban Indonesia. Itu
dimulai sejak berdirinya Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Majapahit tidak
menjadikan agama sebagai identitas politik. ”Padahal, seluruh negara Eropa saat
itu adalah kerajaan agama,” tutur Yahya.(jpc)

 

Exit mobile version