PALANGKA RAYA, KALTENGPOS.CO – Rancangan Kitab Umum
Hukum Pidana (RKUHP) yang diharapkan
mampu menjadi peraturan yang memberikan perlindungan maksimal bagi masyarakat,
hingga kini terus mendapat sorotan. Pasalnya, dalam rancangan tersebut ternyata
banyak ditemukan draf pasal-pasal dengan isu yang justru dinilai berpotensi
merugikan dan mengkriminalisasi masyarakat.
Salah satunya adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan isu kesehatan,
reproduksi, kejahatan seksual hingga kesetaraan gender.
Draf pasal-pasal itu dinilai telah secara nyata mengesampingkan aspek kesehatan reproduksi dan
kesetaraan gender, yang mana pasal-pasal tersebut masih diliputi dengan masalah
overkriminalisasi (tindakan kriminalisasi yang berlebihan).
Hal tersebut terungkap dalam acara diskusi webinar “Proyeksi Dampak Disahkannya
RKUHP Terhadap Kesehatan Reproduksi dan Kesetaraan Gender†yang dilaksanakan
Aliansi Masyarakat Sipil Kalteng Tunda RKUHP, Rabu (23/9/2020).
“Banyak kejanggalan di RKUHP itu yang masih membutuhkan pembahasan
lebih lanjut, terutama pada pasal-pasal yang berkaitan dengan kesehatan dan
kesetaraan gender,†kata Ketua Pengurus Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kalteng, dr Muhamad Fitriyanto
Leksono yang menjadi salah satu narasumber.
Sejumlah pasal yang menimbulkan multitafsir dan berpotensi mengakibatkan kriminalisasi,
sebut Fitriyanto, seperti kegiatan edukasi dan promosi
alat pencegahan kehamilan.
Disebutkan Fitriyanto, dalam RKUHP menyatakan bahwa
edukasi dan promosi hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang. Padahal UU 52/2009 tentang KB mengedepankan peran masyarakat dan
edukasi kesehatan reproduksi dapat dilakukan oleh masyarakat, termasuk pendidik
sebaya, konselor, dan relawan.
“Ini adalah salah satu bentuk kemunduran di kala
masyarakat mulai terlatih dan mengetahui tentang alat kontrasepsi, RKUHP malah
melakukan pembatasan dan mengkriminalisasi, karena promosi dan edukasi alat
kontrasepsi hanya dapat dilakukan oleh petugas berwenang dan relawan kompeten
dengan penugasan dari pejabat berwenang.
Tidak diketahui
secara pasti siapa yang pejabat berwenang yang berhak memberikan penugasan
tersebut. Belum lagi bagaimana menentukan kompetensi untuk menilai boleh atau
tidaknya seorang mempromosikan alat kontrasepsi, sebagai alat pencegahan
kehamilan.
“Dengan pasal ini, bahkan orang tua, teman kita, dapat
dipidana apabila memberikan informasi alat pencegahan kehamilan sebagai bekal
persiapan perencanaan pernikahan kepada anaknya. Pasal ini tentunya akan menghambat banyak
program pemerintah, seperti program keluarga berencana, program edukasi
kesehatan reproduksi dan program penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS)
dan HIV/AIDS,†bebernya.
Senada juga dikatakan Kartika Sari dari Palangka Raya
Ecologycal and Human Right Studies
(Progress). Dipaparkan Kartika, draf RKUHP menyuratkan kriminalisasi
setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan. Padahal
dalam KUHP yang berlaku sekarang, kriminalisasi hanya
untuk pihak yang berada dalam perkawinan. Namun melalui ketentuan pasal zina dalam RKUHP,
kriminalisasi dapat dilakukan pada persetubuhan di luar perkawinan.
Sementara ketentuan tersebut merupakan delik aduan yang hanya dapat diproses
atas aduan suami, istri, orang tua atau anak. “Namun delik aduan berdasarkan pengaduan orang tua
ini, di sisi
lain akan dapat berpotensi mempidana orang-orang yang tidak mencatatkan pernikahannya
ke Negara,
karena alasan ekonomi, perbedaan keyakinan dan bahkan penerapan adat budaya,
dan meningkatkan angka perkawinan anak,†ujarnya.
Bahkan lanjut dia, pasal ini bukan saja menyasar
pasangan yang bukan suami istri dan kelompok rentan tertentu, namun juga
berpotensi terjadinya pemaksaan perkawinan, karena aduannya meluas pada orang
tua dan anak, terkhusus pada kelompok
umur anak, untuk menghindari agar anak tidak dipidana. “Bila negara menganggap
bahwa perkawinan sah hanya karena telah tercatat melalui pencatatan sipil dan
telah dilakukan sesuai dengan ketentuan agama saja, maka pasangan yang hidup
bersama menurut struktur adat, dapat dikriminalisasi,â€
sebut Kartika.
Narasumber lainnya, Margaretha Winda Febiana
Karotina dari Solidaritas Perempuan Mamut Menteng mengungkapkan, sejumlah pasal RKUHP juga akan menimbulkan kriminalisasi terhadap
setiap perempuan
yang melakukan pengguguran kandungan/penghentian kehamilan termasuk dengan indikasi
medis dan untuk korban perkosaan.
Dijelaskan Winda, RKUHP akan mengkriminalisasi
seluruh bentuk penghentian kehamilan yang dilakukan oleh perempuan, termasuk
yang berkesesuaian dengan bertentangan dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan dan
PP 61/2014 tentang kesehatan reproduksi yang mengatur adanya pengecualian penghentian
kehamilan untuk indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan dalam UU
Kesehatan.
“Sementara pengecualian pemidanaan dalam RKUHP
hanya berlaku pada dokter yang melakukan aborsi tersebut. Di lain pihak, pasal ini
menempatkan perempuan tidak memiliki posisi tawar. Karena disebutkan bahwa
perempuan yang melakukan pengguguran kandungan, baik dengan persetujuan ataupun tanpa persetujuan, akan tetap dipidanakan,†ujarnya.
Selain itu, masih ada beberapa pasal lainnya yang berpotensi menyebabkan
terjadinya kriminalisasi dan perilaku diskriminatif yang bertentangan
dengan HAM, seperti identitas gender dan orientasi seksual.
Menyikapi hal itu, lanjut Winda, Aliansi Masyarakat
Sipil Kalteng Tunda RKUHP mendorong agar
Pemerintah dan DPR mempertimbangkan ulang rencana pengesahan RKUHP yang secara nyata
berpotensi menimbulkan banyak masalah baru.
“Kami percaya bahwa RKUHP adalah produk hukum yang
lahir dari konsensus dan seharusnya bertujuan untuk melindungi masyarakat
Indonesia, termasuk warga Kalimantan Tengah dan daerah-daerah lain yang
letaknya jauh dari pemerintah pusat,â€
kata Winda.
Aliansi
Masyarakat Sipil Kalteng Tunda RKUHP
juga meminta pemerintah dan wakil rakyat untuk
melakukan pembaharuan hukum pidana nasional, dengan melakukan
penerjemahan secara resmi terhadap KUHP yang berlaku saat ini. Serta mengevaluasi
naskah KUHP yang telah diterjemahkan secara resmi untuk memilah ketentuan mana
yang dapat diprioritaskan untuk diubah atau dihapus.
“Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, baru kemudian melakukan
pembahasan revisi KUHP secara parsial terhadap ketentuan-ketentuan yang
dianggap prioritas dengan melibatkan ahli-ahli pada seluruh bidang terkait
termasuk ahli kesehatan dan mengadopsi pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy),†pungkasnya.