27.6 C
Jakarta
Friday, May 23, 2025

Transformasi Pendidikan Berbasis STEM Dinilai Bisa jadi Kunci Terwujudnya Generasi Unggul

Saat ini transformasi pendidikan berbasis STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) telah menjadi kunci bagi terwujudnya generasi unggul dan berdaya saing tinggi. Hal ini senada dengan dukungan terhadap Indonesia Emas 2045.

Anggota Tim Penasihat Ahli Kementerian Pendidikan Dasar Menengah (Kemendikdasmen), Stephanie Riady, menilai bahwa sistem pendidikan sains dan teknologi di Indonesia perlu diubah secara fundamental agar lebih relevan dengan kehidupan siswa masa kini.

“Sains sejatinya adalah cara berpikir, yaitu bagaimana melihat persoalan, merumuskan solusi, dan mengubah pengetahuan menjadi tindakan,” kata Stephanie di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sementara itu, perempuan yang juga aktif sebagai penggiat pendidikan hingga pengembangan program pendidikan berbasis nilai, inovasi, dan kolaborasi lintas sektor itu menilai, pembelajaran sains dan matematika di Indonesia masih kerap terjebak pada pendekatan lama seperti hafalan rumus, ujian pilihan ganda, dan minimnya praktik di kelas.

Padahal, di tengah revolusi teknologi global, pendidikan berbasis STEM tak lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Pasalnya, dunia saat ini menuntut generasi muda yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif.

Baca Juga :  Pertahankan Kinerja Positif, Dirut BRI Terpilih Sebagai Best CEO

Menurutnya, selama ini banyak siswa merasa asing dengan pelajaran STEM lantaran pendekatan pembelajarannya kurang membumi. Padahal, bidang ini memiliki potensi besar dalam membentuk pola pikir logis dan kreatif, yang sangat dibutuhkan pada era kecerdasan buatan saat ini.

Dalam hal ini, Stephanie mencontohkan negara-negara seperti Korea Selatan dan Finlandia yang telah membuktikan dampak positif dari investasi jangka panjang dalam pendidikan STEM.

Korea Selatan, misalnya, telah menjadikan STEM sebagai prioritas sejak 1960-an dan kini menjadi salah satu negara dengan ekonomi berbasis teknologi tinggi. Finlandia pun dikenal luas dengan sistem pendidikan inovatif yang menekankan kreativitas dan pembelajaran lintas disiplin.

“Bahkan Vietnam bisa menjadi contoh inspiratif. Mereka mereformasi kurikulum sejak 2010 dengan pendekatan berbasis proyek. Hasilnya, performa siswa mereka kini sejajar dengan negara-negara maju. Malaysia pun terus mendorong partisipasi siswa di jalur STEM melalui pelatihan guru, insentif sekolah, dan kemitraan dengan industri,” ungkap Stephanie.

Baca Juga :  Catat! ASN Dilarang Cuti Dekat Hari Libur Nasional 2021

Menurutnya, Indonesia sejatinya memiliki potensi besar dalam pengembangan pendidikan sains dan teknologi. Berbagai inisiatif seperti pelatihan robotik di Yogyakarta, kompetisi inovasi di Jakarta, hingga pengembangan alat berbasis Internet of Things (IoT) oleh mahasiswa di Surabaya telah menjadi bukti bahwa ekosistem inovasi mulai tumbuh dan patut diapresiasi.

Namun, potensi ini perlu diperkuat melalui sistem pendidikan yang mendukung serta kebijakan yang tepat. Dia menilai inisiatif seperti ini harus diperluas dan diintegrasikan dengan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari sekolah dan guru, hingga pemerintah serta sektor swasta.

“Tidak semua anak harus jadi ilmuwan. Namun, setiap anak perlu tahu cara mengamati, berpikir, dan menyelesaikan masalah. Karena masa depan tak dibangun oleh hafalan, tetapi oleh keberanian untuk bertanya, mencoba, dan gagal, lalu bangkit kembali,” tutup Stephanie.(jpc)

Saat ini transformasi pendidikan berbasis STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) telah menjadi kunci bagi terwujudnya generasi unggul dan berdaya saing tinggi. Hal ini senada dengan dukungan terhadap Indonesia Emas 2045.

Anggota Tim Penasihat Ahli Kementerian Pendidikan Dasar Menengah (Kemendikdasmen), Stephanie Riady, menilai bahwa sistem pendidikan sains dan teknologi di Indonesia perlu diubah secara fundamental agar lebih relevan dengan kehidupan siswa masa kini.

“Sains sejatinya adalah cara berpikir, yaitu bagaimana melihat persoalan, merumuskan solusi, dan mengubah pengetahuan menjadi tindakan,” kata Stephanie di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sementara itu, perempuan yang juga aktif sebagai penggiat pendidikan hingga pengembangan program pendidikan berbasis nilai, inovasi, dan kolaborasi lintas sektor itu menilai, pembelajaran sains dan matematika di Indonesia masih kerap terjebak pada pendekatan lama seperti hafalan rumus, ujian pilihan ganda, dan minimnya praktik di kelas.

Padahal, di tengah revolusi teknologi global, pendidikan berbasis STEM tak lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Pasalnya, dunia saat ini menuntut generasi muda yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif.

Baca Juga :  Pertahankan Kinerja Positif, Dirut BRI Terpilih Sebagai Best CEO

Menurutnya, selama ini banyak siswa merasa asing dengan pelajaran STEM lantaran pendekatan pembelajarannya kurang membumi. Padahal, bidang ini memiliki potensi besar dalam membentuk pola pikir logis dan kreatif, yang sangat dibutuhkan pada era kecerdasan buatan saat ini.

Dalam hal ini, Stephanie mencontohkan negara-negara seperti Korea Selatan dan Finlandia yang telah membuktikan dampak positif dari investasi jangka panjang dalam pendidikan STEM.

Korea Selatan, misalnya, telah menjadikan STEM sebagai prioritas sejak 1960-an dan kini menjadi salah satu negara dengan ekonomi berbasis teknologi tinggi. Finlandia pun dikenal luas dengan sistem pendidikan inovatif yang menekankan kreativitas dan pembelajaran lintas disiplin.

“Bahkan Vietnam bisa menjadi contoh inspiratif. Mereka mereformasi kurikulum sejak 2010 dengan pendekatan berbasis proyek. Hasilnya, performa siswa mereka kini sejajar dengan negara-negara maju. Malaysia pun terus mendorong partisipasi siswa di jalur STEM melalui pelatihan guru, insentif sekolah, dan kemitraan dengan industri,” ungkap Stephanie.

Baca Juga :  Catat! ASN Dilarang Cuti Dekat Hari Libur Nasional 2021

Menurutnya, Indonesia sejatinya memiliki potensi besar dalam pengembangan pendidikan sains dan teknologi. Berbagai inisiatif seperti pelatihan robotik di Yogyakarta, kompetisi inovasi di Jakarta, hingga pengembangan alat berbasis Internet of Things (IoT) oleh mahasiswa di Surabaya telah menjadi bukti bahwa ekosistem inovasi mulai tumbuh dan patut diapresiasi.

Namun, potensi ini perlu diperkuat melalui sistem pendidikan yang mendukung serta kebijakan yang tepat. Dia menilai inisiatif seperti ini harus diperluas dan diintegrasikan dengan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari sekolah dan guru, hingga pemerintah serta sektor swasta.

“Tidak semua anak harus jadi ilmuwan. Namun, setiap anak perlu tahu cara mengamati, berpikir, dan menyelesaikan masalah. Karena masa depan tak dibangun oleh hafalan, tetapi oleh keberanian untuk bertanya, mencoba, dan gagal, lalu bangkit kembali,” tutup Stephanie.(jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/