28.4 C
Jakarta
Saturday, September 21, 2024

7 Wartawan Jadi Korban Kekerasan Saat Meliput Aksi 22 Mei

JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan LBH Pers menyoroti
kekerasan dan intimidasi yang dialami wartawan ketika meliput aksi di sekitar
Gedung Bawaslu, Jakarta, yang berujung ricuh pada Rabu petang hingga malam
(22/5).

Berdasarkan verifikasi yang
dilakukan tim AJI Jakarta, hingga saat ini setidaknya ada tujuh jurnalis yang
mengalami kekerasan, intimidasi dan persekusi.

Mereka adalah Budi Tanjung
(Jurnalis CNNIndonesia TV), Ryan (CNNIndonesia.com), Ryan (Jurnalis MNC Media),
Fajar (Jurnalis Radio MNC Trijaya), Fadli Mubarok (Jurnalis Alinea.id), dan dua
jurnalis RTV yaitu Intan Bedisa dan Rahajeng Mutiara

“Tak menutup kemungkinan, masih
banyak jurnalis lainnya yang menjadi korban. Sampai saat ini AJI Jakarta masih
mengumpulkan data dan verifikasi para jurnalis yang menjadi korban,” tulis AJI
Jakarta dalam rilis yang diterima redaksi.

AJI Jakarta mencontohkan tindakan
yang dialami wartawan Transmedia, Budi Tanjung. Disebutkan, Budi dipukul di
bagian kepala.

Selain itu rekaman videonya di
ponsel dihapus oleh anggota Brimob di depan Gereja Kristen Indonesia (GKI),
Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Rabu dini hari (22/5).

Baca Juga :  Muhammadiyah Tak Rekomendasikan Salat Iduladha di Lapangan dan Masjid

Kejadian yang kurang lebih sama
juga dialami wartawan CNNIndonesia.com, Ryan, saat meliput di Jalan Jatibaru,
Jakarta Pusat.

Ketika itu Ryan sedang merekam
aksi polisi menangkap provokator massa. Namun, polisi merebut ponselnya dan
meminta menghapus video.

“Ryan dipukul di bagian wajah,
leher, lengan kanan bagian atas, dan bahu oleh beberapa anggota Brimob dan
orang berseragam bebas. Mereka juga menggunakan tongkat untuk memukul Ryan,”
tulis AJI Jakarta.

“Aparat kepolisian tetap
melakukan kekerasan walaupun Budi dan Ryan mengaku sebagai jurnalis, bahkan
telah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis,” sambung keterangan itu.

Bukan hanya aparat keamanan,
massa aksi juga melakukan kekerasan terhadap wartawan yang sedang bertugas.

Mereka melakukan persekusi dan
merampas peralatan kerja jurnalis seperti kamera, telepon genggam, dan alat
perekam. Juga ada yang meminta agar rekaman dihapus.

Baca Juga :  Begini Kronologi OTT Gubernur Kepri oleh KPK

Bersama LBH Pers, AJI Jakarta
menyampaikan kecaman atas kejadian-kejadian yang dialami massa aksi.

“Tindakan yang mengintimidasi
jurnalis saat meliput peristiwa kerusuhan itu bisa dikategorikan sebagai sensor
terhadap produk jurnalistik,” kata Aji.

“Perbuatan itu termasuk
pelanggaran pidana yang diatur dalam Pasal 18 UU 40/1999 Tentang Pers. Setiap
orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan
denda maksimal Rp 500 juta,” tambahnya.

AJI Jakarta dan LBH Pers mendesak
aparat keamanan dan masyarakat untuk menghormati dan mendukung iklim
kemerdekaan pers, tanpa ada intimidasi serta menghalangi kerja wartawan di
lapangan.

Selain itu, kedua organisasi ini
mengimbau pimpinan media massa ikut bertanggung jawab menjaga dan mengutamakan
keselamatan wartawan di lapangan.

“Sebab, tidak ada berita seharga
nyawa,” sambung mereka.

Keterangan tersebut
diautentifikasi oleh Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani Amri, Direktur Eksekutif
LBH Pers Ade Wahyudin, dan Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung. (rmol/pojoksatu/kpc)

JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan LBH Pers menyoroti
kekerasan dan intimidasi yang dialami wartawan ketika meliput aksi di sekitar
Gedung Bawaslu, Jakarta, yang berujung ricuh pada Rabu petang hingga malam
(22/5).

Berdasarkan verifikasi yang
dilakukan tim AJI Jakarta, hingga saat ini setidaknya ada tujuh jurnalis yang
mengalami kekerasan, intimidasi dan persekusi.

Mereka adalah Budi Tanjung
(Jurnalis CNNIndonesia TV), Ryan (CNNIndonesia.com), Ryan (Jurnalis MNC Media),
Fajar (Jurnalis Radio MNC Trijaya), Fadli Mubarok (Jurnalis Alinea.id), dan dua
jurnalis RTV yaitu Intan Bedisa dan Rahajeng Mutiara

“Tak menutup kemungkinan, masih
banyak jurnalis lainnya yang menjadi korban. Sampai saat ini AJI Jakarta masih
mengumpulkan data dan verifikasi para jurnalis yang menjadi korban,” tulis AJI
Jakarta dalam rilis yang diterima redaksi.

AJI Jakarta mencontohkan tindakan
yang dialami wartawan Transmedia, Budi Tanjung. Disebutkan, Budi dipukul di
bagian kepala.

Selain itu rekaman videonya di
ponsel dihapus oleh anggota Brimob di depan Gereja Kristen Indonesia (GKI),
Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Rabu dini hari (22/5).

Baca Juga :  Muhammadiyah Tak Rekomendasikan Salat Iduladha di Lapangan dan Masjid

Kejadian yang kurang lebih sama
juga dialami wartawan CNNIndonesia.com, Ryan, saat meliput di Jalan Jatibaru,
Jakarta Pusat.

Ketika itu Ryan sedang merekam
aksi polisi menangkap provokator massa. Namun, polisi merebut ponselnya dan
meminta menghapus video.

“Ryan dipukul di bagian wajah,
leher, lengan kanan bagian atas, dan bahu oleh beberapa anggota Brimob dan
orang berseragam bebas. Mereka juga menggunakan tongkat untuk memukul Ryan,”
tulis AJI Jakarta.

“Aparat kepolisian tetap
melakukan kekerasan walaupun Budi dan Ryan mengaku sebagai jurnalis, bahkan
telah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis,” sambung keterangan itu.

Bukan hanya aparat keamanan,
massa aksi juga melakukan kekerasan terhadap wartawan yang sedang bertugas.

Mereka melakukan persekusi dan
merampas peralatan kerja jurnalis seperti kamera, telepon genggam, dan alat
perekam. Juga ada yang meminta agar rekaman dihapus.

Baca Juga :  Begini Kronologi OTT Gubernur Kepri oleh KPK

Bersama LBH Pers, AJI Jakarta
menyampaikan kecaman atas kejadian-kejadian yang dialami massa aksi.

“Tindakan yang mengintimidasi
jurnalis saat meliput peristiwa kerusuhan itu bisa dikategorikan sebagai sensor
terhadap produk jurnalistik,” kata Aji.

“Perbuatan itu termasuk
pelanggaran pidana yang diatur dalam Pasal 18 UU 40/1999 Tentang Pers. Setiap
orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan
denda maksimal Rp 500 juta,” tambahnya.

AJI Jakarta dan LBH Pers mendesak
aparat keamanan dan masyarakat untuk menghormati dan mendukung iklim
kemerdekaan pers, tanpa ada intimidasi serta menghalangi kerja wartawan di
lapangan.

Selain itu, kedua organisasi ini
mengimbau pimpinan media massa ikut bertanggung jawab menjaga dan mengutamakan
keselamatan wartawan di lapangan.

“Sebab, tidak ada berita seharga
nyawa,” sambung mereka.

Keterangan tersebut
diautentifikasi oleh Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani Amri, Direktur Eksekutif
LBH Pers Ade Wahyudin, dan Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung. (rmol/pojoksatu/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru