Usulan KPU agar pendaftaran calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) dilaksanakan pada 19–25 Oktober 2023 resmi disetujui DPR dan pemerintah.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyebutkan, jadwal itu sama dengan skema awal yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Jadwal dan Tahapan Pemilu 2024.
Sebelumnya, KPU menawarkan opsi masa pendaftaran capres-cawapres pada 10–16 Oktober.
Opsi tersebut lantas dikonsultasikan ke Komisi II DPR dalam bentuk rancangan PKPU tentang pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden. Rancangan PKPU itu juga mengatur jadwal penetapan capres-cawapres, yakni 13 November. Kemudian, dilanjut penetapan nomor urut pasangan calon (paslon) pada hari berikutnya, yakni 14 November. Dalam rapat tersebut, tanggal itu juga disetujui DPR dan pemerintah.
Selain rancangan PKPU terkait pencalonan capres-cawapres, rapat konsultasi tersebut menyepakati rancangan PKPU tentang pemungutan dan penghitungan suara untuk Pemilu 2024. Salah satu poin yang disepakati terkait dengan metode penghitungan suara. DPR mengisyaratkan agar penghitungan suara menggunakan metode satu panel. Sebelumnya, KPU menawarkan opsi dua panel.
Pada Pemilu 2019, penghitungan suara dilakukan dengan satu panel. Saat itu, seluruh anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) menjadi satu tim untuk menghitung suara dari seluruh jenis pemilihan. Yakni, pilpres, calon anggota DPD, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Nah, pada Pemilu 2024, penghitungan suara diusulkan dua panel.
KPU akan membagi anggota KPPS menjadi dua tim. Rencananya, panel A menghitung perolehan suara pilpres dan calon anggota DPD. Lalu, panel B menghitung perolehan suara calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Pembagian dua panel itu bertujuan mempermudah kerja KPPS.
Namun, menurut Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, opsi dua panel tersebut punya beberapa konsekuensi. Salah satunya, mengharuskan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyiapkan perangkat pengawasan penghitungan suara dua panel. ”Bagaimana cara membagi satu pengawas melihat dua panel?” kata anggota DPR dari Fraksi Golkar tersebut.
Dia mengusulkan kepada KPU agar tidak menerapkan metode penghitungan suara dua panel pada pemilu kali ini. Tapi, pada pemilu berikutnya. ”Lebih baik Pemilu 2024 ini kita samakan (dengan) yang kemarin (Pemilu 2019), tetap satu panel,” imbuhnya.
Hasyim menjelaskan, opsi penghitungan suara model dua panel sejatinya disusun untuk mengurangi beban anggota KPPS. Metode tersebut diterapkan agar penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) bisa lebih cepat.
Namun, karena DPR meminta untuk menggunakan metode satu panel, Hasyim menyiapkan strategi agar kejadian meninggalnya ratusan anggota KPPS pada 2019 tidak terulang. Salah satu strateginya adalah memperhatikan usia dan kondisi kesehatan sebagai syarat anggota KPPS.
Sementara itu, anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraeni menyatakan, skema penghitungan suara dua panel memang berdampak pada berkurangnya akses masyarakat terhadap transparansi dan partisipasi untuk mengikuti seluruh penghitungan suara di TPS.
Sebagai contoh, ketika penghitungan suara pilpres berlangsung, partisipasi masyarakat untuk mengikuti penghitungan suara DPR dan DPRD tidak bisa maksimal. “Sebagai pemilih atau pemantau, kalau datang sendirian, hanya bisa mengikuti salah satu (penghitungan saja, Red),” ujarnya kepada Jawa Pos.
Titi menyebut mekanisme dua panel juga memerlukan TPS yang cukup luas dan memadai. Mengacu pada pemilu sebelumnya, kondisi itu tidak memungkinkan dilakukan pada TPS yang lokasinya sempit. ’’Yang kalau (TPS) dibagi dua akan sangat mengurangi keleluasaan mobilitas petugas,’’ paparnya. (tyo/c7/oni/ind)