31.9 C
Jakarta
Saturday, September 21, 2024

Waspadai Darurat Tenaga Medis, Karena Corona 80 Dokter Meninggal

JAKARTA-Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merilis,
sedikitnya 80 dokter meninggal dunia akibat Covid-19. Anggota Komisi IX DPR RI
Netty Prasetiyani Aher meminta, agar pemerintah memprioritaskan perlindungan
terhadap dokter dan tenaga kesehatan.

“Tenaga medis harus terlindungi dengan aman dalam
menjalankan tugas di masa pandemi. Sebab mereka bekerja di zona yang rentan
penularan. Kita tidak ingin ada tenaga medis yang terpapar atau gugur akibat
prosedur penanganan Covid-19 yang kurang standar,” ujar Netty Prasetiyani Aher
di Jakarta, Jumat (21/8).

Ia mengingatkan, apabila perlindungan terhadap
tenaga medis tidak diprioritaskan, maka akan terjadi krisis dokter. Apalagi
jumlah dokter saat ini kurang dari 200 ribu orang. Tentu jumlah tersebut jauh
dari jumlah penduduk Indonesia.

“Jika perlindungan terhadap dokter tidak efektif,
bukan tidak mungkin kita akan mengalami krisis dokter dan tenaga medis,”
tegasnya.

Ini sejalan dengan apa yang disampaikan Ketua Satgas
Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo mengungkapkan jumlah dokter paru
di Indonesia, yakni 1,976 orang. Dengan tersebut, kata dia, satu dokter jumlah
harus melayani sekitar 245 ribu warga.

Baca Juga :  Aksi Teroris KKB, Ini Wilayah yang Sering Diganggu Menurut Polri

“Semua pihak harus terlibat dalam melindungi dokter
dan tenaga medis sebagai aset bangsa yang berharga,” katanya.

Caranya,
lanjut Netty, setiap orang harus disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
Seperti memakai masker, menjaga jarak dan rajin mencuci tangan. Ia meminta,
agar kebijakan perlindungan terhadap dokter dan tenaga medis. Dengan
menindaklanjuti secara kongkret di lapangan. Seperti kepastian ketersediaan
alat pelindung diri (APD) yang standar dan layak di setiap tingkat pelayanan
kesehatan serta ketersediaan fasilitas penunjang layanan terhadap pasien
Covid-19.

“Ini serius. Harus jadi perhatian pemerintah, jangan
ada lagi kekurangan APD atau peralatan medis untuk penanganan pasien Covid-19,”
ungkapnya.

Belajar kombinasi Terkait dunia pendidikan selama
pandemi COVID-19, pengamat pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS) Harun Joko Prayitno meminta pemerintah menerapkan metode pembelajaran
kombinasi atau perpaduan antara tatap langsung dengan daring selama masa
pandemi COVID-19.

“Harus ada kombinasi antara tatap muka dengan
daring. Ini upaya mengurangi stresnya pembelajaran secara online,” katanya di
Solo, Jumat.

Ia mengatakan pembelajaran skala kecil berbasis
protokol kesehatan tetap harus diadakan. “Jadi jangan ditiadakan sama sekali.
Meski demikian, model penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di kelas perlu
digeser ke tempat yang lebih terbuka. Kalau dikristalisasi COVID-19 itu kan
hanya berlangsung di interaksi jangka pendek, rumah yang ketat, tidak ada ruang
terbuka,” katanya.

Baca Juga :  Waspada! Jaringan Ekonomi Kelompok Teroris JI Makin Kuat

Ia juga berharap agar citra sekolah sebagai tempat
untuk menuntut ilmu tidak dijadikan seolah menakutkan di mana menjadi sumber
penyakit atau dianggap sumber penularan COVID-19.

“Kalau begitu maka anak akan mengalami trauma
panjang. Kalau kementerian mengadakan pendidikan tatap muka sampai Desember
berarti kan 10 bulan. Ini namanya kepunahan pendidikan, ke depan sekolah
‘nggak’ ada, hanya ada pendidikan. Ini yang perlu diluruskan,” katanya.

Ia menilai pendidikan secara daring selama ini tidak
hanya berdampak pada stresnya siswa, tetapi juga orang tua dan guru. Oleh
karena itu, menurut dia, kondisi tersebut harus dicairkan dengan pentingnya
penanaman pendidikan dan kesehatan pada siswa.

“Perlu ditekankan kebersihan dan kesehatan untuk menuju sekolah, yang
paling bagus ya blended learning,” katanya. 

JAKARTA-Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merilis,
sedikitnya 80 dokter meninggal dunia akibat Covid-19. Anggota Komisi IX DPR RI
Netty Prasetiyani Aher meminta, agar pemerintah memprioritaskan perlindungan
terhadap dokter dan tenaga kesehatan.

“Tenaga medis harus terlindungi dengan aman dalam
menjalankan tugas di masa pandemi. Sebab mereka bekerja di zona yang rentan
penularan. Kita tidak ingin ada tenaga medis yang terpapar atau gugur akibat
prosedur penanganan Covid-19 yang kurang standar,” ujar Netty Prasetiyani Aher
di Jakarta, Jumat (21/8).

Ia mengingatkan, apabila perlindungan terhadap
tenaga medis tidak diprioritaskan, maka akan terjadi krisis dokter. Apalagi
jumlah dokter saat ini kurang dari 200 ribu orang. Tentu jumlah tersebut jauh
dari jumlah penduduk Indonesia.

“Jika perlindungan terhadap dokter tidak efektif,
bukan tidak mungkin kita akan mengalami krisis dokter dan tenaga medis,”
tegasnya.

Ini sejalan dengan apa yang disampaikan Ketua Satgas
Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo mengungkapkan jumlah dokter paru
di Indonesia, yakni 1,976 orang. Dengan tersebut, kata dia, satu dokter jumlah
harus melayani sekitar 245 ribu warga.

Baca Juga :  Aksi Teroris KKB, Ini Wilayah yang Sering Diganggu Menurut Polri

“Semua pihak harus terlibat dalam melindungi dokter
dan tenaga medis sebagai aset bangsa yang berharga,” katanya.

Caranya,
lanjut Netty, setiap orang harus disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
Seperti memakai masker, menjaga jarak dan rajin mencuci tangan. Ia meminta,
agar kebijakan perlindungan terhadap dokter dan tenaga medis. Dengan
menindaklanjuti secara kongkret di lapangan. Seperti kepastian ketersediaan
alat pelindung diri (APD) yang standar dan layak di setiap tingkat pelayanan
kesehatan serta ketersediaan fasilitas penunjang layanan terhadap pasien
Covid-19.

“Ini serius. Harus jadi perhatian pemerintah, jangan
ada lagi kekurangan APD atau peralatan medis untuk penanganan pasien Covid-19,”
ungkapnya.

Belajar kombinasi Terkait dunia pendidikan selama
pandemi COVID-19, pengamat pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS) Harun Joko Prayitno meminta pemerintah menerapkan metode pembelajaran
kombinasi atau perpaduan antara tatap langsung dengan daring selama masa
pandemi COVID-19.

“Harus ada kombinasi antara tatap muka dengan
daring. Ini upaya mengurangi stresnya pembelajaran secara online,” katanya di
Solo, Jumat.

Ia mengatakan pembelajaran skala kecil berbasis
protokol kesehatan tetap harus diadakan. “Jadi jangan ditiadakan sama sekali.
Meski demikian, model penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di kelas perlu
digeser ke tempat yang lebih terbuka. Kalau dikristalisasi COVID-19 itu kan
hanya berlangsung di interaksi jangka pendek, rumah yang ketat, tidak ada ruang
terbuka,” katanya.

Baca Juga :  Waspada! Jaringan Ekonomi Kelompok Teroris JI Makin Kuat

Ia juga berharap agar citra sekolah sebagai tempat
untuk menuntut ilmu tidak dijadikan seolah menakutkan di mana menjadi sumber
penyakit atau dianggap sumber penularan COVID-19.

“Kalau begitu maka anak akan mengalami trauma
panjang. Kalau kementerian mengadakan pendidikan tatap muka sampai Desember
berarti kan 10 bulan. Ini namanya kepunahan pendidikan, ke depan sekolah
‘nggak’ ada, hanya ada pendidikan. Ini yang perlu diluruskan,” katanya.

Ia menilai pendidikan secara daring selama ini tidak
hanya berdampak pada stresnya siswa, tetapi juga orang tua dan guru. Oleh
karena itu, menurut dia, kondisi tersebut harus dicairkan dengan pentingnya
penanaman pendidikan dan kesehatan pada siswa.

“Perlu ditekankan kebersihan dan kesehatan untuk menuju sekolah, yang
paling bagus ya blended learning,” katanya. 

Terpopuler

Artikel Terbaru