JAKARTA รขโฌโ Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan
Pembangunan Pusat (TP4P) dan Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan
Daerah (TP4D) yang selama ini dibanggakan Kejaksaan RI, dibubarkan. Alasannya,
keberadaan TP4P dan TP4D banyak dimanfaatkan sejumlah oknum untuk melakukan
korupsi. Terlebih ada jaksa yang juga terlibat dalam perkara tersebut.
Hal ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan
(Menko Polhukam), Mahfud MD saat menemui Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jajaran
di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (20/11). Menurutnya pembentukan TP4P dan TP4D
awalnya untuk mencegah adanya tindak pidana korupsi dalam menjalankan proyek
strategis pemerintah. Baik di Pusat dan daerah.
Namun dalam perjalanannya ditemui ada pihak yang memanfaatkan demi
mengambil keuntungan. รขโฌลKami ada kesepakatan TP4P dan TP4D akan dibubarkan.
Ketika seorang kepala daerah ingin membuat program pembangunan yang minta
persetujuan seakan-akan sudah bersih, tapi ternyata tidak bersih,รขโฌย kata Mahfud.
Namun, Mahfud mengakui TP4P dan TP4D sangat bagus jika tidak dirusak oleh
oknum yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, ada juga informasi soal TP4
dijadikan tempat perlindungan oknum dalam melakukan tindak pidana korupsi. รขโฌลTP4
akan segera dibubarkan. Ini tidak menyalahi hukum apa-apa,รขโฌย jelasnya.
Setelah TP4P dan TP4D dibubarkan, lanjut Mahfud, Kejaksaan kembali fokus
melakukan penindakan. รขโฌลUntuk pencegahan seperti itu sudah ada institusinya
sendiri. Itu yang pokok,รขโฌย tegasnya.
Menanggapi hal itu, pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar, Suparji
Ahmad menilai pembubaran TP4P dan TP4D merupakan langkah tepat. Sebab, tidak
efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. รขโฌลSudah tepat dibubarkan karena
tidak terlalu efektif kinerjanya,รขโฌย kata Suparji kepada FIN di Jakarta, Rabu
(20/11).
Kinerja yang tidak efektif, lanjut Suparji, dapat dilihat adanya oknum
jaksa yang nakal meminta fee dalam pengawalan pembangunan proyek strategis
pemerintah. รขโฌลBuktinya ada desa hantu atau penyimpangan lain yang tidak bisa
dicegah oleh TP4,รขโฌย jelasnya.
Disinggung apakah Kejaksaan Agung perlu menyiapkan program baru untuk
menggantikan program TP4, Suparji menegakan tidak perlu. Alasannya, jika
dibentuk lagi kemungkinan sama saja dengan sebelumnya.
Seperti diketahui, program TP4D di tingkat Kejaksaan Agung, kejaksaan
tinggi, dan kejaksaan negeri dibentuk oleh Jaksa Agung periode 2014-2019 H.M.
Prasetyo. Pembentukan ini berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI bertanggal 1
Oktober 2015. Tujuannya untuk mengawal, mengamankan, dan mendukung keberhasilan
pemerintahan dan pembangunan. Yakni melalui pencegahan dan persuasif di tingkat
pusat maupun daerah sesuai dengan wilayah hukum penugasan masing-masing.
Namun, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Agustus 2019
terhadap jaksa Kejaksaan Negeri Yogyakarta, Eka Safitri, yang juga anggota TP4D
bersama jaksa di Kejari Surakarta, Satriawan Sulaksono. Keduanya telah
ditetapkan tersangka penerima suap dalam kasus lelang proyek pada Dinas
Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta pada
tahun anggaran 2019.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman yang
mengatakan bahwa TP4P dan TP4D dinilai lebih banyak mudaratnya dibandingkan
kebaikannya. Terutama dalam menjalankan tugas di lapangan.
Dia merujuk kasus penangkapan Jaksa yang tergabung dalam TP4D dan TP4P oleh
KPK di Yogyakarta dan Solo. Penangkapan ini telah mencoreng wajah
Kejaksaan.รขโฌยPada praktiknya, tim itu tidak bisa mencegah terjadinya korupsi.
Malahan masih banyak yang korupsi meskipun sudah bekerja sama dengan TP4D
maupun TP4P,รขโฌย kata Boyamin.
Dalam kasus itu, KPK juga telah menetapkan tiga tersangka. Yakni Jaksa di
Kejaksaan Negeri Yogyakarta yang juga anggota TP4D, Eka Safitra; Jaksa di
Kejaksaan Negeri Surakarta Satriawan Sulaksono; dan Direktur Utama PT Manira
Arta Mandiri (Mataram) Gabriella Yuan Ana.
Jaksa tersebut diduga akan menerima komitmen fee sebesar 5 persen atau
Rp415 juta dari nilai proyek, yang telah dimenangkan PT Widorokandang. Bendera
perusahaan itu dipinjam oleh Gabriella, sebagai pemenang lelang yang telah
diatur dengan nilai kontrak Rp8,3 miliar.
Lelang proyek tersebut terkait dengan rehabilitasi Saluran Air Hujan di
Jalan Supomo pada Dinas PUPKP Kota Yogyakarta. Adapun uang suap yang sudah
diterima adalah sebesar Rp221.740.000 secara tiga tahap. Masing-masing Rp10
juta pada 16 April 2019; Rp100.870.000 pada 15 Juni 2019, dan Rp110.870.000
pada 19 Agustus 2019.
Proyek infrastruktur tersebut seharusnya dikawal oleh tim TP4D dari
Kejaksaan Negeri Yogyakarta. Salah salah satu anggotanya adalah tersangka Eka
Safitra selaku anggota TP4D. Tak hanya kasus itu. Boyamin juga merujuk pada
kasus oknum pejabat di Kejari Bali yang diduga memeras pemenang proyek dan
tender antara Rp100 juta hingga Rp300 juta. Kemudian, meminta uang Rp50 juta
kepada Kepala Desa dan mengajak temannya untuk ikut pengadaan buku perpustakaan
Desa dengan keuntungan 35 persen. (lan/fin/rh/kpc)