JAKARTA — Hingga September 2019, utang Perum Bulog mencapai Rp28
triliun. Utang digunakan untuk pengadaan beras dan lainnya.
“Sampai saat ini (nominal utang)
hampir Rp28 triliun. Dari tahun ke tahun begini. Tahun terus berjalan terus,
jadi kan ada (pinjaman) yang sudah selesai, diganti dan dibayar negara. Tapi
kita kan butuh lagi,†ujar Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso di Jakarta, Jumat (20/9).
Lebih jauh dia mengatakan, porsi
terbesar utang digunakan untuk pengadaan beras sebanyak 2,5 juta ton. Uang
dipinjam dari berbagai pihak.
“Awalnya kita tentukan 2,5 juta
ton. Begitu hilang 500 ribu (ton) diganti pemerintah, kita serap lagi 500 (ribu
ton). Uang itu kita pinjam lagi dari bank, yang dibayar 500 ribu ton kita setor
ke bank dengan bunganya. Kita pinjam lagi untuk mengadakan 500 ribu (ton). Kita
nggak pernah berhenti dengan utang,†ucap dia.
Selain utang digunakan untuk
pengadaan beras, utang juga digunakan untuk pengadaan dagang dan penugasan
jagung. “Ada beberapa untuk pengadaan dagang, penugasan jagung, dan lain-lain.
Itu uangnya kita pinjam,†ucap dia.
Buwas mengungkapkan, Bulog selalu
melakukan koordinasi dengan berbagai institusi terkait seperti Kementerian
Keuangan dan badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal itu demi transparasi dalam
penggunaan utang.
“Saya selalu jemput bola. Begitu
ada masalah, ancaman atau kemungkinan negatif, kita selalu koordinasi. Setiap
bulan kita evaluasi melalui dewan pengawas,†ujar dia.
Sementara Direktur Riset Center
of Reform on Economics (Core) Indonesia, Pieter Abdullah menilai Perum Bulog
membutuhkan dana yang besar sehingga perlu berutang untuk menjalankan roda
perusahaan.
“Tugas bulog dalam melakukan
stabilisasi harga pangan khususnya beras memang membutuhkan dana yg sangat
besar, karena dana dari pemerintah tidak mencukupi. Oleh karena itu masih
memerlukan utang,†ujar Pieter kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Jumat
(20/9).
Soal utang yang lumayan besar,
menurut Pieter Bulog telah melakukan penghitungan dengan cermat, dan juga
setiap pemasukan dan pengeluaran dana tak luput dari pengawasan BPK.
“Utangnya Bulog tidak perlu
dikhawatirkan. Tentunya Bulog sudah mengkalkulasikan utang tersebut dengan
cermat dan diawasi oleh BPK juga,†ucap dia.
Namun, lanjut Pieter, yang harus
menjadi perhatian bersama adalah sudah sejauh mana kinerja Bulog selama ini.
“Yang harusnya jadi concern kita utamanya adalah apakah Bulog sudah mencapai tujuannya?
Apa indikator kinerja kunci bulog? Apakah semua sudah tercapai dengan baik.
Seharusnya ada indikator kinerja kunci terkait efisiensi juga,†ujar dia.
Berbeda dengan Core, Peneliti
Istitute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda
mengatakan utang yang cukup besar itu menunjukkan Bulog tidak mampu mengurus
soal beras.
“Untuk utang Bulog ini menurut
saya membuktikan bobroknya Bulog sebagai lembaga logistik negara. Kurang
tepatnya perencanaan Bulog membuat utang menjadi tidak terencana dengan baik.
Dikit-dikit Bulog akan mengandalkan utang untuk operasionalnya terutama
pengadaan beras. Tidak ada perencanaan yang jelas untuk cash flow Bulog maka
patut diperhatikan permasalahan keuangan Bulog ini,†ujar Huda kepada Fajar
Indonesia Network (FIN), Jumat (20/9).
Sekadar informasi, DPR telah
menyetujui alokasi anggaran Perum Bulog pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (RAPBN) 2020 sebesar Rp 12,6 triliun.
Bulog sebelumnya anggaran sebesar
Rp 12,6 triliun dalam RAPBN 2020 yang akan dialokasikan untuk komoditi beras
sebesar Rp 5,8 triliun dan Rp 6,7 triliun untuk komoditi selain beras, yaitu
jagung, kedelai, gula, dan daging. (fin/kpc)