Revisi UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK akan berlaku besok (17/10). Hingga tadi malam
(15/10), belum ada tanda-tanda Presiden Joko Widodo akan mengikuti tuntutan
publik untuk menerbitkan perppu yang membatalkan revisi UU tersebut.
Padahal,
publik sempat menaruh harapan saat Jokowi menyatakan bakal mempertimbangkan
untuk mengeluarkan perppu.
Kepala Kantor
Staf Presiden Moeldoko memberikan pernyataan abu-abu terkait penerbitan Perppu
KPK. â€Belum tahu. Tunggu aja nanti perkembangannya,†katanya saat ditemui
setelah kegiatan Program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul
(PMDSU) di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta kemarin.
Sikap gamang
presiden terhadap UU KPK hasil revisi mendapat sindiran tajam dari Ketua KPK
Agus Rahardjo. Dengan berlakunya revisi tersebut, menurut Agus, matinya KPK
tinggal menunggu waktu. Sindiran itu disampaikan Agus saat berbicara di depan
para perwakilan pemda pada Sosialisasi Sistem Informasi Pemerintah Daerah di
Jakarta kemarin (15/10).
Dalam
kesempatan tersebut, Agus mengulangi penyampaian Mendagri Tjahjo Kumolo tentang
harapan agar pada periode kedua pemerintahan Jokowi tidak ada lagi operasi
tangkap tangan (OTT). Agus pun bertanya-tanya soal itu. ’’Tidak ada OTT ini
karena arah kita hanya ke pencegahan atau karena KPK-nya yang dimatikan,’’
katanya, menyindir.
Agus mengaku
sudah berupaya menanyakan kepastian nasib KPK kepada Tjahjo yang saat ini
menjabat Plt Menkum HAM. Khususnya, kepastian apakah Presiden Jokowi jadi
mengeluarkan perppu atau tidak. Sebab, penentuan nasib KPK tinggal hari ini dan
besok (17/10).
Bila hingga
17 Oktober tidak ada perppu, UU KPK hasil revisi akan berlaku. ’’Begitu
efektif, itu yang namanya pimpinan KPK yang sekarang menjabat ini sudah bukan
penegak hukum lagi,’’ lanjutnya. Sebab, dalam UU yang baru itu, pimpinan KPK
bukan penyidik dan penuntut.
Dampak yang
paling terasa tentu dalam penindakan. ’’Ya, mungkin tidak ada OTT lagi,’’ ujar
Agus seraya menyentil bahwa aparat pemda akan senang mendengarnya. Dia berharap
Mendagri mau menyampaikan hal tersebut kepada presiden agar KPK bisa segera
mendapat kepastian.
Agus
mengungkapkan kunci keberhasilan KPK meng-OTT sejumlah kepala daerah dan
membuktikan bahwa mereka memang korup. OTT, tutur Agus, tidak akan terjadi bila
tidak ada informasi atau laporan masyarakat. Selama ini laporan masyarakat
berperan penting pada proses penyelidikan yang berujung OTT.
Selama ini
laporan-laporan paling akurat yang berujung OTT justru berasal dari orang-orang
terdekat para tersangka. OTT bupati, misalnya, bisa berasal dari kepala bappeda
atau kepala dinas. ’’Biasanya kalau orang-orang ini lapor, pasti akurat. Mereka
membawa barang bukti,’’ ungkapnya. Bukti-bukti yang kuat tersebut memperlancar
OTT. Karena itu, transparansi anggaran pemda mutlak diperlukan.
Sementara
itu, kelompok Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA) dan Komunitas Antikorupsi
melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo kemarin (15/10). Dalam
surat tersebut, mereka meminta presiden segera mengeluarkan perppu. â€Kami
sangat khawatir terhadap permasalahan ini,†kata Anita Wahid, perwakilan PIA.
Putri
Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu menyebutkan, perempuan
adalah pihak pertama yang paling dirugikan dengan berlakunya UU KPK hasil
revisi. Kemudian, anak-anak. â€Ketidakmampuan masyarakat miskin mengakses
pendidikan, mengakses kesehatan, dan segala macam itu adalah efek yang paling
nyata dari korupsi,†ujarnya.
Anita menilai
revisi UU KPK adalah bentuk pelemahan KPK. Karena itu, presiden harus tegas
terhadap komitmen pemberantasan korupsi dengan menerbitkan perppu. â€Bapak
Presiden harus kembali menegaskan komitmen yang pernah beliau ucapkan lima
tahun lalu, yaitu menjadi garda terdepan memimpin gerakan pemberantasan
korupsi,†katanya.
Di tempat
terpisah, koalisi masyarakat sipil menyangsikan komitmen Presiden Joko Widodo.
Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menyatakan tidak yakin Jokowi
berani mengeluarkan Perppu KPK. Pemicu utamanya, jelas dia, tidak ada satu pun
partai koalisi penyokong Jokowi-Ma’ruf yang mendukung perppu. Khususnya PDI
Perjuangan sebagai partai utama. ’’Partai koalisi tidak setuju. Itu saja
masalahnya,†kata Ray.
Ironisnya,
sambung dia, Jokowi tidak berani melawan kepentingan koalisi partai. Sebab,
jika keinginan koalisi ditentang presiden, risikonya terlalu besar. Bisa saja
pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin lima tahun mendatang tidak berjalan mulus
karena mendapat gangguan dari lingkaran kekuasaan sendiri. ’’Risikonya besar.
Apalagi, PDIP tidak suka (ada perppu, Red),†paparnya.
Menurut Ray,
situasi saat ini justru terbalik. Bukannya partai koalisi yang mengawal
presiden, justru presidenlah yang mengawal kepentingan koalisi. Salah satunya
dalam penolakan parpol atas penerbitan Perppu KPK. Sebuah regulasi yang
sebenarnya menjadi wewenang mutlak presiden.
Padahal,
revisi UU KPK berdampak cukup serius bagi Jokowi. Salah satunya, presiden akan
kehilangan legitimasi publik menjelang pelantikannya. Sebetulnya jika Jokowi
ingin menaikkan kembali pamornya, tidak ada cara selain menerbitkan Perppu KPK.
’’Tetapi, apakah presiden berani melakukan ini. Saya tidak yakin,†tegasnya.
Hal serupa
disampaikan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
Lucius Karus. Dia mengatakan, kontrol kekuatan saat ini seolah tidak
dikendalikan Presiden Jokowi. Namun, kebijakan justru berada di partai koalisi.
Direktur Eksekutif Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas meminta publik bersabar.
Saat ini, kata dia, Jokowi sedang melakukan kalkulasi. Apakah menerbitkan
perppu dalam waktu dekat atau tidak. ’’Saya kira Jokowi cukup pintar. Memang
dia tidak akan melawan arus. Kalau memaksa pun, dampaknya di pemerintahnya
nanti,†kata Sirojudin.(jpg)