30.8 C
Jakarta
Saturday, December 21, 2024

1.963 Desa di 79 Kabupaten dan Kota Kekeringan

JAKARTA – Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
menyebut sebanyak 1.963 desa di 79 Kabupaten/Kota mengalami kekeringan dampak
musim kemarau yang berkepanjangan. BNPB pun menyiapkan hujan buatan untuk
mengatasinya.

Kepala BNPB Doni Monardo
mengatakan pihaknya segera melakukan program hujan buatan di beberapa titik
kekeringan. Terlebih pihaknya juga telah mendapat surat permohonan dari
beberapa kepala daerah untuk menjalankan program hujan buatan.

“BNPB telah mendapatkan beberapa
permohonan dari para kepala daerah untuk hujan buatan. Dan tadi sesuai dengan
arahan Bapak Presiden, BNPB untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan bantuan hujan buatan,” kata Doni usai menghadiri rapat terbatas yang
dipimpin Presiden Joko Widodo untuk membahas “Antisiapsi Dampak Kekeringan” di
Kantor Presiden, Senin (15/7).

Dikatakan Doni, berdasarkan data
BNPB hingga 15 Juli, ada sebanyak 1.963 desa terdampak kekeringan. Desa-desa
tersebut tersebar di 556 kecamatan dan 79 kabupaten/kota di Pulau Jawa, Bali,
Nusa Tenggara Barat (NTB), dan dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Oleh karenanya, BNPB tentu tidak
bisa sendirian, perlu bekerja sama dengan beberapa lembaga, khususnya BMKG,
BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan juga Markas Besar TNI.
Adapun daerah yang mungkin masih bisa dilaksanakan teknologi modifikasi cuaca
juga tergantung dari keadaan awan sehingga apabila awannya masih tersedia
sangat mungkin hujan buatan bisa dilakukan,” terangnya.

Program jangka menengah dan
panjang, Doni melaporkan kepada Presiden perlunya penyiapan bibit pohon.
Tujuannya agar masyarakat bisa menjaga lingkungan dan juga tersedianya sumber
air.

Baca Juga :  Aaliyah Massaid Jadi Pengibar Bendera Merah Putih di Bawah Air

“Dari beberapa pengalaman, jenis
pohon tertentu memiliki kemampuan menyimpan air, antara lain adalah sukun. Jadi
kalau tiap desa punya sukun yang cukup banyak sangat mungkin akar sukun itu
bisa mengikat air. Sehingga ketika musim kemarau panjang sumber air di desa itu
masih bisa terjaga, termasuk juga pohon aren,” kata Doni.

Sementara Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia, Eko Putro Sandjojo
mengatakan ada potensi kekeringan hingga Oktober dapat terjadi di Jawa, Bali
dan Nusa Tenggara.

“Saya juga minta bantuan BPPT
untuk melakukan kajian. Ada 3,7 juta hektare areal pertanian yang mungkin kena
dampak. Itu dampaknya bisa sekitar Rp3 triliun. Tapi kalau kita bisa bantu
dengan hujan buatan mungkin kita bisa minimalkan kerugiannya. Bisa mencegah
kerugian Rp2,4 triliun,” katanya.

Eko berharap akan ada hujan
buatan yang bekerja sama dengan BPPT, TNI dan BNPB.

Sedangkan Menteri Sosial Agus
Gumiwang Kartasasmita mengatakan pihaknya akan memberi bantuan pengadaan air
dan mengirimkan tangki-tangki atau truk-truk air.

“Tapi yang tadi dibahas ya
mitigasinya dulu. Jadi jangan sampai bencananya, misalnya dengan kita dorong
hujan buatan dan lain sebagainya. Kalau ada bencana ya SOP kita menangani
bencana-bencana sudah jelas yang harus dipastikan adalah ketersediaan logistik,
ketersediaan makanan,” kata Agus.

Kepala Badan Metereologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan pihaknya
memprediksi puncak musim kemarau terjadi pada bulan Agustus. Namun dampaknya
berupa kekeringan bisa dirasakan sampai September. Terutama untuk wilayah di
sebelah selatan khatulistiwa.

Baca Juga :  Kasus Covid Meningkat, Provinsi Ini Tunda PTM hingga Agustus

“Seiring berjalannya waktu, jadi
Oktober, November, Desember bukan berarti sudah selesai, hanya bergerak ke arah
utara. Jadi tidak serempak. Cuma yang paling luas itu di bulan
Agustus-September. Paling luas puncak musim kemaraunya itu di bulan Agustus,
mulai dari Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua bagian
selatan. Itu yang paling luas di bulan Agustus puncak musim kemaraunya.
Dampaknya kekeringan itu masih berjalan sampai September untuk wilayah selatan
itu,” kata Dwikorita.

Kemudian memasuki Oktober daerah
selatan itu sudah mulai makin basah, ke arah musim hujan. Sedangkan kekeringan
berjalan ke arah utara khatulistiwa.

“Itu sampai Desember itu masih
ada kekeringan di Kalimantan Utara, masih ada. Jadi tidak seragam,” ujarnya.

Antisipasi yang harus dilakukan,
adalah ketersediaan air di sepanjang Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Timur, sampai Papua. Hingga 2030, BMKG memproyeksikan trennya
iklim di Indonesia akan semakin hangat.

“Makanya kalau ngomong sekarang
kan untuk persiapan 10 tahun lagi untuk program menjadi lebih cukup. Biar bapak
ibu menteri biar koordinasi lebih, mumpung ini mau kabinet baru, programnya apa
nanti kan dan di saat yang sama potensi hujan ekstrem meningkat hingga 20
persen lho. Jadi semakin kering, tapi curah hujan semakin lebat. karena
daerahnya beda-beda, waktunya beda-beda,” katanya. (gw/fin/kpc)

JAKARTA – Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
menyebut sebanyak 1.963 desa di 79 Kabupaten/Kota mengalami kekeringan dampak
musim kemarau yang berkepanjangan. BNPB pun menyiapkan hujan buatan untuk
mengatasinya.

Kepala BNPB Doni Monardo
mengatakan pihaknya segera melakukan program hujan buatan di beberapa titik
kekeringan. Terlebih pihaknya juga telah mendapat surat permohonan dari
beberapa kepala daerah untuk menjalankan program hujan buatan.

“BNPB telah mendapatkan beberapa
permohonan dari para kepala daerah untuk hujan buatan. Dan tadi sesuai dengan
arahan Bapak Presiden, BNPB untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan bantuan hujan buatan,” kata Doni usai menghadiri rapat terbatas yang
dipimpin Presiden Joko Widodo untuk membahas “Antisiapsi Dampak Kekeringan” di
Kantor Presiden, Senin (15/7).

Dikatakan Doni, berdasarkan data
BNPB hingga 15 Juli, ada sebanyak 1.963 desa terdampak kekeringan. Desa-desa
tersebut tersebar di 556 kecamatan dan 79 kabupaten/kota di Pulau Jawa, Bali,
Nusa Tenggara Barat (NTB), dan dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Oleh karenanya, BNPB tentu tidak
bisa sendirian, perlu bekerja sama dengan beberapa lembaga, khususnya BMKG,
BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan juga Markas Besar TNI.
Adapun daerah yang mungkin masih bisa dilaksanakan teknologi modifikasi cuaca
juga tergantung dari keadaan awan sehingga apabila awannya masih tersedia
sangat mungkin hujan buatan bisa dilakukan,” terangnya.

Program jangka menengah dan
panjang, Doni melaporkan kepada Presiden perlunya penyiapan bibit pohon.
Tujuannya agar masyarakat bisa menjaga lingkungan dan juga tersedianya sumber
air.

Baca Juga :  Aaliyah Massaid Jadi Pengibar Bendera Merah Putih di Bawah Air

“Dari beberapa pengalaman, jenis
pohon tertentu memiliki kemampuan menyimpan air, antara lain adalah sukun. Jadi
kalau tiap desa punya sukun yang cukup banyak sangat mungkin akar sukun itu
bisa mengikat air. Sehingga ketika musim kemarau panjang sumber air di desa itu
masih bisa terjaga, termasuk juga pohon aren,” kata Doni.

Sementara Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia, Eko Putro Sandjojo
mengatakan ada potensi kekeringan hingga Oktober dapat terjadi di Jawa, Bali
dan Nusa Tenggara.

“Saya juga minta bantuan BPPT
untuk melakukan kajian. Ada 3,7 juta hektare areal pertanian yang mungkin kena
dampak. Itu dampaknya bisa sekitar Rp3 triliun. Tapi kalau kita bisa bantu
dengan hujan buatan mungkin kita bisa minimalkan kerugiannya. Bisa mencegah
kerugian Rp2,4 triliun,” katanya.

Eko berharap akan ada hujan
buatan yang bekerja sama dengan BPPT, TNI dan BNPB.

Sedangkan Menteri Sosial Agus
Gumiwang Kartasasmita mengatakan pihaknya akan memberi bantuan pengadaan air
dan mengirimkan tangki-tangki atau truk-truk air.

“Tapi yang tadi dibahas ya
mitigasinya dulu. Jadi jangan sampai bencananya, misalnya dengan kita dorong
hujan buatan dan lain sebagainya. Kalau ada bencana ya SOP kita menangani
bencana-bencana sudah jelas yang harus dipastikan adalah ketersediaan logistik,
ketersediaan makanan,” kata Agus.

Kepala Badan Metereologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan pihaknya
memprediksi puncak musim kemarau terjadi pada bulan Agustus. Namun dampaknya
berupa kekeringan bisa dirasakan sampai September. Terutama untuk wilayah di
sebelah selatan khatulistiwa.

Baca Juga :  Kasus Covid Meningkat, Provinsi Ini Tunda PTM hingga Agustus

“Seiring berjalannya waktu, jadi
Oktober, November, Desember bukan berarti sudah selesai, hanya bergerak ke arah
utara. Jadi tidak serempak. Cuma yang paling luas itu di bulan
Agustus-September. Paling luas puncak musim kemaraunya itu di bulan Agustus,
mulai dari Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua bagian
selatan. Itu yang paling luas di bulan Agustus puncak musim kemaraunya.
Dampaknya kekeringan itu masih berjalan sampai September untuk wilayah selatan
itu,” kata Dwikorita.

Kemudian memasuki Oktober daerah
selatan itu sudah mulai makin basah, ke arah musim hujan. Sedangkan kekeringan
berjalan ke arah utara khatulistiwa.

“Itu sampai Desember itu masih
ada kekeringan di Kalimantan Utara, masih ada. Jadi tidak seragam,” ujarnya.

Antisipasi yang harus dilakukan,
adalah ketersediaan air di sepanjang Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Timur, sampai Papua. Hingga 2030, BMKG memproyeksikan trennya
iklim di Indonesia akan semakin hangat.

“Makanya kalau ngomong sekarang
kan untuk persiapan 10 tahun lagi untuk program menjadi lebih cukup. Biar bapak
ibu menteri biar koordinasi lebih, mumpung ini mau kabinet baru, programnya apa
nanti kan dan di saat yang sama potensi hujan ekstrem meningkat hingga 20
persen lho. Jadi semakin kering, tapi curah hujan semakin lebat. karena
daerahnya beda-beda, waktunya beda-beda,” katanya. (gw/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru