JAKARTA – Pemerintah kembali menaikan iuran Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No
64/2020. Padahal sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan
iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No 75/2019.
Upaya menaikan kembali iuran BPJS
Kesehatan yang dilakukan pemerintah mendapat sorotan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menegaskan sebaiknya Pemerintah
meninjau kembali putusan tersebut. Sebab menaikan iuran bukan solusi mengatasi
defisit BPJS Kesehatan.
“Dalam kajian tata kelola Dana
Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang KPK lakukan pada 2019, akar masalah yang
kami temukan adalah tata kelola yang cenderung inefisien dan tidak tepat yang
mengakibatkan defisit BPJS Kesehatan,†ujarnya dalam keterangannya di Jakarta,
Jumat (15/5).
Untuk itu, lanjut Ghufron, KPK
berpendapat bahwa solusi menaikkan iuran BPJS sebelum ada perbaikan sebagaimana
rekomendasi KPK, tidak menjawab permasalahan mendasar dalam pengelolaan dana
jaminan sosial kesehatan.
Bahkan, dengan menaikan iuran
justru akan memupus tercapainya tujuan jaminan sosial sebagaimana UU No. 40
Tahun 2004 bahwa jaminan sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang
layak.
“Sehingga keikutsertaan dan
perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah indikator utama suksesnya
perlindungan sosial kesehatan. Dengan menaikkan iuran di kala kemampuan ekonomi
rakyat menurun, dipastikan akan menurunkan tingkat kepesertaan seluruh rakyat
dalam BPJS,†terangnya.
Menurutnya, akar masalah defisit
BPJS disebabkan karena permasalahan inefisiensi dan penyimpangan (fraud).
Sehingga kenaikan iuran tanpa ada perbaikan tata kelola BPJS tidak akan
menyelesaikan masalah.
“Sebaliknya KPK berpendapat jika
rekomendasi KPK dilaksanakan, maka tidak diperlukan menaikkan iuran BPJS
kesehatan yang akan dirasakan sangat membebani masyarakat mengingat situasi
sulit yang sedang dihadapi saat ini dan potensinya yang berdampak di masa
depan,†katanya.
Ghufron menjelaskan KPK sangat
mendukung program pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan bagi masyakat. “KPK
mendukung penuh tercapainya program pemerintah dalam menyelenggarakan universal health coverage dengan
memastikan masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
ditunjang fasilitas kesehatan yang baik tanpa mengalami kesulitan finansial,â€
katanya.
Namun, ada beberapa rekomendasi
yang harus dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan agar dapat
menekan beban biaya yang harus ditanggung BPJS Kesehatan sehingga tidak
mengalami defisit (lihat grafis).
“Sehingga, kami berharap program
pemerintah untuk memberikan manfaat dalam penyediaan layanan dasar kesehatan
dapat dirasakan seluruh rakyat Indonesia, dibandingkan dengan menaikkan iuran
yang akan menurunkan keikutsertaan rakyat pada BPJS kesehatan,†ujarnya.
Ketua DPP Partai NasDem Okky
Asokawati meminta pemerintah melihat kembali kajian KPK. Sejumlah rekomendasi
KPK terkait persoalan BPJS Kesehatan ini di antaranya agar Kementerian
Kesehatan menyusun Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) yang hingga Juli
2019 lalu baru 32 PNPK dari target sejak 2015 sebanyak 80 PNPK.
“Dalam kajian KPK ketiadaan
mengakibatkan pengobatan yang tidak perlu (unnecessary treatment),†katanya.
Rekomendasi KPK lainnya agar
Kementerian Kesehatan memberi pilihan untuk pembatasan manfaat untuk penyakit
katastropik yakni penyakit akibat gaya hidup.
KPK menyebutkan, jika terdapat
pembatasan manfaat untuk jenis penyakit ini dapat mengurangi potensi pengobatan
yang tidak perlu sebesar 5-10 persen. “Jadi, banyak opsi yang bisa dilakukan
Kemenkes dan BPJS Kesehatan selain menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Ini
persoalan mau atau tidak,†tandasnya.
Okky menilai keputusan Presiden
Joko Widodo (Jokowi) untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres
Nomor? 64/2020 tidak sepaham dengan spirit yang terkandung dalam pertimbangan
dan putusan MA yang membatalkan Perpres No 75/2019 terdahulu.
“Salah satu pertimbangan hakim MA
dalam putusan atas pembatalan norma di Perpres 75/2019 karena terdapat
kewajiban negara untuk menjamin kesehatan warga serta kemampuan warga negara yang
tidak meningkat,†katanya.
Okky pun menilai Perpres 64/2020
akan bernasib sama dengan Perpres 75/2019 karena bermasalah dari sisi materiil
peraturan perundang-undangan. Materi yang tertuang dalam Perpres No 64/2020
secara substansial pun tidak jauh berbeda dengan Perpres 75/2019.
“Secara substansial, materi
Perpes 64/2020 tidak jauh berbeda dengan Perrpes 75/2019 yang telah dibatalkan
MA. Jadi, besar kemungkinan Perpes 64/2020 akan dibatalkan MA,†katanya.
Menurut dia, perbedaannya hanya
menunda kenaikan pembayaran khususnya di kelas III pada awal tahun 2021.
Padahal, MA dalam putusannya membatalkan norma di Pasal 34 ayat (1) dan ayat
(2) Perpres 75/2019.
“Nah, di Pasal 34 ayat (1)
Perpres 64/2020 hakikatnya sama dengan norma yang dibatalkan oleh MA. Norma
saat ini hanya menunda kenaikan kelas III hingga awal tahun 2021. Adapun kelas
II dan kelas III hanya dikurangi Rp 10.000 dari rencana sesuai Perpres 75/2019
dan efektif pada awal Juli mendatang,†ujar Ketua DPP NasDem bidang kesehatan
itu.
Okky menyebutkan, secara
objektif, kondisi masyarakat saat ini semakin sulit akibat dampak pandemi
COVID-19. Situasi tersebut, juga diamini pemerintah dengan program jaring pengaman
sosial (social safety net).
“Saat ini kondisi ekonomi
masyarakat justru makin parah dibanding saat MA membatalkan Perpres 75/2019
pada 27 Februari 2020 lalu, di mana Indonesia belum terdampak COVID-19,â€
ujarnya.
Enam Rekomendasi KPK
1.
Pemerintah cq Kementerian Kesehatan agar
menyelesaikan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK).
2.
Melakukan penertiban kelas rumah sakit.
3.
Mengimplementasikan kebijakan urun biaya
(co-payment) untuk peserta mandiri sebagaimana diatur dalam Permenkes 51 Tahun
2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.
4.
Menerapkan kebijakan pembatasan manfaat untuk
klaim atas penyakit katastropik sebagai bagian dari upaya pencegahan.
5.
Mengakselerasi implementasi kebijakan coordination of benefit (COB) dengan
asuransi kesehatan swasta.
6.
Terkait tunggakan iuran dari peserta mandiri,
KPK merekomendasikan agar pemerintah mengaitkan kewajiban membayar iuran BPJS
Kesehatan dengan pelayanan publik.