PROKALTENG.CO – Dua analis minyak nabati dunia, Dorab Mistry dan Thomas Mielke, menyampaikan peringatan mengenai dampak pembentukan satuan tugas (satgas) pemerintah yang menyita dan mengambil alih hak kelola lahan perkebunan sawit.
Dalam konferensi pers setelah berbicara dalam IPOC 2025, keduanya menilai kebijakan tersebut akan memengaruhi proyeksi produksi sawit Indonesia dalam beberapa tahun ke depan serta berpotensi mengguncang pasar global.
Baik Dorab Mistry maupun Thomas Mielke sepakat bahwa tanpa kebijakan yang mendukung peningkatan produksi, Indonesia akan menghadapi tekanan produksi dalam jangka pendek dan risiko harga tinggi di pasar global. Kondisi ini berpotensi menekan industri hilir domestik dan mempersempit daya saing ekspor sawit Indonesia di pasar internasional.
Dorab Mistry, direktur Godrej International Ltd, menegaskan bahwa pertumbuhan produksi sawit Indonesia berpotensi stagnan. ”Dengan kondisi saat ini, produksi Indonesia tahun depan paling bagus hanya datar atau sedikit meningkat. Dalam dua tahun mendatang, produksi tidak akan bertambah lebih dari 1 hingga 1,5 juta ton,” ujar Mistry dalam konferensi pers IPOC 2025 di BICC The Westin, Nusa Dua, Jumat (14/11/2025).
Dia menekankan bahwa tanpa penerbitan izin baru untuk perkebunan, baik plasma maupun swasta, peningkatan produksi hampir mustahil terjadi. Bahkan jika izin diterbitkan segera, tambahan produksi baru diperkirakan baru muncul dalam 3–4 tahun.
Mistry juga menyoroti pesatnya ekspansi industri hilir, khususnya oleokimia, yang akan menyerap lebih banyak pasokan CPO di dalam negeri. Hal ini membuat ketersediaan ekspor semakin terbatas, terutama bagi India yang merupakan pembeli terbesar.
Jika India tidak mendapatkan cukup pasokan dari Indonesia, harga akan naik. Inilah sebabnya proyeksi kami bullish, tetapi proyeksi bullish tidak selalu baik karena konsumen yang menanggung dampaknya,” ujarnya.
Mistry mengingatkan perlunya tindakan cepat pemerintah sambil mengutip pepatah ”a stitch in time saves nine”, sebuah ungkapan yang kurang lebih sama dengan ”lebih baik mencegah daripada mengobati”.
”Artinya, tindakan cepat hari ini mencegah masalah besar di masa depan. Pemerintah perlu segera mengeluarkan izin tanam baru dan meningkatkan produksi. Jika tidak, tahun-tahun mendatang akan menjadi masa yang sulit,” kata Mistry.
Melengkapi pandangan tersebut, Thomas Mielke, Direktur Eksekutif Oil World, memberikan prediksi yang lebih tegas terkait tren produksi.“Kami memperkirakan produksi Indonesia akan turun pada 2026 dan turun lebih jauh pada 2027,” kata Mielke.
Ia menyebut ketidakpastian berasal dari luas lahan yang diambil alih satgas. Jika luasnya mencapai 3 juta hektare atau lebih, dampaknya disebut sangat serius. Situasi ini dianggap sensitif karena dapat mengganggu struktur suplai global.
Mielke juga mengingatkan bahwa pemerintah tidak bisa mengendalikan harga dunia. Harga global minyak nabati pada 2026–2027 akan menentukan harga domestik, sehingga Indonesia tak bisa sepenuhnya menahan implikasi kenaikan harga internasional.
Selain itu, dia menilai Malaysia tidak dapat menutup gap ekspor Indonesia akibat keterbatasan luas tanam matang, proses replanting yang lambat, dan penurunan produktivitas.
”Jika pasokan Indonesia turun, harga naik. Ketika harga naik, negara lain akan menambah produksi minyak nabati lain, dan konsumen beralih dari sawit karena sensitif harga,” ujarnya.
Mielke menanggapi keputusan pemerintah yang membuka peluang 600.000 hektare tanam baru. Hal tersebut sebenarnya merupakan keputusan tepat asal berkelanjutan. Namun dia mengingatkan bahwa hasilnya baru dapat terlihat pada periode 2028–2030.
Dia juga menegaskan pentingnya profesionalisme tata kelola kebun. “Jika manajemen kebun diambil alih dari para profesional, hasilnya menurun. Pengelolaan oleh orang yang tidak berpengalaman tidak akan efektif.” (ind)
