26.3 C
Jakarta
Wednesday, April 9, 2025

Mahfud MD Blak-blakan Diamanatkan Empat Masalah Menjadi Menko Polhukam

Presiden Joko Widodo menunjuk Mohammad Mahfud MD sebagai Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Dia menjadi sipil
murni pertama yang dipercaya menduduki posisi tersebut, padahal sebelumnya
posisi ini selalu diisi oleh sipil yang berlatar belakang purnawirawan TNI.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga diamanatkan empat
tugas penting, meningkatkan indeks persepsi hukum, serta mengomando kementerian
dan menyusun aturan omnibus law. Kepada JawaPos.com, Mahfud blak-blakan terkait
tugas yang diembannya, berikut kutipan wawancara di kantornya pada Rabu (13/11)
malam.

Ketika dipanggil dan dipilih oleh Presiden menjadi Menko
Polhukam. Apakah Presiden sempat menjelaskan kenapa anda dipilih, menjadi orang
pertama dan sejauh ini satu-satunya sipil murni yang diamanati sebagai Menko
Polhukam?

Pak Jokowi enggak nyebut, mempertentangkan sipil militer. Saya
sendiri baru sadar sudah dapat pesan melalui aplikasi WhatsApp dari Pak Hendro
(A. M. Hendropriyono). Pak Jokowi itu hanya menyebut tugas yang diembankan
kepada saya itu. Dibuat dalam garis besar itu ada empat.

Apa saja empat tugas tersebut?

Satu persoalan indeks persepsi hukum. Kita berdasar hasil survei
itu 49 (persen), enggak sampai 50 (persen). Lalu yang kedua penegakan hukum.
Terutama di bidang hukum pemberantasan korupsi. Itu supaya ditingkatkan.
Komitmennya Pak Jokowi itu tetap memperkuat pemberantasan korupsi. Bahkan dulu
pernah bilang ke saya bahwa sebenarnya dia menginginkan pemberantas korupsi itu
satu-satunya ya KPK.

Hal lainnya terkait kriminal. Kejaksaan misalnya, sudah mengurus
yang lain. Narkotika, pencurian, pembunuhan, teror. Kalau korupsi itu sebaiknya
khusus KPK. Itu Pak Jokowi dulu. Karena pikirannya memang ingin memperkuat KPK
itu sebagai lembaga pemberantas korupsi.

Tapi, perkembangan terakhir menguatkan korupsi itu harus juga
menguatkan kinerja dan profesionalitas Polri dan kejaksaan. Itulah sebabnya dia
mengatakan, itu persoalan hukum kita.

Lalu yang ketiga masalah HAM. Kita masih punya kasus-kasus lama.
Belum selesai-selesai mulai tahun 65, Talangsari, Priok, Semanggi, dan
sebagainya. Itu kan masih banyak. Pak Jokowi minta itu selesaikan lah. Supaya
tidak menjadi perdebatan setiap pemilu, ada pilkad, itu dibuka lagi. Dibuka
dalam perdebatan. Selain HAM masa lalu, HAM masa depan juga supaya dijaga
sebaik-baiknyanya.

Lalu yang sesudah itu, radikalisasi. Supaya melakukan program
deradikalisasi. Nah itu yang dipesankan kepada saya.

Pemilahan anda sebagai Menko Polhukam tidak juga untuk mengubah
perspektif dan cara penanganan masalah bidang polhukam?

Pak Jokowi hanya mengatakan, Pak Mahfud saya sudah baca lengkap
riwayat hidup Pak Mahfud. Pernah di DPR, pernah jadi menteri, pernah jadi ketua
MK, ngajar juga. Ilmunya bisa di bidang ini, katanya.

Jadi, alasannya itu latar belakang keilmuan saya. Latar belakang
pengalaman saya di bidang politik, karena saya pernah di DPR dan di parpol.
Latar belakang saya di bidang penegakan hukum, karena saya pernah menjadi ketua
MK. Latar belakang saya di bidang akademisi, karena saya dosen dan latar
belakang saya menangani birokrasi pemerintahan, karena saya pernah jadi
menteri.

Baca Juga :  Awas! Ada Penjualan Swafoto KTP di Medsos

Kemenko Polhukam menggordinasi Kementerian Pertahanan yang saat
ini di pimpin Prabowo. Apakah ada sempat canggung karena pernah menjadi ketua
timses Prabowo – Hatta?

Nggak, sama sekali nggak canggung. Biasa saja. Pak Prabowo
kepada saya ndak canggung, saya kepada dia nggak canggung. Kan perkembangan
politik membuat konsolidasi perasaan, hubungan antar orang, itu kan bisa
mengubah. Sehingga saya ketemu Pak Prabowo ya biasa-biasa aja. Ya Pak Prabowo
menghadap, saya mau menghadap bapak. Ya bergurau-bergurau. Bisa bergurau
seperti itu kan artinya nggak ada masalah.

Bagi saya, tugas tidak harus berbenturan. Dia punya
wewenang-wewenang sendiri yang saya tidak harus ikut campur. Saya juga punya
wewenang yang diberikan oleh undang-undang, diberikan presiden. Yang bisa ikut
melakukan koordinasi lintas kementerian. Tapi, rasanya tidak akan ada
pertentangan. Karena kan visinya itu visi negara. Kalau di pemerintahan visi
presiden dan wakil presiden. Bukan visi Mahfud sebagai menko polhukam, atau
Prabowo sebagai menhan, atau Tito Karnavian sebagai mendagri.

Anda juga diberi tugas untuk menyusun omnibus law?

Kalau omnibus law itu, disampaikan tidak kepada saya. Tapi,
kepada sidang kabinet. Kalau kepada saya cuma empat. Omnibus law disampaikan
kepada sidang kabinet dan presiden meminta Menko Polhukam itu memandu jalannya
ini, mengendalikan jalannya ini, istilahnya memimpin. Itu di sidang kabinet.
Nah, oleh sebab itu, ya sama-sama harus dilaksanakan tetapi beda cara tempat
penyampaiannya.

Kalau omnibus law itu kan mengikat semua orang dari berbagai
departemen yang hukumnya akan terkena perubahan. Itu saya yang akan
menyampaikan. Tentu, di bidang omnibus law saya membuat lapangan politiknya itu
nyaman, tidak ribut. Lapangan legsilatifnya itu nanti penjurunya menkumham dan
Bappenas, serta menteri-menteri lain yang undang-undangnya harus dijait menjadi
satu omnibus.

Saya menyiapkan lapangannya di sini. Misalnya ada buruh, wah
saya ndak setuju itu, saya yang jelaskan. Kalau ada suatu kekerasan masalah,
itu saya yang koordinir bagaimana menyelesaikannya itu. Jadi, omnibus law itu
diserahkan oleh presiden kepada menko polhukam. Tapi, itu dinyatakan di sidang
kabinet.

Kenapa omnibus law dipilih untuk menyelesaikan tumpang tidih
aturan dan kenapa baru sekarang, tidak sejak periode kepemimpinan presiden
Jokowi sebelumnya?

Omnibus law itu adalah satu produk hukum yang membuat satu pintu
penyelesaian jika ada aturan hukum yang bertentangan satu sama lain tentang
satu hal. Misalnya saya mau memindah ini ya, mindah ini itu menurut menteri
pertanian wah jangan dong itu ada bunga bagus, jangan dipindah, cocok di
kantor. Tapi, menurut intelijen, oh jangan di situ itu bisa diletakan rekaman.
Tapi, kemudian ada yang lai lagi, oh demi keindahan pindah ke situ.

Jadi, untuk memindah satu barang itu undang-undangnya banyak.
Bagaimana cara menjadikan itu jadi satu, di situlah omnibus law. Ketika Pak
Luhut (Binsar Panjaitan) pada tahun 2015 itu diangkat menjadi Menko Polhukam,
dia pusing setengah mati karena kalau buat kebijakan satu bertentangan dengan
kebijakan lain. Kalau buat kebijakan bertentangan lagi dengan ini.

Baca Juga :  INDEF: Pekerja ‘Part Time’ Tak Layak Nikmati Kartu Pra-Kerja

Sehingga dia mengundang saya waktu itu, gimana nih Mas Mahfud
secara hukum. Kok pusing menghadapi ini, nggak bisa menyelesaikan sesuatu. Kok
selalu diganjal oleh aturan yang berjenjang. Ngundang saya, ngundang Jimly
Asshiddiqie, lalu Indriyanto Seno Aji. Dari situ diskusi, oh cara
menyelesaikannya ini omnibus law yaitu membuat aturan hukum yang menyelesaikan
masalah di satu pintu tapi undang-undang aslinya nggak terganggu.

Jadi, sebenarnya memang sudah lama omnibus law itu?

Ketika omnibus law ini diseriusi, Pak Luhut pindah menjadi
menteri maritim. Di Kemenko Polhukam nggak jalan lagi. Tapi, itu mengalir ke
Istana. Akhirnya Istana menggarap omnibus law itu sampai akhinya di periode
(kedua) Pak Jokowi istilah itu muncul keluar kemudian menjadi program resmi Pak
Jokowi.

Pemerintah yakin omnibus law bisa efektif menyelesaikan masalah?

Misalnya begini, kalau orang mau investasi itu undang-undang
investasinya mensyaratkan begini. Tapi, menteri perdagangannya mensyaratkan
lain, menteri perindustriannya lain karena undang-undangnya beda. Sekarang mau
diangkat ke atas nggak boleh ada undang-undang yang tumpang tindih. Ini kan
semua program presiden, bukan program menteri ditarik ke atas, itulah omnibus
law.

Orang mengira omnibus law itu suatu hal yang biasa, padahal
nggak. Omnibus law itu metode menyelesaikan konflik antar aturan. Jadi, bukan
hukum materil yang tersendiri. Jadi, orang yang nggak ngerti ribut omnibus law.
Maka orang harus hati-hati, maka kita buat omnibus law.

Sama sekali tidak ada kaitannya dengan statement Presiden yang
meminta jangan terlalu keras terhadap investor?

Ya itu, ada hubungan investor masuk itu sulit karena aturannya
berbeda-beda. Aturannya terlalu banyak. Ada aturan menteri ada aturan UU ini,
ada itu, ada perda. Itu kan menyulitkan investor. Uangnya sudah ada, nggak bisa
masuk karena undang-undangnya nggak memungkinkan ini harus lewat presiden, ini
harus lewat menteri dan seterusnya. Akhirnya ditarik ke atas, ini namanya
omnibus law.

Presiden bilang jangan asal tebas terhadap birokrasi yang
melakukan trobosan, apakah itu berarti kalau melakukan pelanggaran hukum disitu
dibiarkan saja?

Pelanggaran hukum harus ditindak, tetapi kalau Pak Presiden tadi
jangan sampai ada yg memeras, menyalahgunakan hukum untuk kepentingan pribadi.
Presiden bilang saya tahu yang melakukan itu siapa dan di mana. Memang presiden
tahu dalam arti institusi mana yang begitu. Itu yang harus dibenahi.

Sehingga intinya ke depan birokrasi itu terutama birokrasi penegak
hukum, kejaksaan, kepolisian yang tugas mengawasi jangan memeras. Yang kedua
jangan membekingi kejahatan. Kan banyak tuh penegak hukum, orang salah nggak
dihukum karena ada bekingnya, sudah disita barangnya hilang. Tidak berani
mengungkap. Itu presiden tahu karena laporan banyak ke presiden.(jpc)

 

Presiden Joko Widodo menunjuk Mohammad Mahfud MD sebagai Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Dia menjadi sipil
murni pertama yang dipercaya menduduki posisi tersebut, padahal sebelumnya
posisi ini selalu diisi oleh sipil yang berlatar belakang purnawirawan TNI.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga diamanatkan empat
tugas penting, meningkatkan indeks persepsi hukum, serta mengomando kementerian
dan menyusun aturan omnibus law. Kepada JawaPos.com, Mahfud blak-blakan terkait
tugas yang diembannya, berikut kutipan wawancara di kantornya pada Rabu (13/11)
malam.

Ketika dipanggil dan dipilih oleh Presiden menjadi Menko
Polhukam. Apakah Presiden sempat menjelaskan kenapa anda dipilih, menjadi orang
pertama dan sejauh ini satu-satunya sipil murni yang diamanati sebagai Menko
Polhukam?

Pak Jokowi enggak nyebut, mempertentangkan sipil militer. Saya
sendiri baru sadar sudah dapat pesan melalui aplikasi WhatsApp dari Pak Hendro
(A. M. Hendropriyono). Pak Jokowi itu hanya menyebut tugas yang diembankan
kepada saya itu. Dibuat dalam garis besar itu ada empat.

Apa saja empat tugas tersebut?

Satu persoalan indeks persepsi hukum. Kita berdasar hasil survei
itu 49 (persen), enggak sampai 50 (persen). Lalu yang kedua penegakan hukum.
Terutama di bidang hukum pemberantasan korupsi. Itu supaya ditingkatkan.
Komitmennya Pak Jokowi itu tetap memperkuat pemberantasan korupsi. Bahkan dulu
pernah bilang ke saya bahwa sebenarnya dia menginginkan pemberantas korupsi itu
satu-satunya ya KPK.

Hal lainnya terkait kriminal. Kejaksaan misalnya, sudah mengurus
yang lain. Narkotika, pencurian, pembunuhan, teror. Kalau korupsi itu sebaiknya
khusus KPK. Itu Pak Jokowi dulu. Karena pikirannya memang ingin memperkuat KPK
itu sebagai lembaga pemberantas korupsi.

Tapi, perkembangan terakhir menguatkan korupsi itu harus juga
menguatkan kinerja dan profesionalitas Polri dan kejaksaan. Itulah sebabnya dia
mengatakan, itu persoalan hukum kita.

Lalu yang ketiga masalah HAM. Kita masih punya kasus-kasus lama.
Belum selesai-selesai mulai tahun 65, Talangsari, Priok, Semanggi, dan
sebagainya. Itu kan masih banyak. Pak Jokowi minta itu selesaikan lah. Supaya
tidak menjadi perdebatan setiap pemilu, ada pilkad, itu dibuka lagi. Dibuka
dalam perdebatan. Selain HAM masa lalu, HAM masa depan juga supaya dijaga
sebaik-baiknyanya.

Lalu yang sesudah itu, radikalisasi. Supaya melakukan program
deradikalisasi. Nah itu yang dipesankan kepada saya.

Pemilahan anda sebagai Menko Polhukam tidak juga untuk mengubah
perspektif dan cara penanganan masalah bidang polhukam?

Pak Jokowi hanya mengatakan, Pak Mahfud saya sudah baca lengkap
riwayat hidup Pak Mahfud. Pernah di DPR, pernah jadi menteri, pernah jadi ketua
MK, ngajar juga. Ilmunya bisa di bidang ini, katanya.

Jadi, alasannya itu latar belakang keilmuan saya. Latar belakang
pengalaman saya di bidang politik, karena saya pernah di DPR dan di parpol.
Latar belakang saya di bidang penegakan hukum, karena saya pernah menjadi ketua
MK. Latar belakang saya di bidang akademisi, karena saya dosen dan latar
belakang saya menangani birokrasi pemerintahan, karena saya pernah jadi
menteri.

Baca Juga :  Awas! Ada Penjualan Swafoto KTP di Medsos

Kemenko Polhukam menggordinasi Kementerian Pertahanan yang saat
ini di pimpin Prabowo. Apakah ada sempat canggung karena pernah menjadi ketua
timses Prabowo – Hatta?

Nggak, sama sekali nggak canggung. Biasa saja. Pak Prabowo
kepada saya ndak canggung, saya kepada dia nggak canggung. Kan perkembangan
politik membuat konsolidasi perasaan, hubungan antar orang, itu kan bisa
mengubah. Sehingga saya ketemu Pak Prabowo ya biasa-biasa aja. Ya Pak Prabowo
menghadap, saya mau menghadap bapak. Ya bergurau-bergurau. Bisa bergurau
seperti itu kan artinya nggak ada masalah.

Bagi saya, tugas tidak harus berbenturan. Dia punya
wewenang-wewenang sendiri yang saya tidak harus ikut campur. Saya juga punya
wewenang yang diberikan oleh undang-undang, diberikan presiden. Yang bisa ikut
melakukan koordinasi lintas kementerian. Tapi, rasanya tidak akan ada
pertentangan. Karena kan visinya itu visi negara. Kalau di pemerintahan visi
presiden dan wakil presiden. Bukan visi Mahfud sebagai menko polhukam, atau
Prabowo sebagai menhan, atau Tito Karnavian sebagai mendagri.

Anda juga diberi tugas untuk menyusun omnibus law?

Kalau omnibus law itu, disampaikan tidak kepada saya. Tapi,
kepada sidang kabinet. Kalau kepada saya cuma empat. Omnibus law disampaikan
kepada sidang kabinet dan presiden meminta Menko Polhukam itu memandu jalannya
ini, mengendalikan jalannya ini, istilahnya memimpin. Itu di sidang kabinet.
Nah, oleh sebab itu, ya sama-sama harus dilaksanakan tetapi beda cara tempat
penyampaiannya.

Kalau omnibus law itu kan mengikat semua orang dari berbagai
departemen yang hukumnya akan terkena perubahan. Itu saya yang akan
menyampaikan. Tentu, di bidang omnibus law saya membuat lapangan politiknya itu
nyaman, tidak ribut. Lapangan legsilatifnya itu nanti penjurunya menkumham dan
Bappenas, serta menteri-menteri lain yang undang-undangnya harus dijait menjadi
satu omnibus.

Saya menyiapkan lapangannya di sini. Misalnya ada buruh, wah
saya ndak setuju itu, saya yang jelaskan. Kalau ada suatu kekerasan masalah,
itu saya yang koordinir bagaimana menyelesaikannya itu. Jadi, omnibus law itu
diserahkan oleh presiden kepada menko polhukam. Tapi, itu dinyatakan di sidang
kabinet.

Kenapa omnibus law dipilih untuk menyelesaikan tumpang tidih
aturan dan kenapa baru sekarang, tidak sejak periode kepemimpinan presiden
Jokowi sebelumnya?

Omnibus law itu adalah satu produk hukum yang membuat satu pintu
penyelesaian jika ada aturan hukum yang bertentangan satu sama lain tentang
satu hal. Misalnya saya mau memindah ini ya, mindah ini itu menurut menteri
pertanian wah jangan dong itu ada bunga bagus, jangan dipindah, cocok di
kantor. Tapi, menurut intelijen, oh jangan di situ itu bisa diletakan rekaman.
Tapi, kemudian ada yang lai lagi, oh demi keindahan pindah ke situ.

Jadi, untuk memindah satu barang itu undang-undangnya banyak.
Bagaimana cara menjadikan itu jadi satu, di situlah omnibus law. Ketika Pak
Luhut (Binsar Panjaitan) pada tahun 2015 itu diangkat menjadi Menko Polhukam,
dia pusing setengah mati karena kalau buat kebijakan satu bertentangan dengan
kebijakan lain. Kalau buat kebijakan bertentangan lagi dengan ini.

Baca Juga :  INDEF: Pekerja ‘Part Time’ Tak Layak Nikmati Kartu Pra-Kerja

Sehingga dia mengundang saya waktu itu, gimana nih Mas Mahfud
secara hukum. Kok pusing menghadapi ini, nggak bisa menyelesaikan sesuatu. Kok
selalu diganjal oleh aturan yang berjenjang. Ngundang saya, ngundang Jimly
Asshiddiqie, lalu Indriyanto Seno Aji. Dari situ diskusi, oh cara
menyelesaikannya ini omnibus law yaitu membuat aturan hukum yang menyelesaikan
masalah di satu pintu tapi undang-undang aslinya nggak terganggu.

Jadi, sebenarnya memang sudah lama omnibus law itu?

Ketika omnibus law ini diseriusi, Pak Luhut pindah menjadi
menteri maritim. Di Kemenko Polhukam nggak jalan lagi. Tapi, itu mengalir ke
Istana. Akhirnya Istana menggarap omnibus law itu sampai akhinya di periode
(kedua) Pak Jokowi istilah itu muncul keluar kemudian menjadi program resmi Pak
Jokowi.

Pemerintah yakin omnibus law bisa efektif menyelesaikan masalah?

Misalnya begini, kalau orang mau investasi itu undang-undang
investasinya mensyaratkan begini. Tapi, menteri perdagangannya mensyaratkan
lain, menteri perindustriannya lain karena undang-undangnya beda. Sekarang mau
diangkat ke atas nggak boleh ada undang-undang yang tumpang tindih. Ini kan
semua program presiden, bukan program menteri ditarik ke atas, itulah omnibus
law.

Orang mengira omnibus law itu suatu hal yang biasa, padahal
nggak. Omnibus law itu metode menyelesaikan konflik antar aturan. Jadi, bukan
hukum materil yang tersendiri. Jadi, orang yang nggak ngerti ribut omnibus law.
Maka orang harus hati-hati, maka kita buat omnibus law.

Sama sekali tidak ada kaitannya dengan statement Presiden yang
meminta jangan terlalu keras terhadap investor?

Ya itu, ada hubungan investor masuk itu sulit karena aturannya
berbeda-beda. Aturannya terlalu banyak. Ada aturan menteri ada aturan UU ini,
ada itu, ada perda. Itu kan menyulitkan investor. Uangnya sudah ada, nggak bisa
masuk karena undang-undangnya nggak memungkinkan ini harus lewat presiden, ini
harus lewat menteri dan seterusnya. Akhirnya ditarik ke atas, ini namanya
omnibus law.

Presiden bilang jangan asal tebas terhadap birokrasi yang
melakukan trobosan, apakah itu berarti kalau melakukan pelanggaran hukum disitu
dibiarkan saja?

Pelanggaran hukum harus ditindak, tetapi kalau Pak Presiden tadi
jangan sampai ada yg memeras, menyalahgunakan hukum untuk kepentingan pribadi.
Presiden bilang saya tahu yang melakukan itu siapa dan di mana. Memang presiden
tahu dalam arti institusi mana yang begitu. Itu yang harus dibenahi.

Sehingga intinya ke depan birokrasi itu terutama birokrasi penegak
hukum, kejaksaan, kepolisian yang tugas mengawasi jangan memeras. Yang kedua
jangan membekingi kejahatan. Kan banyak tuh penegak hukum, orang salah nggak
dihukum karena ada bekingnya, sudah disita barangnya hilang. Tidak berani
mengungkap. Itu presiden tahu karena laporan banyak ke presiden.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru