JAKARTA – Eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi
dituntut 10 tahun penjara. Selain itu jaksa juga meminta hakim untuk mencabut
hak politiknya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Ronald Ferdinand Worotikan meyakini bahwa mantan
Menpora Imam Nahrawi terbukti menerima suap Rp11,5 miliar dan gratifikasi
sebesar Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga
serta Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Untuk jaksa menuntut Imam
Nahrawi dengan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan
kurungan.
“Menyatakan terdakwa Imam Nahrawi
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi
secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama
dan dakwaan kedua,†ujar Ronald saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (12/6).
Sidang digelar melalui konferensi
video. Nahrawi berada di Gedung KPK sedangkan Jaksa, majelis hakim dan sebagian
penasihat hukum berada di Gedung Pengadilan Tipikor.
Jaksa juga menuntut agar Imam
Nahrawi membayar uang pengganti sejumlah Rp19,1 miliar. Jika tidak membayar dalam
waktu satu bulan setelah keputusan pengadilan memperoleh hukum tetap, harta
bendanya disita oleh Jaksa untuk dilelang.
“Jika harta benda terdakwa tidak
mencukupi, maka dipidana dengan pidana selama tiga tahun,†lanjut Jaksa.
Selain itu, Jaksa juga menuntut
pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam pemilihan jabatan publik
Imam selama lima tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Dalam pertimbangannya, Jaksa
mengungkapkan hal yang memberatkan Imam adalah perbuatannya telah menghambat
perkembangan dan prestasi atlet Indonesia, terdakwa tidak kooperatif, dan tidak
mengakui secara terus terang seluruh perbuatannya. Selain itu, terdakwa tidak
menjadi teladan yang baik.
“Hal meringankan terdakwa
bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan, terdakwa masih memiliki
tanggungan keluarga,†ucap Jaksa.
Dalam surat dakwaan, Imam
dinyatakan menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,64 miliar
dari Sekretaris Jenderal KONI, Ending Hamidy dan Bendahara Umum KONI, Johnny E
Awuy. Perbuatan itu dilakukan secara bersama-sama dengan asisten pribadinya
Miftahul Ulum.
Tujuan pemberian suap itu adalah
untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang
diajukan oleh KONI Pusat kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga tahun kegiatan
2018.
Pada 2018, KONI Pusat mengajukan
proposal bantuan dana hibah kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam rangka
pelaksanaan tugas Pengawasan dan Pendampingan Program Peningkatan Prestasi
Olahraga Nasional pada Asian Games ke-18 dan Asian Para Games ke-3 pada 2018
serta proposal dukungan KONI dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi
calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018.
Dijelaskan Ronald, Imam Nahrawi
mengacuhkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai penggunaan anggaran
Kemenpora yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp11 miliar.
“Telah terungkap juga di
persidangan mengenai pengetahuan terdakwa Imam Nahrawi terkait dengan adanya
permintaan Miftahul Ulum yang mengatasnamakan terdakwa, yaitu ketika Gatot Dewa
Broto dan Lina Nurhasanah menghadap terdakwa di ruang kerjanya untuk
menyampaikan adanya temuan BPK mengenai dana akomodasi yang dikelola oleh Lina
Nurhasanah tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk anggaran tahun 2016 sekitar
Rp11 miliar,†terangnya.
Selanjutnya Jaksa Budhi Sarumpaet
menjelaskan bahwa Lina Nurhasanah merupakan Bendahara Pengeluaran Pembantu
(BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015—2016, sedangkan Gatot S.
Dewa Broto menjabat sebagai Sekretaris Menpora (Sesmenpora).
“Lina Nurhasanah menyampaikan
kepada terdakwa dari temuan BPK tersebut sejumlah Rp6.948.435.682 dipergunakan
untuk mendukung kegiatan operasional terdakwa selaku Menpora, yaitu sebesar
Rp4.948.435.682 untuk tambahan operasional perjalanan dinas dan sejumlah Rp2
miliar untuk pembayaran keperluan rumah terdakwa yang diserahkan melalui
Miftahul Ulum,†ungkapnya.
Namun, setelah menerima laporan
dari Lina, Imam sama sekali tidak mengambil langkah perbaikan terhadap adanya
permintaan uang dari Miftahul Ulum untuk kepentingan Imam yang menyebabkan
adanya temuan BPK RI tersebut.
“Bahkan, terdakwa selaku Menpora
cenderung acuh dan melakukan pembiaran terhadap perbuatan Miftahul Ulum selaku
asisten pribadi terdakwa. Hal ini bertolak belakang dengan pengakuan terdakwa
di persidangan yang menyatakan telah menyampaikan kepada jajaran pegawai
Kemenpora RI agar memberitahukannya jika ada pihak-pihak yang meminta sejumlah
uang mengatasnamakan terdakwa selaku Menpora,†kata Budhi.
Jaksa KPK juga mempertanyakan
sikap Imam yang tidak pernah memberikan sanksi administratif maupun pemecatan
terhadap Ulum sejak Imam mengetahui laporan tersebut.
“Miftahul Ulum baru diberhentikan
selaku asisten pribadi terdakwa jauh setelahnya, yaitu pada tahun 2019 setelah
dilakukan OTT oleh KPK,†ungkapnya.
Terhadap persoalan temuan BPK
itu, menurut JPU KPK, Imam membenarkan adanya pertemuan dengan Gatot Dewa
Broto.
“Yang pada pokoknya Gatot dan
Lina Nurhasanah ingin melaporkan terkait dengan dengan temuan BPK tersebut. Namun,
terdakwa dengan beralasan karena sudah malam maka tidak jadi dilakukan pembahasan
tersebut,†kata jaksa Budhi.
Dalam persidangan, Ulum juga
menyatakan bahwa selain adanya penerimaan uang gratifikasi tersebut, ternyata
Ulum juga pernah menerima sejumlah uang dari Dwi Satya untuk diberikan kepada
pihak Kejaksaan Agung Adi Toegarisman dan pihak BPK Achsanul Qosasi.
“Terkait dengan keterangan
tersebut, perlu kiranya untuk mendalami keterangan Miftahul Ulum lebih lanjut
karena keterangan tersebut adalah keterangan yang berdiri sendiri dan di luar
dari materi dakwaan yang harus dibuktikan oleh penuntut umum. Namun, keterangan
Ulum tersebut menambah keyakinan penuntut umum bahwa penerimaan uang tidak sah
dari pihak lain untuk kepentingan Menpora Imam Nahrawi melalui Miftahul Ulum
selaku asisten pribadi Menpora telah berulang kali terjadi di lingkungan
Kemenpora,†kata jaksa.
Selanjutnya Budhi juga
menjelaskan berdasarkan fakta persidangan pebulu tangkis Taufik Hidayat menjadi
perantara penerimaan gratifikasi untuk Imam Nahrawi. Saat itu Taufik menjadi
staf khusus Menteri Pemuda dan Olahraga.
“Dalam persidangan terungkap
fakta hukum bahwa pada bulan Januari 2017, Tommy Suhartono selaku Direktur
Perencanaan dan Anggaran Program Satlak PRIMA meminta uang sejumlah Rp1 miliar
kepada Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku pejabat pembuat komitmen
(PPK) pada Program Satlak PRIMA Kemenpora RI untuk keperluan terdakwa Imam
Nahrawi selaku Menpora yang diminta untuk diserahkan kepada Taufik Hidayat yang
pada saat itu menjabat sebagai staf khusus Menpora,†kata Budhi.
“Atas permintaan tersebut
selanjutnya Ucok mengambil uang tunai sejumlah Rp1 miliar yang berasal dari
anggaran akomodasi atlet Program Satlak PRIMA. Selanjutnya, uang tersebut
diserahkan kepada Taufik Hidayat melalui Reiki Mamesah di rumah Taufik Hidayat,
Jalan Wijaya 3 No. 16 Kebayoran Baru,†lanjutnya.
Kemudian Tommy Suhartono
menghubungi Taufik dan mengatakan bahwa akan ada Miftahul Ulum selaku asisten
pribadi Imam yang akan mengambil uang titipan itu untuk keperluan Menpora. Ulum
lalu datang ke rumah Taufik dan mengambil uang sejumlah Rp1 miliar untuk
diserahkan kepada Imam.
“Di dalam persidangan, Miftahul
Ulum tidak mengakui pernah Rp1 miliar dari Taufik Hidayat. Namun, penuntut umum
berpendapat hal tersebut hanya merupakan upaya dari Miftahul Ulum untuk
menyembunyikan perbuatan terdakwa Imam,†kata jaksa menegaskan.
Penyebabnya, keterangan Tommy,
Ucok, Reiki dan Taufik walau masing-masing keterangan yang berdiri sendiri
namun saling berhubungan dan membenarkan adanya penerimaan uang oleh Imam.
“Dengan demikian, keterangan Ulum
yang tidak mengakui telah mengambil uang Rp1 miliar dari Taufik di rumahnya
adalah keterangan yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti sah
lainnya. Oleh karenanya sudah sepatutnya untuk dikesampingkan,†kata jaksa.
Jaksa Budhi juga meminta kepada
majelis hakim merampas uang senilai Rp11,461 miliar di rekening atas nama KONI
Pusat untuk negara.
Tiga barang bukti yang dituntut
untuk dirampas negara, yaitu uang dalam rekening BNI atas nama Johnny E. Awuy
senilai Rp61,149 juta; uang dalam rekening BNI atas nama KONI Pusat sejumlah
Rp11,461 miliar; dan uang pengembalian dari saksi senilai Rp994,231 juta.
“Terhadap barang bukti tersebut
di atas, sudah selayaknya penuntut umum menyatakan agar dirampas untuk negara,â€
katanya.
Jaksa menilai Imam telah terbukti
melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64
Ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama.
Ia juga terbukti melanggar Pasal
12B ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP sebagaimana
dakwaan kedua.
Wa Ode Nur Zainab, kuasa hukum
Imam mengatakan tuntutan terhadap kliennya tidak sesuai dengan fakta hukum.
“Tuntutan penuntut umum tidak
sesuai dengan fakta hukum, sangat mengada-ada, dan cenderung tendensius seperti
ada dendam kepada klien kami. Kami telah siapkan nota pembelaan,†katanya.