25.6 C
Jakarta
Sunday, April 13, 2025

Di Hadapan Komisi III DPR, Capim dari UMM Ini Setuju Revisi UU KPK

Salah satu Calon
pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Luthfi Jayadi Kurniawan‎
mendapat giliran menjalani fit and proper test di Komisi III DPR. Dalam
pemaparannya, dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu mengaku pernah
melakukan korupsi.

Namun bukan korupsi
seperti menerima suap atau bentuk pelanggaran hukum lainnya. Melainkan adalah
mengenai pelanggaran kecil-kecil.

‎”Kalau mengenai
korupsi saya tidak. Tapi kalau ‎tidak tepat waktu, kalau molor mungkin iya,”
ujar Lutfi di Komisi III DPR, Jakarta, Kamis (12/9).

Pendiri Malang
Corruption Watch (MCW) ini juga menyetujui ‎adanya Revisi Undang-Undang Nomor
30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Lutfi, semua
undang-undang yang dibuat harus siap untuk direvisi. Karean revisi adalah
sebuah keniscaan untuk perbaikan yang lebih baik.‎

“Tentang UU KPK, semua
bisa direvisi. Semua produk hukum itu bisa diubah. Karena perubahan UU sudah
diamanatkan,” katanya.

Namun demikian, Lutfi
berujar, adanya revisi UU KPK ini perlu hati-hati. Karena Jangan sampai revisi
itu menimbulkan pro dan kontra sehingga nantinya ada pihak yang melakukan uji
materi terhadap UU di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Jadi yang direvisi
harus betul hati-hati, agar tidak menimbulkan pro dan kontra. Misalnya nanti
dalam waktu sekejap ada yang masuk melakukan uji materi di MK,” ungkapnya.

Selain itu, Lutfi juga
setuju mengenai adanya pengawasan terhadap KPK. Namun, teknis pengawasan itu
harus berjalan lurus dengan yang ada di UU. Jangan sampai nantinya keluar jalur
dari aturan.

Baca Juga :  Pemulihan Ekonomi Bisa Mundur di Tahun 2022

“Tinggal bagaimana
menjalankan pengawasi itu tergantung UU,” jelasnya.

Karena baginya apabila
sudah ketok palu mengenai adanya perubahan UU KPK. Maka para pimpinan lembaga
atirasuah ini perlu menjalankannya. Hal itu juga amanat UU untuk menjalankan
aturan yang telah dibentuk.

‎”Sebagai pelaksana
UU. Maka harus patuh terhadap UU,” pungkasnya.

Terpisah, Pakar hukum
tata negara Fahri Bachmid mengatakan, revisi UU KPK merupakan keniscayaan
legislasi. Karena revisi yang merupakan amanat Presiden Jokowi itu tentunya
sudah melalui pertimbangan filosofis, teleologis, yuridis, sosiologis dan
komparatif.

“Saya pikir semuanya
serta telah memperhatikan kaidah-kaidah pembentukan UU sebagaimana diatur dalam
UU RI No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan,” ujar Fahri.

Sehingga, kata Fahri,
revisi UU KPK di DPR nantinya legitimate, baik secara yuridis maupun politis
untuk kepentingan pemberantasan korupsi di masa yang akan datang.

Diketahui, ada enam
pokok isu hukum utama dalam revisi UU KPK tersebut. misalnya soal keberadaan
dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan SP3, status pegawai KPK,
kedudukan hukum KPK sebagai cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK sebagai
lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di indonesia.

Menurut Fahri, sebagai
basis analisis dalam draf revisi UU KPK saat ini merupakan gabungan serta
evaluasi terhadap rezim pencegahan dan penindakan sebagai suatu instrumen vital
dan strategis KPK yang ada selama ini.

Baca Juga :  Vaksinasi Covid-19 Dilakukan Pertengahan Januari 2021

“Ada semacam rencana
penataan signifikan atas hal tersebut yang diorientasikan kedepan tentunya,”
tegas Alumni program Doktor Hukum Tata Negara pada kampus Universitas Muslim
Indonesia (UMI) Makassar ini.

Fahri juga
menambahkan, surat presiden (Surpres) yang dikirimkan kepada Ketua DPR untuk
pembahasan revisi UU KPK secara teknis ketatanegaraan sesuai ketentuan pasal 20
ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun, ia juga meminta beberapa hal untuk
diperhatikan jika revisi UU KPK tersebut sudah mulai dibahas.

“Misalnya, soal
pendalaman terhadap filosofi pencegahan dengan rehabilitasi yang berorientasi
pada keadilan restoratif dan serta sistem pemidanaan yang bertumpu pada prinsip
efek jera,” paparnya.

Dijelaskannya,kKonsep
penghukuman ini menjadi penting untuk didalami secara serius dan substantif
dalam rangka membangun sistem hukum Tipikor yang kuat dan kredible kedepan.
“Ini merupakan momentum penting untuk diselesaikan,” imbuhnya.

Menurut Fahri, dasar
rencana revisi UU KPK adalah dalam rangka memperkuat kelembagaan serta untuk
memastikan independensi KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemberantasan
korupsi, bukan untuk penataan yang bersifat destruktif.

“Hendaknya semua
kalangan dapat menyikapi semua ini dengan pikiran yang jernih dan masukan serta
argumentasi akademik yang lebih konstruktif demi perbaikan bangsa dan negara
kedepan,” pungkas Fahri.(jpg)

 

Salah satu Calon
pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Luthfi Jayadi Kurniawan‎
mendapat giliran menjalani fit and proper test di Komisi III DPR. Dalam
pemaparannya, dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu mengaku pernah
melakukan korupsi.

Namun bukan korupsi
seperti menerima suap atau bentuk pelanggaran hukum lainnya. Melainkan adalah
mengenai pelanggaran kecil-kecil.

‎”Kalau mengenai
korupsi saya tidak. Tapi kalau ‎tidak tepat waktu, kalau molor mungkin iya,”
ujar Lutfi di Komisi III DPR, Jakarta, Kamis (12/9).

Pendiri Malang
Corruption Watch (MCW) ini juga menyetujui ‎adanya Revisi Undang-Undang Nomor
30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Lutfi, semua
undang-undang yang dibuat harus siap untuk direvisi. Karean revisi adalah
sebuah keniscaan untuk perbaikan yang lebih baik.‎

“Tentang UU KPK, semua
bisa direvisi. Semua produk hukum itu bisa diubah. Karena perubahan UU sudah
diamanatkan,” katanya.

Namun demikian, Lutfi
berujar, adanya revisi UU KPK ini perlu hati-hati. Karena Jangan sampai revisi
itu menimbulkan pro dan kontra sehingga nantinya ada pihak yang melakukan uji
materi terhadap UU di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Jadi yang direvisi
harus betul hati-hati, agar tidak menimbulkan pro dan kontra. Misalnya nanti
dalam waktu sekejap ada yang masuk melakukan uji materi di MK,” ungkapnya.

Selain itu, Lutfi juga
setuju mengenai adanya pengawasan terhadap KPK. Namun, teknis pengawasan itu
harus berjalan lurus dengan yang ada di UU. Jangan sampai nantinya keluar jalur
dari aturan.

Baca Juga :  Pemulihan Ekonomi Bisa Mundur di Tahun 2022

“Tinggal bagaimana
menjalankan pengawasi itu tergantung UU,” jelasnya.

Karena baginya apabila
sudah ketok palu mengenai adanya perubahan UU KPK. Maka para pimpinan lembaga
atirasuah ini perlu menjalankannya. Hal itu juga amanat UU untuk menjalankan
aturan yang telah dibentuk.

‎”Sebagai pelaksana
UU. Maka harus patuh terhadap UU,” pungkasnya.

Terpisah, Pakar hukum
tata negara Fahri Bachmid mengatakan, revisi UU KPK merupakan keniscayaan
legislasi. Karena revisi yang merupakan amanat Presiden Jokowi itu tentunya
sudah melalui pertimbangan filosofis, teleologis, yuridis, sosiologis dan
komparatif.

“Saya pikir semuanya
serta telah memperhatikan kaidah-kaidah pembentukan UU sebagaimana diatur dalam
UU RI No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan,” ujar Fahri.

Sehingga, kata Fahri,
revisi UU KPK di DPR nantinya legitimate, baik secara yuridis maupun politis
untuk kepentingan pemberantasan korupsi di masa yang akan datang.

Diketahui, ada enam
pokok isu hukum utama dalam revisi UU KPK tersebut. misalnya soal keberadaan
dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan SP3, status pegawai KPK,
kedudukan hukum KPK sebagai cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK sebagai
lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di indonesia.

Menurut Fahri, sebagai
basis analisis dalam draf revisi UU KPK saat ini merupakan gabungan serta
evaluasi terhadap rezim pencegahan dan penindakan sebagai suatu instrumen vital
dan strategis KPK yang ada selama ini.

Baca Juga :  Vaksinasi Covid-19 Dilakukan Pertengahan Januari 2021

“Ada semacam rencana
penataan signifikan atas hal tersebut yang diorientasikan kedepan tentunya,”
tegas Alumni program Doktor Hukum Tata Negara pada kampus Universitas Muslim
Indonesia (UMI) Makassar ini.

Fahri juga
menambahkan, surat presiden (Surpres) yang dikirimkan kepada Ketua DPR untuk
pembahasan revisi UU KPK secara teknis ketatanegaraan sesuai ketentuan pasal 20
ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun, ia juga meminta beberapa hal untuk
diperhatikan jika revisi UU KPK tersebut sudah mulai dibahas.

“Misalnya, soal
pendalaman terhadap filosofi pencegahan dengan rehabilitasi yang berorientasi
pada keadilan restoratif dan serta sistem pemidanaan yang bertumpu pada prinsip
efek jera,” paparnya.

Dijelaskannya,kKonsep
penghukuman ini menjadi penting untuk didalami secara serius dan substantif
dalam rangka membangun sistem hukum Tipikor yang kuat dan kredible kedepan.
“Ini merupakan momentum penting untuk diselesaikan,” imbuhnya.

Menurut Fahri, dasar
rencana revisi UU KPK adalah dalam rangka memperkuat kelembagaan serta untuk
memastikan independensi KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemberantasan
korupsi, bukan untuk penataan yang bersifat destruktif.

“Hendaknya semua
kalangan dapat menyikapi semua ini dengan pikiran yang jernih dan masukan serta
argumentasi akademik yang lebih konstruktif demi perbaikan bangsa dan negara
kedepan,” pungkas Fahri.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru