26.1 C
Jakarta
Wednesday, April 16, 2025

51 Kasus HAM Selama 2019 Belum Selesai

JAKARTA – Sebanyak 51 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
yang terjadi di Indonesia belum diselesaikan oleh Pemerintah, sepanjang tahun
2019.

Hal ini disampaikan oleh Anggota
Komisi II DPR-RI, Aboe Bakar Alhabsyi berdasarkan catatan Koalisi Peringatan
Hari (Koper) HAM. “Tentunya ini harus menjadi bahan evaluasi untuk pemerintah,”
kata Aboe Bakar lewat pesan tertulisnya, Selasa (10/12).

Menurut Ketua Mahkamah Dewan
(MKD) DPR-RI itu, perlindungan HAM adalah bagian dari amanat konstitusi NKRI.
Di dalam Pasal 27 Dan 28 UUD 1945 pada pokoknya telah mengatur perlindungan
dasar yang harus diberikan negara kepada rakyat.

“Seperti untuk memberikan
perlakuan hukum, kesehatan, pendidikan, akses pekerjaan dan perhidupan yang
layak, serta kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan,” jelasnya.

Politisi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) ini melanjutkan, data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) dan Komnas HAM juga menunjukkan, setidaknya 52 orang meninggal dalam
demonstrasi yang diadakan sepanjang tahun 2019.

Baca Juga :  Bansos Tidak Tepat Sasaran karena Data Lemah

Ia menyebut fakta ini bagian dari
berita buruk untuk negara hukum yang demokratis seperti Indonesia.

“Oleh karenanya perlu ada
keseriusan dari pemerintah dalam upaya memberikan perlindungan HAM untuk
masyarakat,” tutup politisi yang akrab disapa Habieb itu.

Terpisah, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam), Mahfud MD menilai,
lambatnya proses penyelesaian kasus HAM karena proses demokrasi sulit bertemu
dengan penentuan keputusan.

“Sekarang kekuasaan sudah
terbagi, tidak seperti orde baru, sekarang semuanya ikut menentukan
(penyelesaian kasus HAM), demokrasi dan penentuan keputusan tidak pernah
bertemu, makanya lambat. Ada yang sudah selesai tapi sedikit sekali,” kata
Mahfud saat berpidato pada Peringatan HAM Sedunia di Gedung Merdeka, Kota
Bandung, Selasa (10/12).

Jadi, Menurutnya, hal tersebut
sebagai sebuah konsekuensi dari meningkatnya kualitas demokrasi sejak era
reformasi. Namun, mekanisme penyelesaian HAM saat ini sudah lebih baik karena
telah terlembaga.

“Saat ini sudah dibuat UU HAM,
Komnas HAM jadi lembaga, kita sudah lakukan itu, masalah yang terkait
pelanggaran HAM,” kata dia.

Baca Juga :  Akibat Istri Pamer Uang di TikTok, Kapolres Langsung Dicopot

Ada 12 kasus HAM peninggalan masa
lalu yang hingga kini belum menemukan titik temu. Meski demikian, dia
memastikan HAM lebih terjamin karena penegakannya tidak hanya dalam bidang
hukum.

“Penegakan HAM jangan hanya
dilihat penegakan hukum semata, sudah banyak perkembangan HAM di Indonesia,
pengembangan demokrasi, kebebasan pers, kemandirian parpol, penguatan DPR, dan
meluasnya kekuatan masyarakat sipil,” kata dia.

Walau demikian, Mahfud tak
menampik pelanggaran HAM masih terjadi saat ini. Namun bentuknya sudah tidak
sistematis seperti yang terjadi pada masa lalu saat era orde baru.

“Tapi sekarang sudah tidak ada
pelanggaran HAM secara sistematik, sudah tidak ada, kalau orde baru itu
sistematis,” kata dia.

Menurutnya, saat ini kasus HAM
yang terjadi sering melibatkan konflik horisontal. Berbeda dengan kasus HAM
masa lalu yang bersifat vertikal akibat sistem otoriter. (fin/kpc)

JAKARTA – Sebanyak 51 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
yang terjadi di Indonesia belum diselesaikan oleh Pemerintah, sepanjang tahun
2019.

Hal ini disampaikan oleh Anggota
Komisi II DPR-RI, Aboe Bakar Alhabsyi berdasarkan catatan Koalisi Peringatan
Hari (Koper) HAM. “Tentunya ini harus menjadi bahan evaluasi untuk pemerintah,”
kata Aboe Bakar lewat pesan tertulisnya, Selasa (10/12).

Menurut Ketua Mahkamah Dewan
(MKD) DPR-RI itu, perlindungan HAM adalah bagian dari amanat konstitusi NKRI.
Di dalam Pasal 27 Dan 28 UUD 1945 pada pokoknya telah mengatur perlindungan
dasar yang harus diberikan negara kepada rakyat.

“Seperti untuk memberikan
perlakuan hukum, kesehatan, pendidikan, akses pekerjaan dan perhidupan yang
layak, serta kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan,” jelasnya.

Politisi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) ini melanjutkan, data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) dan Komnas HAM juga menunjukkan, setidaknya 52 orang meninggal dalam
demonstrasi yang diadakan sepanjang tahun 2019.

Baca Juga :  Bansos Tidak Tepat Sasaran karena Data Lemah

Ia menyebut fakta ini bagian dari
berita buruk untuk negara hukum yang demokratis seperti Indonesia.

“Oleh karenanya perlu ada
keseriusan dari pemerintah dalam upaya memberikan perlindungan HAM untuk
masyarakat,” tutup politisi yang akrab disapa Habieb itu.

Terpisah, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam), Mahfud MD menilai,
lambatnya proses penyelesaian kasus HAM karena proses demokrasi sulit bertemu
dengan penentuan keputusan.

“Sekarang kekuasaan sudah
terbagi, tidak seperti orde baru, sekarang semuanya ikut menentukan
(penyelesaian kasus HAM), demokrasi dan penentuan keputusan tidak pernah
bertemu, makanya lambat. Ada yang sudah selesai tapi sedikit sekali,” kata
Mahfud saat berpidato pada Peringatan HAM Sedunia di Gedung Merdeka, Kota
Bandung, Selasa (10/12).

Jadi, Menurutnya, hal tersebut
sebagai sebuah konsekuensi dari meningkatnya kualitas demokrasi sejak era
reformasi. Namun, mekanisme penyelesaian HAM saat ini sudah lebih baik karena
telah terlembaga.

“Saat ini sudah dibuat UU HAM,
Komnas HAM jadi lembaga, kita sudah lakukan itu, masalah yang terkait
pelanggaran HAM,” kata dia.

Baca Juga :  Akibat Istri Pamer Uang di TikTok, Kapolres Langsung Dicopot

Ada 12 kasus HAM peninggalan masa
lalu yang hingga kini belum menemukan titik temu. Meski demikian, dia
memastikan HAM lebih terjamin karena penegakannya tidak hanya dalam bidang
hukum.

“Penegakan HAM jangan hanya
dilihat penegakan hukum semata, sudah banyak perkembangan HAM di Indonesia,
pengembangan demokrasi, kebebasan pers, kemandirian parpol, penguatan DPR, dan
meluasnya kekuatan masyarakat sipil,” kata dia.

Walau demikian, Mahfud tak
menampik pelanggaran HAM masih terjadi saat ini. Namun bentuknya sudah tidak
sistematis seperti yang terjadi pada masa lalu saat era orde baru.

“Tapi sekarang sudah tidak ada
pelanggaran HAM secara sistematik, sudah tidak ada, kalau orde baru itu
sistematis,” kata dia.

Menurutnya, saat ini kasus HAM
yang terjadi sering melibatkan konflik horisontal. Berbeda dengan kasus HAM
masa lalu yang bersifat vertikal akibat sistem otoriter. (fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru