25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Ini 7 Poin Perubahan Penting pada RUU Omnibus Law Ciptaker

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Ada tujuh poin terkait perubahan UU nomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang ada dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).

Staf Ahli Kementerian Koordinator
Perekonomian yang mewakili Pemerintah, Elen Setiadi menjelaskan tentang tujuh
poin tersebut:

Poin pertama: mengenai
program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang belum diatur dalam UU
Ketenagakerjaan dan sangat diperlukan pada saat pandemi COVID-19.

“Substasi pokok yang kami
usulkan adalah program jaminan kehilangan pekerjaan, yang belum diatur dalam UU
Ketenagakerjaan. Dan ini harus dilaksanakan dengan cepat,” kata Elen dalam
Rapat Panitia Kerja RUU Ciptaker, di Jakarta, Sabtu.

Dia menjelaskan, program itu
dibutuhkan karena akan memberikan manfaat bagi pekerja yang terkena pemutusan
hubungan kerja (PHK) seperti pemberian upah setiap bulan tergantung kesepakatan
yang ditanggung dalam program tersebut, pelatihan peningkatan kapasitas sesuai
pasar kerja, dan kemudahan mendapatkan pekerjaan baru.

Menurut dia, pekerja yang
mendapatkan JKP tetap akan mendapatkan lima jaminan sosial lainnya yaitu
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian,
dan Jaminan Kesehatan Nasional.

Poin kedua: mengenai
waktu kerja, di UU Ketenagakerjaan hanya diatur bahwa waktu kerja adalah untuk
6 hari kerja adalah 7 jam/hari atau 40 jam/pekan, dan untuk 5 hari kerja adalah
8 jam/hari atau 40 jam/pekan.

“Dalam perubahan di RUU
Ciptaker, selain waktu kerja yang umum (paling lama 8 jam/hari dan 40
jam/minggu), diatur juga waktu kerja untuk pekerjaan yang khusus, yang waktunya
dapat kurang dari 8 jam/hari (pekerjaan paruh waktu eko digital) atau pekerjaan
yang melebihi 8 jam/hari seperti migas, pertambangan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan,” ujarnya.

Baca Juga :  12 Jam Diperiksa, Abu Janda Masih Berstatus Saksi

Poin ketiga: mengenai
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), dalam UU 13/2003 sifatnya wajib
bagi semua TKA, menghambat masuknya TKA Ahli yang diperlukan dalam keadaan
mendesak, dan menyebabkan terhambatnya masuknya calon investor ke Indonesia.

Dia menjelaskan, dalam RUU
Ciptaker, kemudahan pemberian RPTKA diatur hanya untuk TKA Ahli yang memang
diperlukan untuk kondisi tertentu seperti kondisi darurat, vokasi, peneliti,
dan investor.

Poin keempat: mengenai
Pekerja Kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), di UU Ketenagakerjaan
belum diberikan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap.

“Ke depan kami ingin
melakukan perubahan karena perkembangan teknologi digital khususnya industri
4.0 menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap dan membutuhkan
PKWT. Kami ingin pekerja kontrak diberikan hak dan perlindungan sama dengan
pekerja tetap seperti upah jaminan sosial, perlindungan K3 termasuk kompensasi
hubungan kerja,” katanya.

Poin kelima:
mengenai  pekerja alih daya atau
“outsourcing”, di UU 13/2003 hanya dibatasi untuk jenis kegiatan
tertentu, dan belum ada penegasan atas kesamaan jaminan hak dan perlindungan
bagi pekerja alih daya.

Elen menjelaskan dalam RUU
Ciptaker, alih daya merupakan bentuk hubungan bisnis sehingga pengusaha alih
daya wajib memberikan hak dan perlindungan yang sama bagi pekerjanya, baik
sebagai pekerja kontrak maupun pekerja tetap yaitu dalam hal hak upah, jaminan
sosial, dan perlindungan K3.

Baca Juga :  New Normal, Rumah Ibadah Boleh Dibuka, Ini Syaratnya

Poin keenam: mengenai
upah minimum (UM), di UU Ketenagakerjaan dapat ditangguhkan sehingga banyak
pekerja dapat menerima upah di bawah upah minimum, peraturan UM tidak dapat
diterapkan pada usaha kecil dan mikro, kenaikannya menggunakan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi nasional, dan adanya kesenjangan nilai UM di beberapa
daerah.

“Dalam RUU Ciptaker, UM
tidak dapat ditangguhkan, kenaikannya menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi
daerah dan produktivitas, basis UM pada tingkat provinsi dan dapat ditetapkan
UM pada kabupaten/kota dengan syarat tertentu, dan upah untuk UMKM
tersendiri,” ujarnya.

Poin ketujuh: mengenai
pesangon PHK, di UU 13/2003, pemberiannya sebanyak 32 kali upah dan dinilai
sangat memberatkan pelaku usaha, dan mengurangi minat investor untuk
berinvestasi.

Dia menjelaskan, di RUU Ciptaker
diatur terkait penyesuaian perhitungan besaran pesangon PHK dan menambahkan
Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Elen mengatakan terkait sanksi
pidana, pemerintah sepakat untuk kembali kepada UU Ketenagakerjaan sehingga
tidak perlu dibahas di RUU Ciptaker. Dia juga menegaskan pemerintah akan
mengikuti sejumlah Putusan MK atas berbagai pasal dalam UU Nomor 13/2003
tentang Ketenagakerjaan.

Putusan MK itu antara lain
tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja,
pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
dan jaminan sosial.

JAKARTA, KALTENGPOS.CO – Ada tujuh poin terkait perubahan UU nomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang ada dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).

Staf Ahli Kementerian Koordinator
Perekonomian yang mewakili Pemerintah, Elen Setiadi menjelaskan tentang tujuh
poin tersebut:

Poin pertama: mengenai
program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang belum diatur dalam UU
Ketenagakerjaan dan sangat diperlukan pada saat pandemi COVID-19.

“Substasi pokok yang kami
usulkan adalah program jaminan kehilangan pekerjaan, yang belum diatur dalam UU
Ketenagakerjaan. Dan ini harus dilaksanakan dengan cepat,” kata Elen dalam
Rapat Panitia Kerja RUU Ciptaker, di Jakarta, Sabtu.

Dia menjelaskan, program itu
dibutuhkan karena akan memberikan manfaat bagi pekerja yang terkena pemutusan
hubungan kerja (PHK) seperti pemberian upah setiap bulan tergantung kesepakatan
yang ditanggung dalam program tersebut, pelatihan peningkatan kapasitas sesuai
pasar kerja, dan kemudahan mendapatkan pekerjaan baru.

Menurut dia, pekerja yang
mendapatkan JKP tetap akan mendapatkan lima jaminan sosial lainnya yaitu
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian,
dan Jaminan Kesehatan Nasional.

Poin kedua: mengenai
waktu kerja, di UU Ketenagakerjaan hanya diatur bahwa waktu kerja adalah untuk
6 hari kerja adalah 7 jam/hari atau 40 jam/pekan, dan untuk 5 hari kerja adalah
8 jam/hari atau 40 jam/pekan.

“Dalam perubahan di RUU
Ciptaker, selain waktu kerja yang umum (paling lama 8 jam/hari dan 40
jam/minggu), diatur juga waktu kerja untuk pekerjaan yang khusus, yang waktunya
dapat kurang dari 8 jam/hari (pekerjaan paruh waktu eko digital) atau pekerjaan
yang melebihi 8 jam/hari seperti migas, pertambangan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan,” ujarnya.

Baca Juga :  12 Jam Diperiksa, Abu Janda Masih Berstatus Saksi

Poin ketiga: mengenai
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), dalam UU 13/2003 sifatnya wajib
bagi semua TKA, menghambat masuknya TKA Ahli yang diperlukan dalam keadaan
mendesak, dan menyebabkan terhambatnya masuknya calon investor ke Indonesia.

Dia menjelaskan, dalam RUU
Ciptaker, kemudahan pemberian RPTKA diatur hanya untuk TKA Ahli yang memang
diperlukan untuk kondisi tertentu seperti kondisi darurat, vokasi, peneliti,
dan investor.

Poin keempat: mengenai
Pekerja Kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), di UU Ketenagakerjaan
belum diberikan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap.

“Ke depan kami ingin
melakukan perubahan karena perkembangan teknologi digital khususnya industri
4.0 menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap dan membutuhkan
PKWT. Kami ingin pekerja kontrak diberikan hak dan perlindungan sama dengan
pekerja tetap seperti upah jaminan sosial, perlindungan K3 termasuk kompensasi
hubungan kerja,” katanya.

Poin kelima:
mengenai  pekerja alih daya atau
“outsourcing”, di UU 13/2003 hanya dibatasi untuk jenis kegiatan
tertentu, dan belum ada penegasan atas kesamaan jaminan hak dan perlindungan
bagi pekerja alih daya.

Elen menjelaskan dalam RUU
Ciptaker, alih daya merupakan bentuk hubungan bisnis sehingga pengusaha alih
daya wajib memberikan hak dan perlindungan yang sama bagi pekerjanya, baik
sebagai pekerja kontrak maupun pekerja tetap yaitu dalam hal hak upah, jaminan
sosial, dan perlindungan K3.

Baca Juga :  New Normal, Rumah Ibadah Boleh Dibuka, Ini Syaratnya

Poin keenam: mengenai
upah minimum (UM), di UU Ketenagakerjaan dapat ditangguhkan sehingga banyak
pekerja dapat menerima upah di bawah upah minimum, peraturan UM tidak dapat
diterapkan pada usaha kecil dan mikro, kenaikannya menggunakan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi nasional, dan adanya kesenjangan nilai UM di beberapa
daerah.

“Dalam RUU Ciptaker, UM
tidak dapat ditangguhkan, kenaikannya menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi
daerah dan produktivitas, basis UM pada tingkat provinsi dan dapat ditetapkan
UM pada kabupaten/kota dengan syarat tertentu, dan upah untuk UMKM
tersendiri,” ujarnya.

Poin ketujuh: mengenai
pesangon PHK, di UU 13/2003, pemberiannya sebanyak 32 kali upah dan dinilai
sangat memberatkan pelaku usaha, dan mengurangi minat investor untuk
berinvestasi.

Dia menjelaskan, di RUU Ciptaker
diatur terkait penyesuaian perhitungan besaran pesangon PHK dan menambahkan
Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Elen mengatakan terkait sanksi
pidana, pemerintah sepakat untuk kembali kepada UU Ketenagakerjaan sehingga
tidak perlu dibahas di RUU Ciptaker. Dia juga menegaskan pemerintah akan
mengikuti sejumlah Putusan MK atas berbagai pasal dalam UU Nomor 13/2003
tentang Ketenagakerjaan.

Putusan MK itu antara lain
tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja,
pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
dan jaminan sosial.

Terpopuler

Artikel Terbaru