28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Pemuda Muhammadiyah Prihatin, Petani Indonesia Masih Jadi Kelompok Ter

KALTENGPOS.CO – Ketua Buruh Tani dan Nelayan Pimpinan Pusat (PP)
Pemuda Muhammadiyah, Nu’man Iskandar, mengatakan, nasib petani tetap saja
tertindas, terbelakang, dan termarjinalkan di Negara Agraris Indonesia ini.
Para petani kita tetap dahaga keadilan.

Meskipun ada peringatan Hari Tani
sebagai peringatan seremonial yang direpetisi secara terus menerus.

“Pada saat yang sama, petani
harus hidup dengan kesulitan mereka. Dan jika mereka berhasil, hasil karya dan
kerjanya akan diklaim sebagai hasil kerja pemilik otoritas politik dan
kebijakan itu. Mereka para petani yang berhasil itu kemudian dielu-elukan,
disanjung-sanjung. Tapi setelah itu, petani akan dilupakan kembali,” ungkap
Nu’man, dalam keterangan Sabtu (26/9).

Menurutnya, Hari Tani Nasional
harus diguyur dengan makna substantif atas maksud diadakannya hari tani
tersebut. Sehingga peringatan Hari Tani Nasional bukan sekedar dilakukan untuk
mengugurkan agenda tahunan. Serta mengembalikan Hari Tani kepada pemiliknya,
yakni para petani Indonesia.

Karena nyatanya, Peringatan Hari
Tani Nasional lepas dari koridor pemiliknya, dan digunakan sebagai show up para elit.

“Para petani bukan tidak peduli
dengan Hari Tani, tapi mereka harus bertarung untuk hidup mereka sendiri dan
keluarga. Dan upacara itu, tidak punya dampak apa-apa terhadap kondisi mereka.
Mereka masih harus tetap memikirkan nasib dan pertanian mereka sendiri. Sekali
lagi, sendiri,” tuturnya.

Setiap tahun, setiap tanggal 24
September, sejak tahun 1963 diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Namun,
banyak diantara sesama anak bangsa termasuk juga para pemegang otoritas politik
dan kebijakan tidak mampu memahami makna dan tujuan ditetapkannya Hari Tani.

Baca Juga :  Erick Thohir Diganti, Luhut Panjaitan Kena Rotasi

Secara serius Nu’man mengajak
para pemangku kebijakan untuk kembali menjiwai dokumen dasar ditetapkannya Hari
Tani, sebagaimana termaktub dalam Keppres No. 169/1963. Secara substantif,
dokumen tersebut menginggatkan bahwa tanggal 24 September sebagai hari lahirnya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hari kemenangan bagi Rakyat Tani
Indonesia.

Hari Tani Nasional adalah hari
diletakkannya dasar-dasar bagi penyelengaraan Landreform untuk mengikis habis
sisa-sia feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar Rakyat Petani dapat membebaskan
diri dari macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah.
Sehingga melepangkan jalan menuju kearah masyarakat adil dan makmur.

Selanjutnya, akhir bulan
September matahari melintasi garis khatulistiwa kearah selatan, musim labuh
(turun ke sawah) hampir datang waktunya. Rakyat Tani perlu bergembira dan
bersykur kepada Tuhan karena akan menerima rahmat-Nya yang berupa hujan.

Perlu pula digerakkan agar daya
kerja dan daya ciptanya berkembang untuk menciptakan produksi yang
berlimpah-limpah, sebagai syarat mutlak mencapai masyarakat adil dan makmur.

“Dan yang ketiga bahwa dianggap
tepat tanggal 24 September diperigati dan dirayakan oleh segenap kaum tani
Indonesia dan diakui sebagai Hari Tani,” kata Nu’man meneruskan dokumen
tersebut.

Namun saat ini, keadaan petani
menurut Nu’man jauh panggang dari api. Sebab kebijakan semakin timpang, luasan
lahan milik petani saat ini mengalami penyempitan karena dibagi dengan anak
turunan mereka. Disisi lain, kepemilikan lahan korporasi semakin bertambah dan
beranak melalui Hak Guna Usah (HGU).

Baca Juga :  Antrean Haji Indonesia Capai 4,6 Juta Jamaah

Ia juga menyoroti keseriusan
pemerintah dalam menjalankan UUPA, karena saat ini hanya sebagian saja yang
dijalankan. Karena setiap ada masalah petani yang berhadapan dengan korporasi,
petani sering kali berada pada pihak yang harus kalah. Dan jika petani
melakukan protes, petani acapkali akan dicap melanggar ketertiban umum hingga
dianggap berlaku subversif.

“Soal landreform, kita masih menganut feodalisme yang dibalut demokrasi.
Baju feodalisme bisa saja berubah menjadi demokrasi, tapi soal isi dalam
perilakunya, tetap saja feodalis. Sekali lagi, UUPA sebagai pintu mewujudkan
keadilan sosial bagi petani tidak pernah serius dijalankan. UUPA memang sering
dijadikan dasar kebijakan, tapi hanya sebagian saja,” urainya.

Masih banyak kebijakan yang
menyangkut hajat hidup petani yang perlu dilakukan perbaikan, karena belum lagi
menyoal kebijakan pertanian yang di mana selalu menempatkan petani sebagai
Liyan, petani ditempatkan sebagai anak bangsa kelas Paria ataupun kelas Sudra.
Yang kemudian dari sini profesi petani dianggap sebagai aib.

“Pertanian kita ini bukan melulu
soal benih dan obat-obatan yang sebagian besar dihasilkan korporasi asing hasil
PMA itu, atau soal pupuk dan traktor. Lebih dari itu, keadilan sosial tentang
tanah ini adalah kunci dari kedaulatan pangan. Kalau tanah saja tidak mereka
kuasai, dimana petani bisa menanam,” tuturnya.

KALTENGPOS.CO – Ketua Buruh Tani dan Nelayan Pimpinan Pusat (PP)
Pemuda Muhammadiyah, Nu’man Iskandar, mengatakan, nasib petani tetap saja
tertindas, terbelakang, dan termarjinalkan di Negara Agraris Indonesia ini.
Para petani kita tetap dahaga keadilan.

Meskipun ada peringatan Hari Tani
sebagai peringatan seremonial yang direpetisi secara terus menerus.

“Pada saat yang sama, petani
harus hidup dengan kesulitan mereka. Dan jika mereka berhasil, hasil karya dan
kerjanya akan diklaim sebagai hasil kerja pemilik otoritas politik dan
kebijakan itu. Mereka para petani yang berhasil itu kemudian dielu-elukan,
disanjung-sanjung. Tapi setelah itu, petani akan dilupakan kembali,” ungkap
Nu’man, dalam keterangan Sabtu (26/9).

Menurutnya, Hari Tani Nasional
harus diguyur dengan makna substantif atas maksud diadakannya hari tani
tersebut. Sehingga peringatan Hari Tani Nasional bukan sekedar dilakukan untuk
mengugurkan agenda tahunan. Serta mengembalikan Hari Tani kepada pemiliknya,
yakni para petani Indonesia.

Karena nyatanya, Peringatan Hari
Tani Nasional lepas dari koridor pemiliknya, dan digunakan sebagai show up para elit.

“Para petani bukan tidak peduli
dengan Hari Tani, tapi mereka harus bertarung untuk hidup mereka sendiri dan
keluarga. Dan upacara itu, tidak punya dampak apa-apa terhadap kondisi mereka.
Mereka masih harus tetap memikirkan nasib dan pertanian mereka sendiri. Sekali
lagi, sendiri,” tuturnya.

Setiap tahun, setiap tanggal 24
September, sejak tahun 1963 diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Namun,
banyak diantara sesama anak bangsa termasuk juga para pemegang otoritas politik
dan kebijakan tidak mampu memahami makna dan tujuan ditetapkannya Hari Tani.

Baca Juga :  Erick Thohir Diganti, Luhut Panjaitan Kena Rotasi

Secara serius Nu’man mengajak
para pemangku kebijakan untuk kembali menjiwai dokumen dasar ditetapkannya Hari
Tani, sebagaimana termaktub dalam Keppres No. 169/1963. Secara substantif,
dokumen tersebut menginggatkan bahwa tanggal 24 September sebagai hari lahirnya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hari kemenangan bagi Rakyat Tani
Indonesia.

Hari Tani Nasional adalah hari
diletakkannya dasar-dasar bagi penyelengaraan Landreform untuk mengikis habis
sisa-sia feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar Rakyat Petani dapat membebaskan
diri dari macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah.
Sehingga melepangkan jalan menuju kearah masyarakat adil dan makmur.

Selanjutnya, akhir bulan
September matahari melintasi garis khatulistiwa kearah selatan, musim labuh
(turun ke sawah) hampir datang waktunya. Rakyat Tani perlu bergembira dan
bersykur kepada Tuhan karena akan menerima rahmat-Nya yang berupa hujan.

Perlu pula digerakkan agar daya
kerja dan daya ciptanya berkembang untuk menciptakan produksi yang
berlimpah-limpah, sebagai syarat mutlak mencapai masyarakat adil dan makmur.

“Dan yang ketiga bahwa dianggap
tepat tanggal 24 September diperigati dan dirayakan oleh segenap kaum tani
Indonesia dan diakui sebagai Hari Tani,” kata Nu’man meneruskan dokumen
tersebut.

Namun saat ini, keadaan petani
menurut Nu’man jauh panggang dari api. Sebab kebijakan semakin timpang, luasan
lahan milik petani saat ini mengalami penyempitan karena dibagi dengan anak
turunan mereka. Disisi lain, kepemilikan lahan korporasi semakin bertambah dan
beranak melalui Hak Guna Usah (HGU).

Baca Juga :  Antrean Haji Indonesia Capai 4,6 Juta Jamaah

Ia juga menyoroti keseriusan
pemerintah dalam menjalankan UUPA, karena saat ini hanya sebagian saja yang
dijalankan. Karena setiap ada masalah petani yang berhadapan dengan korporasi,
petani sering kali berada pada pihak yang harus kalah. Dan jika petani
melakukan protes, petani acapkali akan dicap melanggar ketertiban umum hingga
dianggap berlaku subversif.

“Soal landreform, kita masih menganut feodalisme yang dibalut demokrasi.
Baju feodalisme bisa saja berubah menjadi demokrasi, tapi soal isi dalam
perilakunya, tetap saja feodalis. Sekali lagi, UUPA sebagai pintu mewujudkan
keadilan sosial bagi petani tidak pernah serius dijalankan. UUPA memang sering
dijadikan dasar kebijakan, tapi hanya sebagian saja,” urainya.

Masih banyak kebijakan yang
menyangkut hajat hidup petani yang perlu dilakukan perbaikan, karena belum lagi
menyoal kebijakan pertanian yang di mana selalu menempatkan petani sebagai
Liyan, petani ditempatkan sebagai anak bangsa kelas Paria ataupun kelas Sudra.
Yang kemudian dari sini profesi petani dianggap sebagai aib.

“Pertanian kita ini bukan melulu
soal benih dan obat-obatan yang sebagian besar dihasilkan korporasi asing hasil
PMA itu, atau soal pupuk dan traktor. Lebih dari itu, keadilan sosial tentang
tanah ini adalah kunci dari kedaulatan pangan. Kalau tanah saja tidak mereka
kuasai, dimana petani bisa menanam,” tuturnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru