27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Sejak Tahun 2000, Densus Sudah Tangkap 2 Ribu Pelaku Terorisme

JAKARTA – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Hamli, mengemukakan Detasemen Khusus (Densus) 88
Antiteror telah menangkap sekitar 2.000 pelaku terorisme di Indonesia.

“Densus 88 sudah menangkap
2.000-an teroris terhitung sejak kurun 2000 hingga 2019,” katanya dalam dialog
Merajut Kebhinekaan bertema “Kita Bisa Apa?” yang digelar Organisasi Pertiwi
Indonesia di The Goodrich Hotel, Jakarta, kemarin (20/6).

Menurut dia, seperempat dari
tahanan kasus terorisme itu telah dikembalikan kepada masyarakat melalui
program deradikalisme melalui tindakan preventif kontraterorisme atau stratregi
untuk menetralisasi paham-paham yang dianggap radikal.

Program tersebut merupakan kerja
sama pihaknya dengan Kementerian Sosial dan seluruh pemerintah daerah di
Indonesia. “Sebagian teroris dalam proses penahanan, seperempatnya kembali ke
masyarakat dan sebagian lagi masih dalam proses penyidikan petugas,” katanya.

Hamli mengatakan pihaknya juga
tengah merespons permintaan dari puluhan simpatisan kaum radikal yang
sebelumnya bergabung dengan ISIS untuk kembali pulang ke Indonesia.

“Kita kerja sama dengan Kemensos
yang akan menampung mereka, lalu kementerian agama, akademisi untuk pendekatan
psikologi dan ideologi. Nanti secara kesejahteraan saat kembali pada masyarakat
kita kerja sama dengan pemerintah daerah dari mana mereka berasal,” katanya.

Saat eks pengikut ISIS itu
pulang, pihak BNPT akan mengumpulkan mereka dalam satu lokasi untuk dilakukan
identifikasi. Lalu dilakukan pemilahan sesuai hasil identifikasi sampai sejauh
mana tingkat paparannya untum diberikan edukasi.

Hamli menambahkan dalam kurun
waktu 2000 hingga 2019 telah terjadi perubahan pola baru radikalisme di
Indonesia. “Pada masa lalu online tidak ada, sekarang mereka berkomunikasi
melalui media sosial meliputi penyebaran pemahaman, rekrutmen, hingga aksi,”
ujarnya.

Baca Juga :  Survei LSI: Periode Kedua Jokowi Masyarakat Makin Serba Ketakutan

Menurut dia mayoritas pelaku
radikalisme maupun terorisme memberikan pengakuan bahwa perbuatan mereka
didasari atas nama kebencian. Pihaknya menyadari, pemerintah tidak akan mampu
menanggulangi persoalan terorisme tanpa peran serta seluruh masyarakat di
Indonesia.

Terpisah, Ketua Umum Pertiwi
Indonesia, Putri K Wardani, mengemukakan perempuan Indonesia rentan menjadi
target radikalisme di tengah gencarnya penyusupan paham radikal yang berpotensi
memecah kerukunan bangsa.

“Faktor agama, sosial dan
kultural yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan
subordinat menjadi sebab utama,” katanya dalam dialog Merajut Kebhinnekaan
bertema “Kita Bisa Apa” di The Goodrich Hotel, Jakarta, kemarin (20/6).

Menurut perempuan pengamat
militer dan intelijen ini, perempuan kerap direkrut dan diinvestasikan oleh
pelaku radikalisme melalui pernikahan, di mana secara sosial perempuan
dipandang sekadar objek yang harus patuh dan tunduk sepenuhnya terhadap
pasangannya.

Dikatakan Putri perempuan
tersebut kemudian mendapat doktrin bahwa ideologi Pancasila dan sistem
demokrasi adalah buatan “thoghut” sebagai faktor untuk meneguhkan legitimasi
agama.

Dialog ini menghadirkan pembicara
yang aktif dalam upaya memperkuat kebhinekaan, di antaranya pengamat militer
dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, Direktur Nusantara
Institute dan Penggiat Kebhinnekaan Prof Sumanto Al Qurtuby, dan Direktur
Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Hamli.

Narasumber Susaningtyas Nefo
Handayani Kertopati dalam pemaparannya, memfokuskan perhatian pada rentannya
perempuan Indonesia dijadikan target radikalisme yang penyusupannya makin
mengkhawatirkan.

“Dengan kultur patriarki di
Indonesia yang menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan subordinat. Maka
perempuan Indonesia akan lebih mudah menjadi terpapar radikalisme, terutama
perempuan di pedesaan yang dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah”
ujar Susaningtyas.

Baca Juga :  INDEF: Pekerja ‘Part Time’ Tak Layak Nikmati Kartu Pra-Kerja

la menambahkan perlunya meningkatkan
nilai kesetaraan dan keadilan gender, agar perempuan Indonesia dapat lebih
berdaya melawan dominasi kultur patriarki.

Sementara itu, Prof Sumantho Al
Qurtuby dalam paparannya yang berjudul “Merayakan Keragaman Tanpa Intoleransi
dan Kekerasan”, menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar Indonesia saat
ini adalah mendorong masyarakat bisa merayakan keragaman tanpa diiringi sikap
dan tindakan intoleransi dan kekerasan.

Direktur Nusantara Institute dan
dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals,
Arab Saudi, ini menuturkan gagas tersebut penting untuk ditegaskan mengingat
saat ini muncul berbagai kelompok agama, ideologi, dan politik intoleran dan
radikal karena antikebhinekaan.

Sumanto, yang juga pegiat
kebhinnekaan ini menjelaskan bahwa kelompok radikal tersebut terus berupaya
menghilangkan masyarakat yang beragam atas nama agama, ideologi, etnis, suku,
klan atau ras tertentu. “Tak jarang dalam upayanya itu mereka menggunakan
kekerasan yang brutal dan tidak manusiawi,” katanya.

Keberagaman masyarakat, menurut
Sumanto merupakan kenyataan dan fakta sejarah yang ada di Indonesia sehingga
harus disikapi secara tepat. Sumanto menilai sikap terbaik dalam menyikapi
masyarakat yang beragam di Indonesia adalah dengan menumbuhkan pluralisme
kultural di masyarakat.

“Pluralisme kultural adalah
pandangan atau sikap toleran pluralis dalam menyikapi keberagaman budaya yang
berkembang di masyarakat,” katanya. Dalam konteks Indonesia, kata dia,
batasannya adalah Pancasila, Konstitusi UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. (ful/fin/kpc)

JAKARTA – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Hamli, mengemukakan Detasemen Khusus (Densus) 88
Antiteror telah menangkap sekitar 2.000 pelaku terorisme di Indonesia.

“Densus 88 sudah menangkap
2.000-an teroris terhitung sejak kurun 2000 hingga 2019,” katanya dalam dialog
Merajut Kebhinekaan bertema “Kita Bisa Apa?” yang digelar Organisasi Pertiwi
Indonesia di The Goodrich Hotel, Jakarta, kemarin (20/6).

Menurut dia, seperempat dari
tahanan kasus terorisme itu telah dikembalikan kepada masyarakat melalui
program deradikalisme melalui tindakan preventif kontraterorisme atau stratregi
untuk menetralisasi paham-paham yang dianggap radikal.

Program tersebut merupakan kerja
sama pihaknya dengan Kementerian Sosial dan seluruh pemerintah daerah di
Indonesia. “Sebagian teroris dalam proses penahanan, seperempatnya kembali ke
masyarakat dan sebagian lagi masih dalam proses penyidikan petugas,” katanya.

Hamli mengatakan pihaknya juga
tengah merespons permintaan dari puluhan simpatisan kaum radikal yang
sebelumnya bergabung dengan ISIS untuk kembali pulang ke Indonesia.

“Kita kerja sama dengan Kemensos
yang akan menampung mereka, lalu kementerian agama, akademisi untuk pendekatan
psikologi dan ideologi. Nanti secara kesejahteraan saat kembali pada masyarakat
kita kerja sama dengan pemerintah daerah dari mana mereka berasal,” katanya.

Saat eks pengikut ISIS itu
pulang, pihak BNPT akan mengumpulkan mereka dalam satu lokasi untuk dilakukan
identifikasi. Lalu dilakukan pemilahan sesuai hasil identifikasi sampai sejauh
mana tingkat paparannya untum diberikan edukasi.

Hamli menambahkan dalam kurun
waktu 2000 hingga 2019 telah terjadi perubahan pola baru radikalisme di
Indonesia. “Pada masa lalu online tidak ada, sekarang mereka berkomunikasi
melalui media sosial meliputi penyebaran pemahaman, rekrutmen, hingga aksi,”
ujarnya.

Baca Juga :  Survei LSI: Periode Kedua Jokowi Masyarakat Makin Serba Ketakutan

Menurut dia mayoritas pelaku
radikalisme maupun terorisme memberikan pengakuan bahwa perbuatan mereka
didasari atas nama kebencian. Pihaknya menyadari, pemerintah tidak akan mampu
menanggulangi persoalan terorisme tanpa peran serta seluruh masyarakat di
Indonesia.

Terpisah, Ketua Umum Pertiwi
Indonesia, Putri K Wardani, mengemukakan perempuan Indonesia rentan menjadi
target radikalisme di tengah gencarnya penyusupan paham radikal yang berpotensi
memecah kerukunan bangsa.

“Faktor agama, sosial dan
kultural yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan
subordinat menjadi sebab utama,” katanya dalam dialog Merajut Kebhinnekaan
bertema “Kita Bisa Apa” di The Goodrich Hotel, Jakarta, kemarin (20/6).

Menurut perempuan pengamat
militer dan intelijen ini, perempuan kerap direkrut dan diinvestasikan oleh
pelaku radikalisme melalui pernikahan, di mana secara sosial perempuan
dipandang sekadar objek yang harus patuh dan tunduk sepenuhnya terhadap
pasangannya.

Dikatakan Putri perempuan
tersebut kemudian mendapat doktrin bahwa ideologi Pancasila dan sistem
demokrasi adalah buatan “thoghut” sebagai faktor untuk meneguhkan legitimasi
agama.

Dialog ini menghadirkan pembicara
yang aktif dalam upaya memperkuat kebhinekaan, di antaranya pengamat militer
dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, Direktur Nusantara
Institute dan Penggiat Kebhinnekaan Prof Sumanto Al Qurtuby, dan Direktur
Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Hamli.

Narasumber Susaningtyas Nefo
Handayani Kertopati dalam pemaparannya, memfokuskan perhatian pada rentannya
perempuan Indonesia dijadikan target radikalisme yang penyusupannya makin
mengkhawatirkan.

“Dengan kultur patriarki di
Indonesia yang menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan subordinat. Maka
perempuan Indonesia akan lebih mudah menjadi terpapar radikalisme, terutama
perempuan di pedesaan yang dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah”
ujar Susaningtyas.

Baca Juga :  INDEF: Pekerja ‘Part Time’ Tak Layak Nikmati Kartu Pra-Kerja

la menambahkan perlunya meningkatkan
nilai kesetaraan dan keadilan gender, agar perempuan Indonesia dapat lebih
berdaya melawan dominasi kultur patriarki.

Sementara itu, Prof Sumantho Al
Qurtuby dalam paparannya yang berjudul “Merayakan Keragaman Tanpa Intoleransi
dan Kekerasan”, menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar Indonesia saat
ini adalah mendorong masyarakat bisa merayakan keragaman tanpa diiringi sikap
dan tindakan intoleransi dan kekerasan.

Direktur Nusantara Institute dan
dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals,
Arab Saudi, ini menuturkan gagas tersebut penting untuk ditegaskan mengingat
saat ini muncul berbagai kelompok agama, ideologi, dan politik intoleran dan
radikal karena antikebhinekaan.

Sumanto, yang juga pegiat
kebhinnekaan ini menjelaskan bahwa kelompok radikal tersebut terus berupaya
menghilangkan masyarakat yang beragam atas nama agama, ideologi, etnis, suku,
klan atau ras tertentu. “Tak jarang dalam upayanya itu mereka menggunakan
kekerasan yang brutal dan tidak manusiawi,” katanya.

Keberagaman masyarakat, menurut
Sumanto merupakan kenyataan dan fakta sejarah yang ada di Indonesia sehingga
harus disikapi secara tepat. Sumanto menilai sikap terbaik dalam menyikapi
masyarakat yang beragam di Indonesia adalah dengan menumbuhkan pluralisme
kultural di masyarakat.

“Pluralisme kultural adalah
pandangan atau sikap toleran pluralis dalam menyikapi keberagaman budaya yang
berkembang di masyarakat,” katanya. Dalam konteks Indonesia, kata dia,
batasannya adalah Pancasila, Konstitusi UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. (ful/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru