27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Aturan Baru, Penumpang Pesawat Tak Perlu PCR

JAKARTA – Aturan baru bertransportasi di masa new normal atau
normal baru telah diterbitkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Pada masa new
normal angkutan umum boleh mengangkut penumpang lebih dari 50 persen.

Peraturan Menteri No 41 Tahun
2020 Tentang Perubahan atas Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian
Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19 resmi diterbitkan.
Aturan tersebut ditetapkan pada tanggal 8 Juni 2020. Dlam aturan ini kapasitas
angkutan baik darat, laut, udara maupun kereta api tidak dibatasi maksimal 50
persen.

“Menindaklanjuti Surat Edaran
(SE) Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 7 Tahun 2020 tentang
Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru
Menuju masyarakat Produktif dan Aman COVID-19, Kemenhub telah menerbitkan
aturan pengendalian transportasi yang merupakan revisi dari Permenhub 18/2020,”
kata Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi dalam konferensi pers virtual
di Jakarta, Selasa (9/6).

Dijelaskannya, alasan diizinkan
lebih dari 50 persen karena telah dibukanya sejumlah aktivitas ekonomi.
Sehingga akan berdampak pada peningkatan aktivitas perjalanan orang melalui
transportasi.

Karenanya, Kemenhub kemudian
melakukan antisipasi dengan melakukan penyempurnaan Permenhub 18/2020 tentang
pengendalian transportasi dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19.

“Pengendalian transportasi yang
dilakukan menitikberatkan pada aspek kesehatan, karena kami berupaya untuk
menyediakan transportasi agar masyarakat baik itu petugas transportasi maupun
penumpang tetap bisa produktif. Namun tetap aman dari penularan COVID-19
sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo,” jelasnya.

Secara umum, lanjutnya, ruang
lingkup pengendalian transportasi untuk seluruh wilayah. Pengendalian
transportasi yang dilakukan meliputi penyelenggaraan transportasi darat
(kendaraan pribadi dan angkutan umum seperti mobil penumpang, bus, dan angkutan
sungai, danau dan penyeberangan), laut, udara dan perkeretaapian.

“Terkait pembatasan jumlah
penumpang pada sarana transportasi akan ditetapkan selanjutnya oleh Menteri
Perhubungan melalui Surat Edaran dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan
penyesuaian di kemudian hari,” ungkap Menhub.

Baca Juga :  Pemuda Muhammadiyah Prihatin, Petani Indonesia Masih Jadi Kelompok Ter

Adapun pengendalian transportasi
udara yaitu penyesuaian kapasitas (slot time) bandara berdasarkan evaluasi yang
dilakukan Kemenhub. Namun, yang melegakan untuk penumpang di aturan baru ini
tidak perlu memiliki hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR). Cukup dengan
tes cepat (rapid test).

“Jadi, kami tidak ingin bahwa
syarat-syarat terlalu ketat apalagi PCR biayanya mahal daripada ke Yogyakarta
dan Surabaya. Jadi, jelas aturan Gugus Tugas itu untuk dalam negeri cukup rapid.
luar negeri PCR,” katanya.

Selain dihapusnya syarat PCR,
maskapai juga boleh mengangkut penumpang maksimal 70 persen.

“Misalnya pada PM 18 kapasitas 50
persen namun sekarang kita melihat bahwa ada kemajuan berarti dalam menjaga
protokol kesehatan, setelah melalui diskusi panjang, dengan airline, gugus
tugas dan Kemenkes, untuk pesawat jet bisa 70 persen. Kami sudah perhitungkan.
Ada syarat yang ditetapkan,” katanya.

Namun, ditegaskannya, aturan
tersebut sewaktu-waktu bisa berubah menyesuaikan kondisi di lapangan.

Pada kesempatan yang sama,
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto mengatakan aturan
keterisian pengangkutan pesawat maksimal 70 persen sudah sesuai dengan aturan
internasional.

“Kemudian 70 persen tadi, ini
semua sudah sesuai artinya referensi aturan internasional di mana kalau
rpotokol kesehatan dipenuhi, penumpang pakai masker, kabin dibersihkan terus,
maka 70 persen ini longgar,” ujarnya.

Selain itu, untuk syarat
kesehatan pihaknya menilai tes PCR terlalu mahal, karena itu tidak masalah
menggunakan tes cepat untuk penerbangan domestik.

“Apabila di suatu tempat tidak
ada PCR dan rapid, bisa dilakukan dengan surat kesehatan,” katanya.

Novie menambahkan pihaknya juga
tidak mempermasalahkan apabila maskapai melakukan sendiri tes cepat bagi
penumpangnya bekerja sama dengan pihak kesehatan.

“Lalu inisiatif bagi airline
melaksanakan rapid, saya rasa tidak masalah yang penting memenuhi persyaratan
SE 7 Gugus Tugas,” katanya.

Baca Juga :  Sidak Layanan BPJS Kesehatan, Jokowi Temui Pasien RSUD Subang

Sementara Ketua Perhimpunan
Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan Indonesia (Perdospi) Wawan Mulyawan
menilai pembatasan jumlah penumpang di pesawat tidak perlu dilakukan.

“Perdospi merekomendasikan tidak
dilakukannya pengurangan jumlah kursi pesawat yang digunakan penumpang,
misalnya menjadi hanya 50 persen dari kapasitas atas dasar konsep pembatasan
fisik pada era normal baru, karena kami tidak meyakini hal ini merupakan
satu-satunya cara untuk mengurangi penularan COVID-19,” katanya.

Justru dia menyarankan cara lain
pengurangan risiko penularan adalah dengan menaikkan level alat pelindung diri
(APD) seperti penggunaan masker bedah tiga lapis, penggunaan pelindung wajah,
dan pembatasan pergerakan di dalam kabin.

“Dalam pengelolaan pencegahan
penularan COVID-19 di kabin pesawat yang cukup sempit, maka optimalisasi
perlindungan diri lebih diutamakan dibandingkan penerapan konsep pembatasan
jarak fisik,” ungkapnya.

Dia menyebut, pihaknya
merekomendasikan pengadaan alat kesehatan penumpang untuk setiap penumpang
pesawat yang berisikan satu lembar masker tiga lapis, satu botol penyanitasi
tangan, tisu desinfektan untuk mengelap permukaan dengan menggunakan bahan yang
sesuai dengan standar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dan
Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA), yang tidak
merusak/korosif terhadap pesawat.

Khusus untuk awak kabin, penggunaan
APD sama seperti untuk penumpang namun ditambahkan sarung tangan dan dapat
dipertimbangkan pelindung muka. Semua ini tetap mengedepankan aspek keselamatan
penerbangan.

Selain itu, pihaknya menganggap
wajar jika proses “check in” dan “boarding” akan berjalan lebih lama, namun
setidaknya maksimal waktu yang dapat ditoleransi adalah batas “check in” dua
jam sebelum jadwal keberangkatan pesawat domestik dan tiga jam sebelum keberangkatan
pesawat internasional.

“Untuk kedatangan maksimal lama
penumpang tertahan di bandara karena proses skrining adalah dua jam,” katanya.

JAKARTA – Aturan baru bertransportasi di masa new normal atau
normal baru telah diterbitkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Pada masa new
normal angkutan umum boleh mengangkut penumpang lebih dari 50 persen.

Peraturan Menteri No 41 Tahun
2020 Tentang Perubahan atas Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian
Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19 resmi diterbitkan.
Aturan tersebut ditetapkan pada tanggal 8 Juni 2020. Dlam aturan ini kapasitas
angkutan baik darat, laut, udara maupun kereta api tidak dibatasi maksimal 50
persen.

“Menindaklanjuti Surat Edaran
(SE) Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 7 Tahun 2020 tentang
Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru
Menuju masyarakat Produktif dan Aman COVID-19, Kemenhub telah menerbitkan
aturan pengendalian transportasi yang merupakan revisi dari Permenhub 18/2020,”
kata Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi dalam konferensi pers virtual
di Jakarta, Selasa (9/6).

Dijelaskannya, alasan diizinkan
lebih dari 50 persen karena telah dibukanya sejumlah aktivitas ekonomi.
Sehingga akan berdampak pada peningkatan aktivitas perjalanan orang melalui
transportasi.

Karenanya, Kemenhub kemudian
melakukan antisipasi dengan melakukan penyempurnaan Permenhub 18/2020 tentang
pengendalian transportasi dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19.

“Pengendalian transportasi yang
dilakukan menitikberatkan pada aspek kesehatan, karena kami berupaya untuk
menyediakan transportasi agar masyarakat baik itu petugas transportasi maupun
penumpang tetap bisa produktif. Namun tetap aman dari penularan COVID-19
sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo,” jelasnya.

Secara umum, lanjutnya, ruang
lingkup pengendalian transportasi untuk seluruh wilayah. Pengendalian
transportasi yang dilakukan meliputi penyelenggaraan transportasi darat
(kendaraan pribadi dan angkutan umum seperti mobil penumpang, bus, dan angkutan
sungai, danau dan penyeberangan), laut, udara dan perkeretaapian.

“Terkait pembatasan jumlah
penumpang pada sarana transportasi akan ditetapkan selanjutnya oleh Menteri
Perhubungan melalui Surat Edaran dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan
penyesuaian di kemudian hari,” ungkap Menhub.

Baca Juga :  Pemuda Muhammadiyah Prihatin, Petani Indonesia Masih Jadi Kelompok Ter

Adapun pengendalian transportasi
udara yaitu penyesuaian kapasitas (slot time) bandara berdasarkan evaluasi yang
dilakukan Kemenhub. Namun, yang melegakan untuk penumpang di aturan baru ini
tidak perlu memiliki hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR). Cukup dengan
tes cepat (rapid test).

“Jadi, kami tidak ingin bahwa
syarat-syarat terlalu ketat apalagi PCR biayanya mahal daripada ke Yogyakarta
dan Surabaya. Jadi, jelas aturan Gugus Tugas itu untuk dalam negeri cukup rapid.
luar negeri PCR,” katanya.

Selain dihapusnya syarat PCR,
maskapai juga boleh mengangkut penumpang maksimal 70 persen.

“Misalnya pada PM 18 kapasitas 50
persen namun sekarang kita melihat bahwa ada kemajuan berarti dalam menjaga
protokol kesehatan, setelah melalui diskusi panjang, dengan airline, gugus
tugas dan Kemenkes, untuk pesawat jet bisa 70 persen. Kami sudah perhitungkan.
Ada syarat yang ditetapkan,” katanya.

Namun, ditegaskannya, aturan
tersebut sewaktu-waktu bisa berubah menyesuaikan kondisi di lapangan.

Pada kesempatan yang sama,
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto mengatakan aturan
keterisian pengangkutan pesawat maksimal 70 persen sudah sesuai dengan aturan
internasional.

“Kemudian 70 persen tadi, ini
semua sudah sesuai artinya referensi aturan internasional di mana kalau
rpotokol kesehatan dipenuhi, penumpang pakai masker, kabin dibersihkan terus,
maka 70 persen ini longgar,” ujarnya.

Selain itu, untuk syarat
kesehatan pihaknya menilai tes PCR terlalu mahal, karena itu tidak masalah
menggunakan tes cepat untuk penerbangan domestik.

“Apabila di suatu tempat tidak
ada PCR dan rapid, bisa dilakukan dengan surat kesehatan,” katanya.

Novie menambahkan pihaknya juga
tidak mempermasalahkan apabila maskapai melakukan sendiri tes cepat bagi
penumpangnya bekerja sama dengan pihak kesehatan.

“Lalu inisiatif bagi airline
melaksanakan rapid, saya rasa tidak masalah yang penting memenuhi persyaratan
SE 7 Gugus Tugas,” katanya.

Baca Juga :  Sidak Layanan BPJS Kesehatan, Jokowi Temui Pasien RSUD Subang

Sementara Ketua Perhimpunan
Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan Indonesia (Perdospi) Wawan Mulyawan
menilai pembatasan jumlah penumpang di pesawat tidak perlu dilakukan.

“Perdospi merekomendasikan tidak
dilakukannya pengurangan jumlah kursi pesawat yang digunakan penumpang,
misalnya menjadi hanya 50 persen dari kapasitas atas dasar konsep pembatasan
fisik pada era normal baru, karena kami tidak meyakini hal ini merupakan
satu-satunya cara untuk mengurangi penularan COVID-19,” katanya.

Justru dia menyarankan cara lain
pengurangan risiko penularan adalah dengan menaikkan level alat pelindung diri
(APD) seperti penggunaan masker bedah tiga lapis, penggunaan pelindung wajah,
dan pembatasan pergerakan di dalam kabin.

“Dalam pengelolaan pencegahan
penularan COVID-19 di kabin pesawat yang cukup sempit, maka optimalisasi
perlindungan diri lebih diutamakan dibandingkan penerapan konsep pembatasan
jarak fisik,” ungkapnya.

Dia menyebut, pihaknya
merekomendasikan pengadaan alat kesehatan penumpang untuk setiap penumpang
pesawat yang berisikan satu lembar masker tiga lapis, satu botol penyanitasi
tangan, tisu desinfektan untuk mengelap permukaan dengan menggunakan bahan yang
sesuai dengan standar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dan
Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA), yang tidak
merusak/korosif terhadap pesawat.

Khusus untuk awak kabin, penggunaan
APD sama seperti untuk penumpang namun ditambahkan sarung tangan dan dapat
dipertimbangkan pelindung muka. Semua ini tetap mengedepankan aspek keselamatan
penerbangan.

Selain itu, pihaknya menganggap
wajar jika proses “check in” dan “boarding” akan berjalan lebih lama, namun
setidaknya maksimal waktu yang dapat ditoleransi adalah batas “check in” dua
jam sebelum jadwal keberangkatan pesawat domestik dan tiga jam sebelum keberangkatan
pesawat internasional.

“Untuk kedatangan maksimal lama
penumpang tertahan di bandara karena proses skrining adalah dua jam,” katanya.

Terpopuler

Artikel Terbaru