28.1 C
Jakarta
Tuesday, September 17, 2024

Pekerja Sudah Menghadapi Banyak Potongan, Teras Narang: Evaluasi Kembali Kebijakan Tapera

PROKALTENG.CO – Tapera sedang jadi kata yang ramai diperbincangkan publik. Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat, merupakan suatu program yang ditujukan untuk memfasilitasi pembiayaan dan pengadaan rumah layak huni bagi masyarakat.

Tapera sendiri lahir dari  konsekuensi terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang ditetapkan pada 20 Mei 2024 lalu. Ini adalah aturan turunan dari Undang-Undang  Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera (UU Tapera).

Arah Tapera adalah sebagai  penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

Sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU Tapera, tujuannya untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.

Polemik muncul ketika program ini mewajibkan para pekerja berusia 20 tahun ke atas dan menerima penghasilan minimal sebesar upah minimum untuk menyimpan dana mereka sebesar 2,5% hingga 3%. Tentu saja hal ini dianggap memberatkan, karena sejatinya masyarakat pekerja mesti menghadapi banyak potongan gaji yang dapat mengurangi penghasilan dan daya beli mereka.

Baca Juga :  Sebut Pasien Covid-19 Tak Pernah Ada, dr Adiany Adil Dipanggil Polisi

Merujuk KataData, saat ini pekerja setidaknya menghadapi beberapa potongan. Sebut saja Pph 21 yang merupakan pajak penghasilan dengan potongan sebesar 5-35% sesuai penghasilan pekerja. Berikutnya adalah potongan 5% untuk BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Hari Tua dengan potongan 2% ditanggung pekerja, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun dengan potongan 1% ditanggung pekerja, hingga Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang masing-masing dipotong sebesar 0,24% dan 0,3 persen. Khusus PNS/ASN dan TNI/POLRI pada 2021 sudah masuk dalam program Tapera.

Bila seorang pekerja mesti menghadapi sebagian besar atau seluruh potongan di atas, maka bisa dibayangkan bagaimana situasi yang mesti mereka hadapi dalam mencapai kesejahteraan.

Baca Juga :  Perpanjangan SIM Tanpa Ribet, Cukup Melalui Aplikasi Online

“Saya berharap pemerintah, DPR RI,dan DPD RI segera merespon kegelisahan dan suara publik atas lahir dan dampak kebijakan Tapera. Merumuskan langkah politik terbaik dengan sementara menunda atau bahkan menghentikan kebijakan ini untuk dievaluasi dengan secara arif dan bijaksana kembali,” kata Anggota DPD RI, Agustin Teras Narang melalui rilis yang disampaikan ke Prokalteng.jawapos.com.

Menurutnya, saat ini di tengah maraknya pemberitaan negatif tentang kasus penyelenggaraan perlindungan sosial asuransi seperti ASABRI dan Jiwasraya hingga isu korupsi lainnya, sikap masyarakat cenderung skeptis. Untuk itu diharapkan pemerintah tidak menambah beban publik dengan kebijakan-kebijakan yang tidak dapat tersampaikan dengan baik, dan memang berdampak tidak baik.

“Pascapemilu 2024 dan jelang Pilkada 2024, masyarakat butuh suasana kondusif. Jangan sampai residu Pemilu 2024 belum terurai, masyarakat lalu kembali menjadi ramai karena pemerintah dinilai abai. Kalau ini terjadi, maka kebijakan ini bisa jadi bumerang bagi pemerintah itu sendiri,” ungkapnya. (tim)

PROKALTENG.CO – Tapera sedang jadi kata yang ramai diperbincangkan publik. Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat, merupakan suatu program yang ditujukan untuk memfasilitasi pembiayaan dan pengadaan rumah layak huni bagi masyarakat.

Tapera sendiri lahir dari  konsekuensi terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang ditetapkan pada 20 Mei 2024 lalu. Ini adalah aturan turunan dari Undang-Undang  Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera (UU Tapera).

Arah Tapera adalah sebagai  penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

Sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU Tapera, tujuannya untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.

Polemik muncul ketika program ini mewajibkan para pekerja berusia 20 tahun ke atas dan menerima penghasilan minimal sebesar upah minimum untuk menyimpan dana mereka sebesar 2,5% hingga 3%. Tentu saja hal ini dianggap memberatkan, karena sejatinya masyarakat pekerja mesti menghadapi banyak potongan gaji yang dapat mengurangi penghasilan dan daya beli mereka.

Baca Juga :  Sebut Pasien Covid-19 Tak Pernah Ada, dr Adiany Adil Dipanggil Polisi

Merujuk KataData, saat ini pekerja setidaknya menghadapi beberapa potongan. Sebut saja Pph 21 yang merupakan pajak penghasilan dengan potongan sebesar 5-35% sesuai penghasilan pekerja. Berikutnya adalah potongan 5% untuk BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Hari Tua dengan potongan 2% ditanggung pekerja, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun dengan potongan 1% ditanggung pekerja, hingga Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang masing-masing dipotong sebesar 0,24% dan 0,3 persen. Khusus PNS/ASN dan TNI/POLRI pada 2021 sudah masuk dalam program Tapera.

Bila seorang pekerja mesti menghadapi sebagian besar atau seluruh potongan di atas, maka bisa dibayangkan bagaimana situasi yang mesti mereka hadapi dalam mencapai kesejahteraan.

Baca Juga :  Perpanjangan SIM Tanpa Ribet, Cukup Melalui Aplikasi Online

“Saya berharap pemerintah, DPR RI,dan DPD RI segera merespon kegelisahan dan suara publik atas lahir dan dampak kebijakan Tapera. Merumuskan langkah politik terbaik dengan sementara menunda atau bahkan menghentikan kebijakan ini untuk dievaluasi dengan secara arif dan bijaksana kembali,” kata Anggota DPD RI, Agustin Teras Narang melalui rilis yang disampaikan ke Prokalteng.jawapos.com.

Menurutnya, saat ini di tengah maraknya pemberitaan negatif tentang kasus penyelenggaraan perlindungan sosial asuransi seperti ASABRI dan Jiwasraya hingga isu korupsi lainnya, sikap masyarakat cenderung skeptis. Untuk itu diharapkan pemerintah tidak menambah beban publik dengan kebijakan-kebijakan yang tidak dapat tersampaikan dengan baik, dan memang berdampak tidak baik.

“Pascapemilu 2024 dan jelang Pilkada 2024, masyarakat butuh suasana kondusif. Jangan sampai residu Pemilu 2024 belum terurai, masyarakat lalu kembali menjadi ramai karena pemerintah dinilai abai. Kalau ini terjadi, maka kebijakan ini bisa jadi bumerang bagi pemerintah itu sendiri,” ungkapnya. (tim)

Terpopuler

Artikel Terbaru