25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pusat-Pusat Rehabilitasi Para Pecandu Teknologi Korea Selatan

Teknologi mutakhir
menjadi anugerah sekaligus masalah bagi Korea Selatan. Selain memajukan ekonomi
negara, teknologi melahirkan pecandu gawai dan internet. Kini pemerintah
berusaha menanggulangi permasalahan tersebut dengan mendirikan kemah
rehabilitasi pecandu teknologi.

Tempelan kertas di
salah satu dinding asrama National Youth Center of Korea, Kota Cheonan, Korea
Selatan, terlihat sederhana. Tetapi, itu amat berarti bagi orang tua yang
mengirim anaknya ke sana. Mereka menempelkan pesan di atas sebuah gambar pohon.
Penyelenggara menyebutnya pohon penyemangat.

“Go Yong-joo! Jangan
berani-berani kabur,” tulis salah satu orang tua peserta program rehablitasi
remaja pecandu gawai Provinsi Gyeonggi sebagaimana dilansir CNN.

Di negara berkembang seperti
Indonesia, kecanduan ponsel cerdasmungkin belum dipandang masalah pelik.
Kasus-kasus parah ketergantungan terhadap gawai belum terlalu umum dijumpai.
Namun, beda cerita di Korea Selatan.

Masyarakat di negara
markas Samsung dan LG itu bisa terhubung dengan internet di mana saja. Menurut
laporan pemerintah pada 2018, 98 persen remaja Korea Selatan mempunyai gawai.
Sedangkan 30 persen remaja Korsel ditengarai punya ketergantungan tersehadap
ponsel mereka.

Baca Juga :  Sembuh dari Covid-19, Presiden Trump Kembali Ngantor

“Di sini (Korsel, Red)
Anda bisa menghubungkan ponsel Anda di mana pun. Setiap perkampungan juga pasti
punya warnet,” ujar Roh Sung-won, psikiater di Hanyang University, kepada NPR.

Beberapa remaja pun
tahu masalah yang mereka hadapi. Salah seorang di antaranya, Yoo Chae-rin.
Siswi SMA itu rela menyerahkan ponselnya di gerbang gedung rehabilitasi Juli
lalu. Ponsel tersebut tak akan berada di tangannya 12 hari ke depan.

Tentu saja berat.
Namun, dia tahu bahwa masalahnya akan bertambah parah jika tak segera
ditangani. Chae-rin mengatakan bahwa saat SMP dirinya merupakan siswi dengan
nilai cukup baik. Tetapi, ketika di SMA, nilainya jatuh sampai dia ranking
terbawah di kelasnya.

“Saat-saat itu sulit
membedakan mana yang nyata dan maya. Semua kegiatan pada pagi hari seperti
mimpi saja,” ungkapnya.

Dunianya terbalik.
Dunia maya terasa menjadi fokus utamanya. Banyak yang bisa dilakukan.
Menjelajah Facebook; selfie dengan filter di Snow –aplikasi multimedia asal
Korea Selatan–, atau berbicara dengan teman via KakaoTalk.

Baca Juga :  Kemenlu Pastikan Pemulangan Jamaah Umrah Lewat Turki Segera Dilakukan

Tiba-tiba saja
penunjuk jam di bagian atas layarnya menunjukkan pukul 04.00. Dihitung-hitung,
dia sudah 13 jam menggunakan ponsel. Tiga jam lagi dia harus bersiap-siap untuk
berangkat ke sekolah. “Saya tahu, saya seharusnya berhenti. Tapi tidak bisa,”
ungkap dara berusia 16 tahun itu.

Karena itu, saat
Chae-rin sendiri yang mengusulkan mengikuti kemah rehabilitasi kecanduan gawai.
Jae-hoo setuju. Menurut dia, 100 ribu won atau Rp 1,1 juta untuk biaya makan 12
hari tiada artinya. Apalagi, semua kegiatan di sana gratis.

Yoo Soon-duk, direktur
rehabilitasi, mengatakan bahwa semua fasilitas dan kegiatan gratis, kecuali
makan. Di sana mereka didorong untuk melakukan aktivitas menyenangkan seperti
seni dan keterampilan, olahraga, atau berburu harta karun. Selama 30 menit
sebelum tidur, mereka wajib melakukan sesi meditasi.

“Tiga hari pertama
ekspresi mereka terlihat tersiksa. Tetapi, setelah itu, mereka mulai menikmati
kegiatan di sini,” ungkap Soon-duk.(jpc)

 

Teknologi mutakhir
menjadi anugerah sekaligus masalah bagi Korea Selatan. Selain memajukan ekonomi
negara, teknologi melahirkan pecandu gawai dan internet. Kini pemerintah
berusaha menanggulangi permasalahan tersebut dengan mendirikan kemah
rehabilitasi pecandu teknologi.

Tempelan kertas di
salah satu dinding asrama National Youth Center of Korea, Kota Cheonan, Korea
Selatan, terlihat sederhana. Tetapi, itu amat berarti bagi orang tua yang
mengirim anaknya ke sana. Mereka menempelkan pesan di atas sebuah gambar pohon.
Penyelenggara menyebutnya pohon penyemangat.

“Go Yong-joo! Jangan
berani-berani kabur,” tulis salah satu orang tua peserta program rehablitasi
remaja pecandu gawai Provinsi Gyeonggi sebagaimana dilansir CNN.

Di negara berkembang seperti
Indonesia, kecanduan ponsel cerdasmungkin belum dipandang masalah pelik.
Kasus-kasus parah ketergantungan terhadap gawai belum terlalu umum dijumpai.
Namun, beda cerita di Korea Selatan.

Masyarakat di negara
markas Samsung dan LG itu bisa terhubung dengan internet di mana saja. Menurut
laporan pemerintah pada 2018, 98 persen remaja Korea Selatan mempunyai gawai.
Sedangkan 30 persen remaja Korsel ditengarai punya ketergantungan tersehadap
ponsel mereka.

Baca Juga :  Sembuh dari Covid-19, Presiden Trump Kembali Ngantor

“Di sini (Korsel, Red)
Anda bisa menghubungkan ponsel Anda di mana pun. Setiap perkampungan juga pasti
punya warnet,” ujar Roh Sung-won, psikiater di Hanyang University, kepada NPR.

Beberapa remaja pun
tahu masalah yang mereka hadapi. Salah seorang di antaranya, Yoo Chae-rin.
Siswi SMA itu rela menyerahkan ponselnya di gerbang gedung rehabilitasi Juli
lalu. Ponsel tersebut tak akan berada di tangannya 12 hari ke depan.

Tentu saja berat.
Namun, dia tahu bahwa masalahnya akan bertambah parah jika tak segera
ditangani. Chae-rin mengatakan bahwa saat SMP dirinya merupakan siswi dengan
nilai cukup baik. Tetapi, ketika di SMA, nilainya jatuh sampai dia ranking
terbawah di kelasnya.

“Saat-saat itu sulit
membedakan mana yang nyata dan maya. Semua kegiatan pada pagi hari seperti
mimpi saja,” ungkapnya.

Dunianya terbalik.
Dunia maya terasa menjadi fokus utamanya. Banyak yang bisa dilakukan.
Menjelajah Facebook; selfie dengan filter di Snow –aplikasi multimedia asal
Korea Selatan–, atau berbicara dengan teman via KakaoTalk.

Baca Juga :  Kemenlu Pastikan Pemulangan Jamaah Umrah Lewat Turki Segera Dilakukan

Tiba-tiba saja
penunjuk jam di bagian atas layarnya menunjukkan pukul 04.00. Dihitung-hitung,
dia sudah 13 jam menggunakan ponsel. Tiga jam lagi dia harus bersiap-siap untuk
berangkat ke sekolah. “Saya tahu, saya seharusnya berhenti. Tapi tidak bisa,”
ungkap dara berusia 16 tahun itu.

Karena itu, saat
Chae-rin sendiri yang mengusulkan mengikuti kemah rehabilitasi kecanduan gawai.
Jae-hoo setuju. Menurut dia, 100 ribu won atau Rp 1,1 juta untuk biaya makan 12
hari tiada artinya. Apalagi, semua kegiatan di sana gratis.

Yoo Soon-duk, direktur
rehabilitasi, mengatakan bahwa semua fasilitas dan kegiatan gratis, kecuali
makan. Di sana mereka didorong untuk melakukan aktivitas menyenangkan seperti
seni dan keterampilan, olahraga, atau berburu harta karun. Selama 30 menit
sebelum tidur, mereka wajib melakukan sesi meditasi.

“Tiga hari pertama
ekspresi mereka terlihat tersiksa. Tetapi, setelah itu, mereka mulai menikmati
kegiatan di sini,” ungkap Soon-duk.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru