Site icon Prokalteng

Mahasiswa: Oposisi Jalanan

mahasiswa-oposisi-jalanan

JEJAK perjalanan pergerakan
mahasiswa untuk Bangsa Indonesia sangat mengesankan.Dari kacamata sejarah,
membawa semangat dan idealismenya, mahasiswa sudah ikut turun tangan sejak masa
Orde Lama, Orde Baru, hingga puncaknya pada Reformasi.Menyaksikan perjuangan
aksi massa (mahasiswa) di berbagai daerah baru-baru ini, membawa saya untuk
menapak tilas memori ketika terjadi aksi mahasiswa sebagai representasi opini
publik di berbagai daerah untuk menggulingkan rezim korup dan otoriter Orde Baru,
yang kemudian melahirkan reformasi politik 1998. Kenyataan historis ini menjadi
salah satu bukti bahwa mahasiswa menjadi pelaku aktif dalam perjuangan nasional
dan pembangunan bangsa.

Belakangan ini kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah cenderung
tidak pro-rakyat.UU KPK dianggap sebagian besar publik telah mencederai
kekuatan penegakan hukum korupsi KPK.Tak hanya itu, ada kebebasan hak sipil
yang terpasung dan potensi otoriterianisme pemerintah di beberapa pasal RUU
KUHP.Suatu kebijakan yang gagal dirumuskan dengan baik oleh pemerintah sudah
pasti akan memicu gejolak reaksi masyarakat dan menjadi sasaran kemarahan
publik, bahwa publik geram dengan perilaku elit legislator.

Tak lama setelah itu, penetapan pimpinan MPR – DPR – DPD dan
pengumuman kabinet yang baru saja diumumkan oleh Presiden Jokowi semakin
memperkuat dugaan atas adanya kecenderungan kekuasaan yang monolitik.
Mengagetkan, Jokowi merangkul Prabowo yang selama ini menjadi rival politiknya
menjadi Menteri Pertahanan. Jokowi menambahkan, Indonesia tidak lagi mengenal
oposisi sebab demokrasi di Indonesia adalah demokrasi gotong royong.Maka, hal
ini mencerminkan terjadinya penyempitan ruang terhadap kontrol kekuasaan
melalui mekanisme pengawasan.Kecenderungan akan adanya “Orde Baru” yang lahir
dengan wajah baru ini tentu sangat berbahaya dan mengancam kehidupan demokrasi
di Indonesia.

Oposisi Alternatif

Demi merawat demokrasi agar tetap berjalan sehat, mengubur dalam
otoritarianisme, maka kekuatan oposisi haruslah tetap ada, jangan menyusut
apalagi tiada.Kekuatan oposisi diperlukan agar dapat menjalankan fungsi kontrol
terhadap kekuatan Negara. Menilik fenomena yang terjadi saat ini yang ditandai
dengan menyusutnya kekuatan oposisi, menyisakan PAN, Demokrat dan PKS yang
apabila digabung jumlahnya pun masih kalah jauh dengan partai-partai koalisi,
maka perlu dibangun dan dikembangkan kekuatan oposisi alternatif.

Mahasiswa adalah salah satu harapan bahwa kehadirannya sebagai
kaum intelektual mampu menjadi salah satu kekuatan oposisi alternatif yang
kritis dan konstruktif. Mahasiswa harus mampu berdaya guna untuk memperjuangkan
aspirasi rakyat.Mahasiswa harus menjadi penyambung lidah antara pemerintah dan
rakyat.Lebih daripada itu, mahasiswa harus berani berdiri sebagai alat kontrol
politik terhadap kekuasaan Negara.

Antara Indonesia dan Hongkong

Gelombang aksi demonstrasi baru-baru ini tidak saja terjadi di
Indonesia, melainkan juga terjadi di Negara yang tidak terlalu jauh dari Indonesia,
yakni Hongkong.Peristiwa tersebut menjadi perhatian dunia
Internasional.Keduanya memiliki kemiripan isu yakni penolakan terhadap produk
legislatif di masing-masing Negara. Jika di Indonesia berhubungan dengan UU
KPK, UU SDA, RUU KUHAP, RUU Pertanahan, dan lainnya maka di Hongkong yang
menjadi pemicunya adalah RUU Ekstradisi.

The Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal
Matters Legislation (Amendment) Bill 2019
 atau RUU Ekstradisi di
Hongkong menuai polemik. Dalam RUU tersebut diatur bahwa pelanggar hukum akan
dikirim ke Tiongkok untuk menjalani proses peradilan. Akan tetapi, masyarakat
meyakini bahwa hukum di Tiongkok sangatlah buruk dan cenderung korup. Oleh
karena itu, mereka menolak dengan alasan ketakutan akan adanya hukuman yang tidak
sesuai yang diberikan bagi para pelanggar hukum. 
Melihat fenomena ini, terdapat hal-hal menarik jika memperbandingkan
keduanya.Pertama, kita melihat bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa
di Hongkong dan di Indonesia sama-sama berangkat dari penolakan terhadap
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.Kedua, gerakan ini sama-sama melibatkan
mahasiswa dan pelajar.Ketiga, demonstrasi ini kemudian sama-sama berujung pada
bentrokan antara aparat keamanan dengan mereka yang berdemo.

Sementara itu, ada beberapa perbedaan mengenai gaya yang
ditampilkan oleh para demonstran. Di Indonesia, mahasiswa datang
berbondong-bondong menuju tempat yang sama diwarnai dengan tampilan almamater
yang berbeda. Berbeda dengan itu, mahasiswa di Hongkong tampil senada dengan
pakaian serba hitam, serta simbol-simbol lain yang sama. Kedua, dilihat dari
persoalan waktu, demonstrasi di Indonesia pada akhirnya hanya berlangsung
singkat dan terhenti.Sementara itu, demonstrasi di Hongkong terus
berlanjut.Lamanya waktu demonstrasi di Hongkong menunjukkan kuatnya daya tahan
politik oposisi jalanan di Hongkong.Daya tahan tersebut juga menegaskan
kematangan basis peserta aksi dalam sebuah gerakan sosial melalui oposisi
jalanan.

Meski demikian, keduanya sama-sama menyisakan cerita negatif
akibat kerusuhan yang ditimbulkan antara mahasiswa dan aparat keamanan.Entah
murni aksi mahasiswa atau ada kemungkinan gerakan penyusup alias provokator
yang kemudian menyebabkan aksi ini berakhir dengan kerusuhan.Terlepas daripada
itu, kesadaran kewargaan juga musti tetap jadi perhatian yang utama. Jangan
sampai, ketiadaan kesadaran tersebut hanya akan menambah persoalan dan justru
memperburuk kualitas demokrasi. Kematangan basis massa dan kuatnya kesadaran
kewargaan merupakan prasyarat awal oposisi rakyat atau oposisi jalanan.

(Penulis Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Indonesia)

Exit mobile version