PANDEMI Covid-19 sedang menyapa warga dunia dan tercatat jutaan
manusia terpapar. Sebuah kondisi yang memorak-porandakan tatanan sosial dan
ekonomi. Dalam kondisi tersebut, solidaritas antarsesama menjadi kata kunci
untuk tetap bertahan di tengah kondisi sulit ini.
Banyak momentum kebangsaan maupun
momentum keumatan yang harus diarahkan dalam rangka mengatasi bencana dunia
tersebut. Salah satunya adalah Idul Kurban (Idul Adha).
Iduladha dalam konteks Indonesia
memang tidak semeriah Idulfitri. Tetapi jelas bahwa Idul Kurban mengandung
makna, nilai, dan semangat juang yang penting bagi kehidupan pribadi, kelompok,
dan bangsa di tengah pandemi.
Idul Kurban bisa dimaknai sebagai
cara manusia untuk belajar mengorbankan ego individu sebagaimana Ibrahim
mengorbankan putranya, Ismail, demi menjalankan perintah Allah. Terlebih, di
tengah pandemi ini, semangat Idul Kurban bisa diterapkan dalam diri kita untuk
mengesampingkan kepentingan kehidupan pribadi atau golongan di atas kepentingan
bersama.
Idul Kurban seyogianya juga dapat
dimaknai sebagai momentum peningkatan spirit mengorbankan sebagian harta yang
dimiliki untuk kepentingan ibadah dan kemanusiaan. Ibadah tersebut memiliki
dimensi hubungan dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia.
Dua hal tersebut harus terwujud
dalam solidaritas kemanusiaan yang otentik dan berorientasi pada persoalan.
Salah satunya adalah menjadikan momen kurban sebagai bagian dari melawan
bencana Covid-19.
Bencana Kemanusiaan
Upaya menekan laju Covid-19
tentunya menghadapi banyak tantangan. Belum ditemukannya vaksin, masih adanya
anggapan sebagian masyarakat bahwa Covid-19 tidak berbahaya, dan resesi ekonomi
adalah ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan. Kendala-kendala tersebut
harus dijawab dengan kerja-kerja kolektif antarelemen bangsa.
Kurban harus menjadi momentum
tersebut. Dalam konteks sejarah, Idul Kurban adalah sebuah peristiwa agung yang
menjelaskan ketundukan Nabi Ibrahim dan Ismail. Dari keduanya kita diajarkan
untuk siap menyerahkan apa saja yang kita punya dan cintai. Esensi kemanusiaan
dalam kurban tentunya memiliki relevansi dalam konteks bencana kemanusiaan hari
ini.
Covid-19 bukan kutukan, tetapi
harus kita maknai sebagai bagian dari ulah manusia atas alam. Bencana tersebut
menuntut kita semua untuk belajar dan lebih serius dalam menghadapi kondisi
dunia yang makin tidak menentu. Bencana sejatinya harus membuat semua orang
meninggikan solidaritas sosial.
Ketika solidaritas sosial menjadi
utama, membunuh ego dan bersedia berkorban untuk kepentingan kolektif menjadi
penting. Dalam konteks itu, Idul Kurban menemukan relevansinya.
Revitalisasi Makna Kurban
Momentum kurban di masa pandemi
harus dipahami sebagai sebuah peluang untuk melakukan revitalisasi atas makna
kurban. Ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan.
Pertama, momen ini harus dipahami
sebagai sebuah praktik berkurban secara individu demi kepentingan bersama.
Secara individu, kita dituntut untuk membunuh ego. Praktik-praktik personal
seperti mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak harus menjadi
kebiasaan baru dalam kehidupan.
Selain itu, secara pribadi
manusia dituntut untuk peduli kepada orang-orang terdekat yang kehidupannya
terdampak. Pertumbuhan ekonomi yang anjlok serta penerapan restriksi sosial di
berbagai wilayah akibat pandemi Covid-19 berpotensi mengakibatkan hilangnya
lapangan kerja dalam jumlah besar dan meningkatnya kemiskinan secara masif.
Dalam kondisi tersebut,
kepedulian adalah kata kunci. Selain peduli pada kondisi keluarga, kepedulian
kepada orang-orang di sekitar menjadi hal yang penting meskipun sulit. Hal
tersebut memerlukan kesadaran individu yang tinggi yang efeknya sangat berguna
bagi diri kita sendiri maupun masyarakat.
Hal di atas yang saya sebut
sebagai bagian dari pengorbanan individu untuk memulai tatanan hidup baru demi
keberlangsungan hidup yang lebih baik.
Yang kedua, bencana Covid-19
menjadi momen untuk solidaritas sosial antarelemen bangsa. Solidaritas tersebut
telah terbukti sejak awal dengan banyaknya organisasi masyarakat lintas iman,
etnis, dan komunitas-komunitas di masyarakat yang terlibat aktif dalam
pencegahan Covid-19. Berbagai momen ibadah seperti kurban maupun acara sosial
lainnya harus diarahkan pada upaya pencegahan. Salah satu organisasi masyarakat
yang berusaha merevitalisasi makna kurban adalah Muhammadiyah.
Organisasi itu dalam surat edarannya
Nomor 06/EDR/I.0/E/2020 tentang Tuntunan Ibadah Puasa Arafah, Iduladha, Kurban,
dan Protokol Ibadah Kurban pada Masa Pandemi Covid-19 menyebutkan bahwa pandemi
menimbulkan masalah sosial ekonomi dan meningkatkan jumlah kaum duafa. Atas
dasar hal tersebut, umat Islam disarankan untuk lebih mengutamakan sedekah
berupa uang dibandingkan menyembelih hewan kurban.
Hal tersebut adalah upaya
bagaimana ibadah kurban diarahkan untuk menjawab persoalan yang sedang dihadapi
saat ini. Kurban harus mempunyai dampak secara langsung ke masyarakat yang
sedang berjuang melawan Covid-19.
Ketiga, bagi pemimpin bangsa,
momen kurban tahun ini harus diupayakan untuk meneladani kepemimpinan Nabi
Ibrahim. Kisahnya yang diabadikan dalam Alquran menegaskan bahwa Ibrahim adalah
pemimpin yang tunduk dan patuh pada perintah Allah. Masa penantian yang panjang
atas kelahiran buah hatinya, Ismail, tidak membuatnya lalai dan menentang
perintah Allah.
Kisah Ibrahim bisa dimaknai para
pemimpin bangsa sebagai peristiwa agung yang harus dicontoh. Meskipun kerap
menghadapi kondisi sulit antara pembatasan sosial atau pertumbuhan ekonomi,
kebijakan yang tidak populis secara personal, dan risiko-risiko berat lainnya,
para pemimpin harus tetap berusaha mendahulukan kepentingan rakyat sebagai bentuk
ketundukannya kepada Allah. Karena dalam konteks demokrasi, rakyat adalah
segala-galanya dan hal tersebut sejalan dengan nilai-nilai agama.
Makna pentingnya adalah
pemerintah dan penyelenggara negara seyogianya mengorbankan seluruh jiwa
raganya dan berpihak pada keselamatan masyarakat. Sebagai pengingat bahwa tugas
kepemimpinan bangsa itu amatlah berat dan lebih berat dari situasi normal,
teringat pesan Agus Salim yang sangat tersohor “Leiden is Lijden†yang artinya memimpin adalah menderita. Karena
itu, sifat kerelaan berkurban pemimpin menjadi penting.
Atas uraian di atas, revitalisasi
konsep kurban sebagai bagian dari pesan kemanusiaan di tengah situasi
kebangsaan yang serbasulit ini penting untuk dilakukan. Idul Kurban harus
menjadi titik awal bagi kita untuk ’’membunuh’’ keserakahan individu maupun
golongan dan semoga kita semua menjadi pribadi yang kukuh dan kuat di tengah
kondisi yang berat ini. (*)
(Penulis adalah Rektor
Universitas Muhammadiyah Surabaya)