SELASA hari ini saya sudah 11 hari menjalani ‘tahanan rumah’. Self
isolation dan juga self lock down. Saya mengisolasi diri secara mandiri dan
memprotek kedatangan siapa pun dari luar rumah. Termasuk keluarga sekali pun.
Saya memang ODP. Orang dalan
pemantauan. ODP dari klaster Kang Bima (Bima Arya Sugiarto), walikota Bogor.
Kang Bima, sejak Kamis 19 Maret, positif terinveksi virus corona (Covid-19) dan saat ini sedang
menghuni ruang isolasi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor.
Saya pada Kamis itu memang
bertemu Kang Bima di kediaman pribadinya. Ingin mendapatkan perkembangan
terkini dan cara penanganan corona di kota Bogor.
Waktu itu Kang Bima dalam status
ODP. Dia memang baru pulang dari Turki dan Azerbaijan. Satu jam saya berada di
rumah putih itu.
Kira-kira dua jam setelah itu,
saya dapat kabar bahwa Kang Bima positif terinveksi covid-19. Itu berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium di Bandung. Maka, saya otomatis menjadi ODP.
Orang kebanyakan belum mengerti
perbedaan ODP dengan PDP. Perbedaan PDP dengan positif. Mereka hanya punya satu
pemahaman dan satu sebutan: corona.
Artinya, ODP itu positif corona.
PDP itu positif corona. Padahal sangat berbeda keadaannya, juga kualitas
statusnya.
Itulah sebabnya, dua hal yang
paling berat dan paling sakit dirasakan ODP dan PDP adalah stigma dan sugesti.
ODP dan PDP benar-benar menjadi
benda yang sangat haram. Melebihi haramnya daging babi (bagi umat muslim). Saya
merasakan itu setiap hari.
Seluruh tubuh seorang ODP itu
haram. Pakaian bekas pakainya haram. Kamar tidurnya haram. Piring dan gelas
bekas makan-minumnya haram. Keluarganya haram. Haramnya entah berapa kali lipat
dibanding memakan daging babi. Stigma. (Soal ini akan saya tulis terpisah).
Jiwa juga terganggu. Batuk-batuk
kecil pun (Jangan-jangan sudah positif corona).
Bersin sehabis maen dengan kucing peliharaan. (Jangan-jangan sudah
positif corona). Tenggorokan gatal-gatal. (Jangan-jangan sudah positif corona).
Dada terasa agak panas. (Jangan-jangan sudah positif corona). Padahal baru saja
minum teh jahe panas. Sugesti.
Speciment saya sudah diambil
sejak Minggu 21 Maret di RSUD Kota Bogor untuk dibawah ke Bandung. Karena di
Jabar hanya laboratorium Pemprov itu yang diberikan izin untuk memeriksa
speciment ODP dan PDP. Sehingga bisa
menentukan seseorang positif terinveksi Covid-19 atau negatif. Sudah 10 hari
hasil tes swab saya itu belum ada hasilnya.
Belum keluar.
Bersama saya ada 21 wartawan lain
juga diambil specimentnya. Nasib hasil pemeriksaan mereka sama seperti saya.
Juga belum keluar.
Kota Bogor, sampai dengan 30
Maret, sudah mengirim 331 speciment.
Baru 54 yang ada hasilnya. Waktu 10 hari itu terlalu lama. Ada tujuh PDP di
Kota Bogor meninggal dunia dalam keadaan belum teridentifikasi.
Hasil tes lab tujuh pasien yang
meninggal itu sampai saya menulis ini juga belum keluar. Otomatis nama mereka
belum masuk dalam daftar meninggal dunia yang diumumkan pemerintah.
Artinya, jumlah yang meninggal
dunia sudah jauh lebih banyak dari jumlah yang diumumkan. Artinya, jumlah yang
positif terinveksi sudah jauh lebih banyak dari jumlah yang diumumkan.
Data meninggal dunia yang
diumumkan pemerintah pada Senin sore 122 orang. Tetapi Gubernur DKI Anies
Baswedan, pada sore yang sama, menyebut ada 283 jenazah yang dikuburkan di
wilayah DKI dengan standar corona.
Apa yang menyebabkan itu semua?
Kemungkinan pemerintah tidak punya cukup laboratorium sehingga antrean menjadi
sangat panjang. Sangat lama.
Pemerintah segera menambah
laboratorium di daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang pertumbuhan ODP dan
PDP-nya sangat cepat. Bogor Raya adalah wilayah merah. IPB seharusnya disiapkan
sejak awal menjadi lab corona. Ini agar ODP dan PDP yang banyak itu segera
mendapat kepastian.
Dan, beban stigma dan sugesti
dapat menjadi berkurang. ***
(bang hs)