26.5 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

N dalam KK

Ini soal KKN.

Ini soal nepotisme.

Saya jadi ingin tahu: bagaimana
ceritanya kok N di situ disejajarkan dengan K dan K.

Sejak kapan? Dan bagaimana asbabunnuzul-nya?

Padahal N itu bukan (K)
kriminal. Bukan pelanggaran hukum. N itu jelas: bukan kejahatan.

Singkatnya N di situ bukan
Korupsi dan bukan pula Kolusi.

Tapi gara-gara penyebutannya
selalu disejajarkan dengan dua K di depannya, kesannya N sama dengan K dan K.

Semua pasti sepakat korupsi dan
kolusi adalah kejahatan. Itu perbuatan kriminal. Itu melanggar hukum.

Tapi pasal hukum yang mana yang
mengatakan nepotisme itu kejahatan?

Hukum positif kita tidak memasukkan
nopotisme sebagai pelanggaran hukum. Tidak satu pun pasal yang mengatakan
nepotisme itu kejahatan.

Rasanya istilah KKN itu mulai
marak di tahun 1999. Di saat rakyat bergerak. Mereka tidak mau lagi Orde Baru.
Yang mereka anggap otoriter.

Orde Baru mereka nilai penuh
dengan korupsi. Yang sumber korupsi itu adalah kolusi. Dan diperkaya oleh
nepotisme.

Waktu itu juga populer istilah
koncoisme. Artinya hanya teman-teman Pak Harto yang dapat bisnis. Juga yang
dapat kekebalan hukum.

Baca Juga :  Hadiri Peresmian Koperasi Syariah MUI, Ini yang Disumbangkan Agustiar

Sepuluh tahun pertama di
kekuasaannya nama Pak Harto harum. Tidak ada nepotisme. Atau sedikit sekali.
Atau tidak ada yang tahu. Pun tidak boleh ada yang tahu.

Sepuluh tahun kedua, anak-anak
mulai besar. Paman-pamannya juga mulai bisa bisnis. Mulailah terjadi kolusi.
Dan nepotisme.

Dan sepuluh tahun ketiga: kita
semua tahu –merajalela. Rakyat sebenarnya hanya marah di dalam hati. Sampai
akhirnya terjadi krisis moneter. Rupiah hancur.

Terjadilah reformasi. Presiden
Soeharto dijatuhkan. Segala yang berbau Orde Baru dienyahkan.

Soeharto adalah simbol KKN.
Tuduhan pada beliau adalah melakukan tiga-tiganya.

Maka kata nepotisme menjadi
sama negatifnya dengan korupsi dan kolusi.

Orang terbius oleh istilah tiga
huruf itu.

Bahkan istilah itu terbawa ke
perusahaan swasta. Publik menjadi tidak bisa membedakan mana ranah publik
(instansi pemerintah, BUMN/BUMD, perusahaan publik) dengan ranah swasta.

Nepotisme di perusahaan swasta
juga disalah-salahkan.

Padahal, sebenarnya, posisi N
tidak sama dengan K dan K. Pun di ranah publik. Apalagi di ranah swasta murni.

Baca Juga :  Temu Regional PWM, PTM dan PWA se Kalimantan Bahas Sinergitas Amal Us

Tapi apakah berarti N itu baik?

Sama sekali tidak baik. Apalagi
di ranah publik.

Hanya perlu diingat: N tidak
melanggar hukum. Sampai suatu saat kelak hukum positif kita memasukkan N ke
dalamnya.

Atau jangan-jangan sudah
–hanya saya kurang mengikuti perkembangan.

Di mana tidak baiknya N?

Tentu tidak sama.

Untuk ranah publik: merusak
tatanan.

Untuk ranah swasta: mengganggu
disiplin manajemen.

Sebaliknya, nepotisme
sebenarnya tidak akan merusak tatanan. Pun di ranah publik. Asal: demokrasi,
hukum, merit system dan keterbukaan informasi dijamin –sampai ke tingkat
pelaksanaannya.

Itulah sebabnya di negara maju
nepotisme dianggap biasa.

Apalagi di swasta: nepotisme
tidak boleh dipersoalkan. Itu suka-suka pemilik perusahaan.

Bagaimana kalau akibat
nepotisme itu perusahaannya bangkrut?

Suka-suka pemilik
perusahaannya. Yang umumnya tidak mau bangkrut. Yang umumnya mau maju.

N telah salah tempat.

Selama 20 tahun terakhir.
Demokrasi yang belum matang yang membuat kita membenci N berlebihan.(Dahlan
Iskan) 

 

Ini soal KKN.

Ini soal nepotisme.

Saya jadi ingin tahu: bagaimana
ceritanya kok N di situ disejajarkan dengan K dan K.

Sejak kapan? Dan bagaimana asbabunnuzul-nya?

Padahal N itu bukan (K)
kriminal. Bukan pelanggaran hukum. N itu jelas: bukan kejahatan.

Singkatnya N di situ bukan
Korupsi dan bukan pula Kolusi.

Tapi gara-gara penyebutannya
selalu disejajarkan dengan dua K di depannya, kesannya N sama dengan K dan K.

Semua pasti sepakat korupsi dan
kolusi adalah kejahatan. Itu perbuatan kriminal. Itu melanggar hukum.

Tapi pasal hukum yang mana yang
mengatakan nepotisme itu kejahatan?

Hukum positif kita tidak memasukkan
nopotisme sebagai pelanggaran hukum. Tidak satu pun pasal yang mengatakan
nepotisme itu kejahatan.

Rasanya istilah KKN itu mulai
marak di tahun 1999. Di saat rakyat bergerak. Mereka tidak mau lagi Orde Baru.
Yang mereka anggap otoriter.

Orde Baru mereka nilai penuh
dengan korupsi. Yang sumber korupsi itu adalah kolusi. Dan diperkaya oleh
nepotisme.

Waktu itu juga populer istilah
koncoisme. Artinya hanya teman-teman Pak Harto yang dapat bisnis. Juga yang
dapat kekebalan hukum.

Baca Juga :  Hadiri Peresmian Koperasi Syariah MUI, Ini yang Disumbangkan Agustiar

Sepuluh tahun pertama di
kekuasaannya nama Pak Harto harum. Tidak ada nepotisme. Atau sedikit sekali.
Atau tidak ada yang tahu. Pun tidak boleh ada yang tahu.

Sepuluh tahun kedua, anak-anak
mulai besar. Paman-pamannya juga mulai bisa bisnis. Mulailah terjadi kolusi.
Dan nepotisme.

Dan sepuluh tahun ketiga: kita
semua tahu –merajalela. Rakyat sebenarnya hanya marah di dalam hati. Sampai
akhirnya terjadi krisis moneter. Rupiah hancur.

Terjadilah reformasi. Presiden
Soeharto dijatuhkan. Segala yang berbau Orde Baru dienyahkan.

Soeharto adalah simbol KKN.
Tuduhan pada beliau adalah melakukan tiga-tiganya.

Maka kata nepotisme menjadi
sama negatifnya dengan korupsi dan kolusi.

Orang terbius oleh istilah tiga
huruf itu.

Bahkan istilah itu terbawa ke
perusahaan swasta. Publik menjadi tidak bisa membedakan mana ranah publik
(instansi pemerintah, BUMN/BUMD, perusahaan publik) dengan ranah swasta.

Nepotisme di perusahaan swasta
juga disalah-salahkan.

Padahal, sebenarnya, posisi N
tidak sama dengan K dan K. Pun di ranah publik. Apalagi di ranah swasta murni.

Baca Juga :  Temu Regional PWM, PTM dan PWA se Kalimantan Bahas Sinergitas Amal Us

Tapi apakah berarti N itu baik?

Sama sekali tidak baik. Apalagi
di ranah publik.

Hanya perlu diingat: N tidak
melanggar hukum. Sampai suatu saat kelak hukum positif kita memasukkan N ke
dalamnya.

Atau jangan-jangan sudah
–hanya saya kurang mengikuti perkembangan.

Di mana tidak baiknya N?

Tentu tidak sama.

Untuk ranah publik: merusak
tatanan.

Untuk ranah swasta: mengganggu
disiplin manajemen.

Sebaliknya, nepotisme
sebenarnya tidak akan merusak tatanan. Pun di ranah publik. Asal: demokrasi,
hukum, merit system dan keterbukaan informasi dijamin –sampai ke tingkat
pelaksanaannya.

Itulah sebabnya di negara maju
nepotisme dianggap biasa.

Apalagi di swasta: nepotisme
tidak boleh dipersoalkan. Itu suka-suka pemilik perusahaan.

Bagaimana kalau akibat
nepotisme itu perusahaannya bangkrut?

Suka-suka pemilik
perusahaannya. Yang umumnya tidak mau bangkrut. Yang umumnya mau maju.

N telah salah tempat.

Selama 20 tahun terakhir.
Demokrasi yang belum matang yang membuat kita membenci N berlebihan.(Dahlan
Iskan) 

 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru