SALAH satu prinsip utama
yang dipegang Nahdlatul Ulama (NU) adalah kaidah al muhafadzatu alal qadimis
shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Yakni, menjaga tradisi lama yang baik dan
mengaplikasikan inovasi baru yang lebih baik. Ada dua kata kunci prinsip yang
terkandung dalam kaidah tersebut. Pertama adalah tradisi dan kedua inovasi.
Tradisi atau
adat istiadat merupakan sebuah kebaikan yang diulang-ulang secara intensif.
Jika sesuatu diulang dengan intensitas yang tinggi, sekaligus mampu bertahan
beriringan dengan gerak zaman, hal itu disebut adat istiadat (sesuatu yang
diulang dan berulang) yang dalam bahasa kita dikenal sebagai tradisi.
Tradisi itu
memiliki posisi yang sangat penting. Tatkala membincang persoalan tradisi,
banyak sarjana muslim merujuk pada metafora yang digunakan dalam Alquran surah
Ibrahim: 24 yang mengatakan, â€Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit.â€
Kebaikan yang
berulang atau tradisi dalam konteks ini tak ubahnya pohon yang akarnya kokoh
menghunjam bumi, sementara cabangnya rimbun dan menjulang ke langit. Itu
merupakan sebuah perumpamaan bahwa tradisi merupakan sebuah entitas yang
memiliki akar yang kuat sehingga ia kokoh berdiri mengikuti gerak dan perubahan
zaman.
Inovasi
Dalam konteks
merespons gerak zaman, ada aspek lain yang tidak kalah penting, yakni aspek
inovasi. Dalam bahasa Imam Syafi’i disebut sebagai â€wal akhdzu bil jadidil
ashlah†yang berarti mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Dalam bahasa
yang lebih ringkas, hal ini bisa disebut sebagai upaya-upaya inovatif yang
membawa kemaslahatan hidup.
Dengan bingkai
kaidah di atas, sesungguhnya kalangan beragama sangat memahami apa yang menjadi
kelaziman yang harus ditempuh menghadapi gerak dan perubahan zaman. Dua
kelaziman itu adalah berpegang pada tradisi sekaligus mencari cara untuk
bertahan sebagai bagian dari upaya berinovasi. Dalam konteks menghadapi wabah
korona ini, saya rasa paradigma berpikir semacam ini relevan untuk digunakan.
Kebijakan PSBB
(pembatasan sosial berskala besar) yang telah dituangkan pemerintah bisa kita
maknai sebagai bagian dari inovasi yang dipilih sebagai strategi menghadapi
wabah ini. Kewajiban untuk menjaga jarak dan larangan untuk berkerumun guna
memutus transmisi virus korona menjadi salah satu alasan mendasar kebijakan ini
diterapkan. Illat (raison d’etre) yang menjadi alasan kebijakan PSBB adalah
adanya kerumunan. Tidak peduli kerumunan itu terjadi di mana dan dilakukan oleh
siapa. Jelas, perkara yang dilarang adalah berkerumun. Entah di pasar, mal, rumah
makan, tempat ibadah, atau tempat wisata. Kita tidak sedang berbicara lokus.
Fokus kita adalah soal fenomena/peristiwa kerumunan. Artinya, kita tidak sedang
bicara di mana dan oleh siapa, namun lebih kepada soal apa.
Dalam konteks
ini, saya melihat ada beberapa pelanggaran yang terjadi sehingga tampak
sebagaimana diberitakan banyak media, terdapat kerumunan di sebuah restoran
yang sempat membuat heboh dan memantik perdebatan dan protes dari kalangan umat
beragama. Protes disampaikan karena menganggap bahwa mengapa peraturan
dijalankan dengan cara yang diskriminatif. Mengapa rumah ibadah ditekankan
untuk ditutup, sementara terhadap kerumunan yang terjadi di sebuah restoran
tidak ada upaya pelarangan? Logika ini sah dan wajar. Namun, dalam konteks ini,
saya hendak mengajak umat beragama agar menyerahkan implementasi kebijakan
pelarangan kerumunan itu kepada pemerintah. Sikap terbaik kita, dalam hemat
saya, adalah memberikan teladan dan contoh untuk tetap berdisiplin dan mematuhi
protokol yang telah ditetapkan.
Normal Baru
Wacana tentang
normal baru (new normal) yang gencar menjadi topik pembicaraan belakangan
sebetulnya tidak begitu mengagetkan jika ditinjau dari kerangka wal akhdzu bil
jadidil ashlah di atas. Upaya untuk melakukan inovasi, yakni mengambil
kebijakan yang dinilai lebih baik, adalah cara terbaik untuk bertahan
menyesuaikan gerak zaman. Namun, perlu dicatat bahwa kebijakan tersebut bisa
masuk ke kategori inovasi sepanjang ia memiliki nilai dan manfaat yang lebih
baik.
Dalam kerangka
ini, saya rasa hal penting yang harus dilakukan adalah kajian serta analisis
yang mendasar, menyeluruh, dan mendalam akan potensi dampak baik dan buruk dari
kebijakan normal baru ini. Seluruh spektrum warna harus menjadi pertimbangan.
Tidak bisa kebijakan diambil dalam rangka hanya memenuhi tuntutan dari sektor
tertentu. Inilah yang disebut sebagai watak kepemimpinan yang melayani.
Pada konteks
yang lebih jauh, dalam hemat saya, normal baru bukan semata soal inovasi dan
implementasi kelaziman baru. Namun, juga harus ada pendekatan baru yang
dilakukan pemerintah dalam menghadapi pandemi korona. Pendekatan baru yang saya
maksud, misalnya, bisa dimulai dengan melakukan perbaikan sistem komunikasi
yang lebih tertata dengan baik. Ini penting dilakukan dalam rangka menghindari
kesalahpahaman dan kegaduhan pada masyarakat.
Prinsip dasar
komunikasi publik adalah kejelasan informasi. Tanpa kejelasan informasi, yang
terjadi adalah publik kian bingung melihat fenomena tumpang-tindih komentar
yang bermunculan dari para pajabat negara. Fenomena â€saur manuk†(saling kicau)
ini bukan malah semakin membuat publik tenang, tapi justru memantik persoalan
baru, memunculkan perdebatan baru, sehingga wacana menjadi terbelah dan
akhirnya energi kita habis untuk berdebat. Inilah yang harus kita hindari
bersama.
Ala kulli hal,
dalam konteks menghadapi pandemi ini, saya ingin menukil sebuah syair yang
dikutip oleh Hadratusyaikh KH Hasyim Asyari dalam mukadimah qanun asasy
Nahdlatul Ulama: â€kunu jami’an ya bunayya idza ’ara, khatbun wala tafarraqu
ahada. Ta’bal qidahu idzaj tama’na takassura, wa idzaf taraqna takassarat
afrada†yang artinya, berhimpunlah anak-anakku ketika kegentingan datang
melanda, jangan bercerai berai sendiri-sendiri. Cawan-cawan enggan pecah bila
bersama, ketika bercerai satu per satu pecah berderai. Mari kita jaga
solidaritas dan gotong royong bersama menghadapi pandemi korona ini. Inilah
sebaik dan sebijaksana sikap yang bisa kita lakukan. Wallahu a’lam bis-sawab.
(*)