25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kolonialisme Sampah

BANYAK yang tahu bahwa kolonialisme diawali lewat jalur
perdagangan. Namun belum banyak yang tahu bahwa kolonialisme di masa kini juga
masih ditempuh melalui jalur perdagangan namun dengan bentuk baru yaitu
perdagangan sampah.

Runner-up

Direktur Eksekutif Ecoton Prigi
Arisandi dalam jumpa pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
di Jakarta, Selasa 25 Juni 2019 mengharapkan Presiden Joko Widodo harus segera
menghentikan impor sampah karena sejak tahun 2015 Indonesia merupakan negara
juara kedua alias runner-up pencemar laut dunia setelah China.

Ditambahkannya, ada 43 negara
mengimpor sampahnya ke Jawa Timur, antara lain Amerika Serikat, Italia,
Inggris, Korea Selatan, Australia, Singapura dan Kanada.

“Kenapa Indonesia? Karena
kita kayak  jadi destinasi kedua.
(Sampah) dari Amerika, kita (negara tujuan) nomor dua setelah India. Dari
Inggris, kita nomor dua setelah Malaysia. Kalau dari Australia, kita nomor dua
setelah Vietnam,” kata Prigi.

Pedang Nasional

Melalui video telekonferensi,
pendiri Bali Fokus Yuyun Ismawati menjelaskan sejak akhir 2017, China
menerapkan kebijakan baru untuk memperketat impor sampah plastik yang dikenal
dengan sebagai kebijakan “Pedang Nasional”.

Baca Juga :  Giliran Pengurus DPD Golkar Kalteng Bantah Sudah Ada Dukungan Pasti Ke

Hal ini membuat perdagangan
sampah, khususnya, sampah plastik, di seluruh dunia menjadi terguncang. Padahal
selama 1988-2016, China menyerap sekitar 45,1 persen sampah plastik dunia.

Tahun lalu saja ada 410 ribu ton
sampah plastik masuk ke Indonesia. Meskipun Indonesia mengaku hanya menerima
sampah plastik sebesar 324 ribu ton. “Jumlah sampah plastik yang diimpor
ke Indonesia 2018 jumlahnya meningkat pesat dua kali lipat dari tahun
sebelumnya. Ini adalah efek dari Cina, Malaysia, Filipina, Vietnam, tutup pintu
juga (terhadap impor) sampah plastik,” ujar Yuyun.

Studi Bank Dunia mendapati
komposisi sampah pada laut di Indonesia terdiri dari 21 persen popok sekali
pakai, 16 persen tas plastik kresek, 5 persen bungkus plastik, 4 persen kaca
dan logam, 1 persen botol plastik, 9 persen plastik lainnya, dan 44 persen
sampah organik.

Heran

Direktur Eksekutif Walhi Nur
Hidayati mengaku sangat heran karena menangani sampah hasil domestik saja
Indonesia belum bisa mampu, namun sudah nekad mengimpor sampah dari negara
lain. Dia juga menyoroti rumitnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
pengelolaan sampah. Nur tidak yakin aparat berwenang memahami peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan sampah, termasuk sampah impor.

Baca Juga :  Revitalisasi Pasar 4.0 Solusi Memutus Rantai Covid 19 Klaster Pasar Be

Dia menegaskan pencemaran atau
kerusakan lingkungan bukan delik aduan. Sebab itu, kalau terjadi pencemaran
atau kerusakan lingkungan, polisi harus mengusut tuntas tanpa menunggu aduan
dari masyarakat atau pihak tertentu.

Nur mendesak pemerintah untuk
segera memperketat regulasi mengenai pengelolaan sampah, termasuk sampah impor;
juga memperbaiki pengelolaan sampah sehingga dapat diolah kembali secara
ekonomis. Pemerintah daerah dan pusat, ujarnya, harus segera mengeluarkan
aturan untuk menghentikan produksi plastik kemasan sekali pakai.

Lingkungan Hidup

Kasus kolonialisme sampah yang
sedang melanda persada Nusantara abad XXI merupakan bukti bahwa kolonialisme
melalui jalur perdagangan memang hanya bisa berhasil apabila ada warga negara
korban kolonialisme berkenan berdagang dengan kaum kolonialisme.

Maka selama ada warga Indonesia
bersemangat menjadi importir sampah, dapat diyakini bahwa kolonialisme sampah
akan berjaya merajalela di persada Nusantara nan indah permai ini.

Syahwat bisnis memang sulit
dikendalikan selama yang dikejar adalah profit tanpa peduli dampak buruk
terhadap lingkungan hidup yang serta merta dengan sendirinya juga pasti
berdampak buruk terhadap manusia. ***

BANYAK yang tahu bahwa kolonialisme diawali lewat jalur
perdagangan. Namun belum banyak yang tahu bahwa kolonialisme di masa kini juga
masih ditempuh melalui jalur perdagangan namun dengan bentuk baru yaitu
perdagangan sampah.

Runner-up

Direktur Eksekutif Ecoton Prigi
Arisandi dalam jumpa pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
di Jakarta, Selasa 25 Juni 2019 mengharapkan Presiden Joko Widodo harus segera
menghentikan impor sampah karena sejak tahun 2015 Indonesia merupakan negara
juara kedua alias runner-up pencemar laut dunia setelah China.

Ditambahkannya, ada 43 negara
mengimpor sampahnya ke Jawa Timur, antara lain Amerika Serikat, Italia,
Inggris, Korea Selatan, Australia, Singapura dan Kanada.

“Kenapa Indonesia? Karena
kita kayak  jadi destinasi kedua.
(Sampah) dari Amerika, kita (negara tujuan) nomor dua setelah India. Dari
Inggris, kita nomor dua setelah Malaysia. Kalau dari Australia, kita nomor dua
setelah Vietnam,” kata Prigi.

Pedang Nasional

Melalui video telekonferensi,
pendiri Bali Fokus Yuyun Ismawati menjelaskan sejak akhir 2017, China
menerapkan kebijakan baru untuk memperketat impor sampah plastik yang dikenal
dengan sebagai kebijakan “Pedang Nasional”.

Baca Juga :  Giliran Pengurus DPD Golkar Kalteng Bantah Sudah Ada Dukungan Pasti Ke

Hal ini membuat perdagangan
sampah, khususnya, sampah plastik, di seluruh dunia menjadi terguncang. Padahal
selama 1988-2016, China menyerap sekitar 45,1 persen sampah plastik dunia.

Tahun lalu saja ada 410 ribu ton
sampah plastik masuk ke Indonesia. Meskipun Indonesia mengaku hanya menerima
sampah plastik sebesar 324 ribu ton. “Jumlah sampah plastik yang diimpor
ke Indonesia 2018 jumlahnya meningkat pesat dua kali lipat dari tahun
sebelumnya. Ini adalah efek dari Cina, Malaysia, Filipina, Vietnam, tutup pintu
juga (terhadap impor) sampah plastik,” ujar Yuyun.

Studi Bank Dunia mendapati
komposisi sampah pada laut di Indonesia terdiri dari 21 persen popok sekali
pakai, 16 persen tas plastik kresek, 5 persen bungkus plastik, 4 persen kaca
dan logam, 1 persen botol plastik, 9 persen plastik lainnya, dan 44 persen
sampah organik.

Heran

Direktur Eksekutif Walhi Nur
Hidayati mengaku sangat heran karena menangani sampah hasil domestik saja
Indonesia belum bisa mampu, namun sudah nekad mengimpor sampah dari negara
lain. Dia juga menyoroti rumitnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
pengelolaan sampah. Nur tidak yakin aparat berwenang memahami peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan sampah, termasuk sampah impor.

Baca Juga :  Revitalisasi Pasar 4.0 Solusi Memutus Rantai Covid 19 Klaster Pasar Be

Dia menegaskan pencemaran atau
kerusakan lingkungan bukan delik aduan. Sebab itu, kalau terjadi pencemaran
atau kerusakan lingkungan, polisi harus mengusut tuntas tanpa menunggu aduan
dari masyarakat atau pihak tertentu.

Nur mendesak pemerintah untuk
segera memperketat regulasi mengenai pengelolaan sampah, termasuk sampah impor;
juga memperbaiki pengelolaan sampah sehingga dapat diolah kembali secara
ekonomis. Pemerintah daerah dan pusat, ujarnya, harus segera mengeluarkan
aturan untuk menghentikan produksi plastik kemasan sekali pakai.

Lingkungan Hidup

Kasus kolonialisme sampah yang
sedang melanda persada Nusantara abad XXI merupakan bukti bahwa kolonialisme
melalui jalur perdagangan memang hanya bisa berhasil apabila ada warga negara
korban kolonialisme berkenan berdagang dengan kaum kolonialisme.

Maka selama ada warga Indonesia
bersemangat menjadi importir sampah, dapat diyakini bahwa kolonialisme sampah
akan berjaya merajalela di persada Nusantara nan indah permai ini.

Syahwat bisnis memang sulit
dikendalikan selama yang dikejar adalah profit tanpa peduli dampak buruk
terhadap lingkungan hidup yang serta merta dengan sendirinya juga pasti
berdampak buruk terhadap manusia. ***

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru