Site icon Prokalteng

Dosa DI’s Way

dosa-dis-way

“Ramai sekali. Meski pun
tidak sampai macet,” ujar teman saya di Ho Chi Minh City, Senin siang
kemarin.

Senin itu adalah hari pertama
Vietnam boleh bekerja kembali. Setelah lockdown tiga minggu.
Ya, hanya tiga minggu lockdown-nya.

Vietnam –Anda sudah tahu–
memang luar biasa. Dari 90 juta penduduknya hanya 270 orang yang terkena
Covid-19. Yang meninggal: 0. Penderita barunya: 0. Yang meninggal baru: 0.

Itu karena sejak awal Januari
Vietnam sudah siaga penuh. Asumsi pemerintahnya jelas: virus itu pasti akan
masuk Vietnam.

Wilayahnya berbatasan langsung
dengan Tiongkok. Banyak pula penerbangan antar dua negara –pun yang jalan
darat. Belum lagi begitu banyak industrial estate milik Tiongkok di Vietnam.

Teman saya itu bekerja di
perusahaan milik Belanda DI Vietnam. Selama lockdown tiga minggu
dia bekerja dari rumah.

Meski belum seratus persen,
ekonomi Vietnam sudah jalan lagi.

Di Wuhan –setelah lockdown 76
hari– Senin lalu juga sudah praktis normal 100 persen. Bukan saja tidak ada
lagi pasien baru. Pasien lama pun sudah 100 persen bisa pulang. Sabtu lalu
adalah pemulangan pasien terakhir: 12 orang.

Saya juga mendapat kiriman foto
malam minggu lalu: ibu-ibu sudah mulai menari-dansa lagi malam itu. Di pinggir
sungai. Sebagian pakai masker. Sebagian lagi tidak.

Melihat foto Wuhan yang sudah
ingar-bingar itu hampir saja saya emosi: kurang ajar Wuhan!

Yakni ketika saya membaca
artikel yang beredar luas di medsos. Yang mengungkapkan pendapat seorang
profesor ahli imunitas dari Jepang –yang juga pemenang hadiah Nobel.

Nama ahli itu: Prof. Dr. Tasuku
Honjo. Ia mengatakan –di medsos itu– pernah bekerja untuk laboratorium virus
kelelawar di Wuhan. Tapi belakangan kaget. Saat menghubungi para peneliti di
lab itu tidak ada yang menjawab. Mereka sudah meninggal semua di dalam lab.

Lalu otak saya jalan: kok media
utama dunia tidak ikut memberitakannya ya? Kan berita ini mestinya luar biasa
hebatnya.

Saya cek website Asahi Shinbun,
koran Tokyo paling bergengsi di Jepang. Saya cek pula Yomiuri Shinbun, koran
terbesar di sana. Sekaligus melepas kangen. Saya pernah ke kantor koran-koran
itu. Pernah pula ke lebih 20 koran daerah di Jepang –mulai dari Nagasaki
(paling Selatan), Fukuoka, Hiroshima, Nagoya sampai Hokkaido Shinbun dan
Kushiro Shinbun di paling utara.

Mereka juga tidak
memberitakannya.

Padahal yang bicara itu tokoh
ilmuwan kelas dunia asal Jepang. Pula pemenang hadiah Nobel ilmu kedokteran.

Medsos itu sangat luas
menyebarkannya: Prof Tasuku mengatakan Covid-19 itu bukan alamiah. Itu bikinan
orang. Kalau virus alamiah pasti hanya berjangkit di daerah dingin. Kok ini
sampai ke negara gurun sekali pun. Anggapan saya ia sangat kredibel untuk
bicara Covid-19. Yang bermula dari Wuhan itu.

Tapi justru Asahi Shinbun dan
lain-lain tadi tidak memberitakan.

Koran-koran utama Amerika juga
tidak memberitakan. Saya cari ke koran-koran di Inggris: juga nihil.

Akhirnya saya lega. Ketika
tulisan ini saya buat, saya menemukan ulasan soal itu di website yang
spesialisasinya mengecek kebenaran sebuah isu. Nama website itu: News Meter.
Dari Heyderabat, India.

Banyak negara sudah memiliki
website yang seperti News Meter. Ketika ini tulisan selesai saya buat, beberapa
media dalam negeri mulai membahasnya. Termasuk situs pengecekan fakta asal
Amerika Serikat, Snopes.

Kata News Meter: semua itu
hoax. Tidak benar sama sekali. Nama profesor itu benar adanya. Bahwa ia
pemenang hadiah Nobel.

Tapi sang profesor tidak pernah
bicara seperti itu. Bahkan tidak pernah bicara soal Wuhan.

Sewaktu membaca heboh di medsos
itu hampir saja saya terpeleset –mempercayainya. Saya kan pernah terpeleset
satu kali: waktu ada hoaks tentang Singapura. Yang isi hoaksnya: pendatang ke
Singapura langsung dites di bandara –bila positif, langsung dimasukkan RS atas
biaya sendiri.

Gara-gara harus lebih hati-hati
itu saya hampir tidak percaya ketika ada berita ini: ada 3.000 penderita baru
Covid-19 di Singapura. Hanya dalam dua hari.

Masak sih di Singapura, yang
manajemennya begitu hebat, terjadi pendadakan seperti itu.

Ternyata pendadakan itu benar
adanya. Singapura baru saja kecolongan: di barak-barak buruh kasar di sana.

Asrama buruh bangunan itu telah
jadi pusat penyebaran Covid-19.

Kecanggihan ilmu manajemen
seharusnya bisa mengantisipasinya. Berarti doktrin manajemen “analisis
persoalan potensial” tidak dijalankan.

Singapura mirip Magetan. Yang
sejak awal mestinya juga tahu: ada faktor persoalan potensial di sana. Yakni
Temboro.

Siapa pun tahu Desa Temboro
adalah salah satu pusat Jamaah Tabligh di Indonesia.

Tentu saya pernah ke Temboro.
Makan siang gayeng bersama kyai utama (sepuh) dan para ustaz di sana. Saya
memang selalu bangga pada Jamaah Tabligh –gerakan ini sangat damai dan mandiri.

Tapi kekompakan dan sifat
kekeluargaan kelompok ini kini menjadi titik lemahnya. Bukan mereka yang salah.
Tapi zaman memang sudah terbalik –seperti digambarkan dalam humor yang beredar
luas itu: bersatu kita runtuh!

Saya merasa ikut bersalah: kok tidak
mengingatkan itu ke Pemkab Magetan –agar diantisipasi. Padahal saya tahu Desa
Temboro itu selalu dipadati puluhan ribu manusia. Hampir sepanjang tahun. Silih
berganti. Dari berbagai wilayah Indonesia dan belahan dunia.

Padahal Magetan adalah kampung
saya. DI’s Way ikut berdosa: sudah terlalu menasional. Sudah lupa pada
kulitnya.

Maka statistik Covid-19 Magetan
pun tiba-tiba melejit. Nama Magetan menjadi begitu terkenal –untuk yang kurang
membanggakan.

Pun barak buruh kasar di
Singapura itu. Juga membuat statistik Covid-19 di sana tiba-tiba mengalahkan
Indonesia –memburuknya.

Penghuni barak itu umumnya
buruh bangunan dari Bangladesh dan India.

Kejadian di Singapura itu
membuat orang membandingkannya dengan Taiwan. Singapura kalah.

Taiwan juga memiliki ratusan
ribu buruh pabrik –dan pembantu rumah tangga. Terbanyak dari Indonesia dan
Vietnam. Tapi tetap terjaga: hanya satu yang terkena virus: yang dari Indonesia
–itu pun sudah sembuh. Ia tercatat sebagai penderita Covid ke-2 di Taiwan.

Tapi apakah Prof Tasuku
benar-benar tidak pernah berkomentar soal Covid?

Ternyata tidak juga. Ahli
imunitas itu pernah membuat pernyataan. Isinya: Covid-19 bermula di Tiongkok,
tapi Tiongkok akan yang pertama bisa mengatasinya. “Saya tidak bisa
mengatakan apakah itu akan membuat Tiongkok kian berpengaruh di dunia atau
dunia akan menjauhi Tiongkok,” katanya.

Pernyataan itu dibuat tanggal
10 April 2020. Dua minggu kemudian muncul satu akun twitter dengan nama
profesor itu. Tapi twitter itu hanya dua kali mengunggah isi –seolah pendapat
Prof Tasuku beneran.

“Saya tidak tahu apa
maksud akun twitter tersebut dibuat dengan nama saya,” ujarnya.

Untung ada News Meter.

Media klarifikasi ini menjadi
sangat terkenal. Yang menulis klarifikasi tadi adalah Amritha Mohan, reporter
di media itu. Ia seorang master jurnalistik dari Hyderabad University.

Saya pun menyarankan Imawan
Mashuri, teman saya yang kini memimpin sekolah tinggi kewartawanan di Surabaya.
Nama sekolah itu STIKOSA d/h Akademi Wartawan Surabaya. Agar jurusan
jurnalistiknya bisa mempunyai tim yang kuat untuk ‘news clearing house’ seperti
NewsMeter. Media sosial begitu bebas sekarang ini. Perlu lembaga pengecek
kebenaran semua isu yang menyesatkan.

Aneh juga: mengapa saya
menyarankan itu ke teman saya. Mengapa tidak saya sendiri yang melakukan.
Itulah dosa kedua DI’s Way: merasa tidak punya cukup daya untuk itu.

Tapi ini bukan soal sumber daya
saja. Memang akan lebih baik kalau mahasiswa jurusan jurnalistik yang
melakukannya. Sekalian belajar bagaimana filsafat jurnalistik jangan diabaikan:
adanya kebenaran di balik kebenaran.

Ya sudahlah.

Orang Wuhan sudah bisa
bersenang-senang kembali.

Teman saya di dekat Wuhan pun
kirim WeChat. Berikut fotonya. Ia lagi berada di lobi sebuah restoran yang
sangat besar. Bersama keluarganya. “Sudah tiga bulan kami tidak pernah
makan di restoran,” tulisnya.

Hemm… kalau saja dua bulan
lalu kita sudah lockdown, mungkin malam Minggu nanti kita
juga sudah bisa ke restoran.

Atau justru sudah ke
kuburan?(dahlan iskan)

Exit mobile version