33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Antara Rudiantara

Lihat dulu ”kelas”
kementeriannya. Lihat pula ”kelas” BUMN-nya. 

Dari Menteri Kominfo ke
Direktur Utama PLN harusnya tidak termasuk yang bisa disindir sebagai turun
pangkat. 

Bahkan naik ”kelas”.

PLN memang di bawah menteri.
Secara struktur. Demikian juga Pertamina. Tapi dirut dua BUMN tersebut bisa
dibilang tidak kalah kelas dengan menteri.

Banyak kementerian yang
anggaran jauh di bawah PLN atau Pertamina.

Kalau ke Tiongkok saya sering
diperkenalkan sebagai menteri kelistrikan.

”Saya bukan menteri,” sergah
saya. ”Saya ini hanya Dirut PLN”.

”Di sini kelas Dirut PLN
disebut menteri,” tukasnya.

Terserah saja.

Yang penting saya harus mulai
waspada. Mereka boleh pinter, kita tidak boleh bodoh.

Dirut PLN –dan Pertamina–
tidak jarang diundang ikut sidang kabinet –meski duduknya di barisan belakang.
Dan tidak boleh bicara kalau tidak diminta.

Saat bicara pun harus
pandai-pandai mengatur lidah: banyak atasan yang bisa terjepit di forum
itu. 

Ejekan bahwa dari Menteri
Kominfo ke Dirut PLN itu turun kelas pasti datang dari orang yang sangat
sadar-kelas.

Rudiantara tidak harus merasa
turun kelas. Harus merasa naik kelas. 

Memang ia kan Menteri
Komunikasi dan Informatika. Tapi kan mantan. Tentu ia harus mau ditugaskan
menjadi Dirut PLN.

Saya justru salut kepada orang
yang punya ide menempatkan mantan menteri itu ke Dirut PLN. Kok terpikir ya.

Memang sulit mencari dirut baru
PLN saat ini. Banyak yang hebat-hebat di dalam PLN. Tapi mungkin saja belum
dikenal oleh para pengambil putusan. 

Baca Juga :  UM Palangkaraya Bagikan Ratusan Paket Sembako, Masker, dan Hand Saniti

Dikenal itu penting. Untuk
diketahui akan bisa dipercaya atau tidak. Terutama kemampuan dan integritas
mereka.

Memilih dirut perusahaan
sekelas PLN memang juga harus mempertimbangkan iklim kerja di dalam.

Misalnya apakah ada kubu-kubuan
di dalamnya. Yang pro dirut lama dan yang kontra. Yang di tengah pun dianggap
kejepit: dianggap kubu yang lain lagi.

Para ahli di dalam PLN
dikhawatirkan sudah berada dalam salah satu kubu –biar pun sebenarnya tidak.

Itu bagian dari nasib.

Setidaknya Rudiantara tidak
terlibat perkubuan itu.

Memang ia pernah menjabat Wakil
Direktur Utama PLN. Tapi itu sudah 10 tahun lalu. Sebelum ada kubu-kubuan.

Memang ia bukan orang teknik.
Bukan elektro. Tapi sudah pernah menjadi wadirut lima tahun. Ia sudah sangat
paham masalah PLN –yang teknis sekali pun. Ia sudah ”orang dalam” PLN.

Di PLN Rudiantara banyak
menangani energi primer. Yakni yang menangani pengadaan solar, batu bara, gas,
dan sejenisnya. Di zaman ialah PLTGU Muara Tawar berubah total. Dari 100 persen
Solar ke 100 persen gas.

Itu berarti sebuah penghematan
sekitar Rp 3 triliun sendiri setahun.

Ia memang tidak termasuk yang
saya ajak di BOD. Padahal, saya menilai ia mampu. Beberapa staf juga
mengusulkannya. Tapi saya telanjur menghapus jabatan wadirut. Sedang untuk
menjadikannya direktur saya merasa tidak sopan: menurunkan jabatannya.

Baca Juga :  Rektor UPR Dukung Terbentuknya Lewu Isen Mulang

Saya benar-benar salut pada
pengambil keputusan ini. Kok terpikir nama Rudiantara. Kok bisa merayunya agar
mau untuk turun pangkat.

Pemilihan Rudiantara bisa
menghindarkan PLN dari persoalan tarik-menarik.

Sesekali alumni Universitas
Padjadjaran Bandung menjabat Dirut PLN. Memang bukan dari fakultas tekniknya,
tapi dari jurusan statistik. Tidak terlalu jauh. Pasti lebih baik dari sekadar
lulusan pesantren seperti saya.

Apalagi Rudiantara pernah
menjadi Wadirut Semen Gresik. Pernah juga jadi CEO banyak perusahaan besar.

Naluri bisnis Rudiantara sangat
baik. Keahliannya di bidang keuangan juga istimewa.

Kedisiplinan salat lima
waktunya jangan ditanya. 

Di PLN itu titik beratnya
”hanya” pada leadership. Ahli-ahlinya luar biasa banyak.
Yang lebih berat adalah masalah politiknya. Saya bisa bercerita banyak soal
ini.

Terlalu banyak proyek di PLN.
Terlalu besar-besar nilai proyeknya. Anggaran di PLN jauh lebih besar dari
kementerian Kominfo. Dari segi anggaran Rudiantara jelas naik pangkat.

Saya yang justru pernah turun
pangkat. Saat dipindahkan dari jabatan Dirut PLN menjadi Menteri BUMN.

Turun pangkat?

Benar.

Dirut PLN gajinya Rp 170
juta/bulan.

Menteri BUMN gajinya Rp 19
juta/bulan.

Untung penurunan itu tidak
terasa –saya tidak pernah melihat keduanya.

Dari segi ini, siapa bilang Pak
Rudiantara turun pangkat.(dahlan iskan)

 

Lihat dulu ”kelas”
kementeriannya. Lihat pula ”kelas” BUMN-nya. 

Dari Menteri Kominfo ke
Direktur Utama PLN harusnya tidak termasuk yang bisa disindir sebagai turun
pangkat. 

Bahkan naik ”kelas”.

PLN memang di bawah menteri.
Secara struktur. Demikian juga Pertamina. Tapi dirut dua BUMN tersebut bisa
dibilang tidak kalah kelas dengan menteri.

Banyak kementerian yang
anggaran jauh di bawah PLN atau Pertamina.

Kalau ke Tiongkok saya sering
diperkenalkan sebagai menteri kelistrikan.

”Saya bukan menteri,” sergah
saya. ”Saya ini hanya Dirut PLN”.

”Di sini kelas Dirut PLN
disebut menteri,” tukasnya.

Terserah saja.

Yang penting saya harus mulai
waspada. Mereka boleh pinter, kita tidak boleh bodoh.

Dirut PLN –dan Pertamina–
tidak jarang diundang ikut sidang kabinet –meski duduknya di barisan belakang.
Dan tidak boleh bicara kalau tidak diminta.

Saat bicara pun harus
pandai-pandai mengatur lidah: banyak atasan yang bisa terjepit di forum
itu. 

Ejekan bahwa dari Menteri
Kominfo ke Dirut PLN itu turun kelas pasti datang dari orang yang sangat
sadar-kelas.

Rudiantara tidak harus merasa
turun kelas. Harus merasa naik kelas. 

Memang ia kan Menteri
Komunikasi dan Informatika. Tapi kan mantan. Tentu ia harus mau ditugaskan
menjadi Dirut PLN.

Saya justru salut kepada orang
yang punya ide menempatkan mantan menteri itu ke Dirut PLN. Kok terpikir ya.

Memang sulit mencari dirut baru
PLN saat ini. Banyak yang hebat-hebat di dalam PLN. Tapi mungkin saja belum
dikenal oleh para pengambil putusan. 

Baca Juga :  UM Palangkaraya Bagikan Ratusan Paket Sembako, Masker, dan Hand Saniti

Dikenal itu penting. Untuk
diketahui akan bisa dipercaya atau tidak. Terutama kemampuan dan integritas
mereka.

Memilih dirut perusahaan
sekelas PLN memang juga harus mempertimbangkan iklim kerja di dalam.

Misalnya apakah ada kubu-kubuan
di dalamnya. Yang pro dirut lama dan yang kontra. Yang di tengah pun dianggap
kejepit: dianggap kubu yang lain lagi.

Para ahli di dalam PLN
dikhawatirkan sudah berada dalam salah satu kubu –biar pun sebenarnya tidak.

Itu bagian dari nasib.

Setidaknya Rudiantara tidak
terlibat perkubuan itu.

Memang ia pernah menjabat Wakil
Direktur Utama PLN. Tapi itu sudah 10 tahun lalu. Sebelum ada kubu-kubuan.

Memang ia bukan orang teknik.
Bukan elektro. Tapi sudah pernah menjadi wadirut lima tahun. Ia sudah sangat
paham masalah PLN –yang teknis sekali pun. Ia sudah ”orang dalam” PLN.

Di PLN Rudiantara banyak
menangani energi primer. Yakni yang menangani pengadaan solar, batu bara, gas,
dan sejenisnya. Di zaman ialah PLTGU Muara Tawar berubah total. Dari 100 persen
Solar ke 100 persen gas.

Itu berarti sebuah penghematan
sekitar Rp 3 triliun sendiri setahun.

Ia memang tidak termasuk yang
saya ajak di BOD. Padahal, saya menilai ia mampu. Beberapa staf juga
mengusulkannya. Tapi saya telanjur menghapus jabatan wadirut. Sedang untuk
menjadikannya direktur saya merasa tidak sopan: menurunkan jabatannya.

Baca Juga :  Rektor UPR Dukung Terbentuknya Lewu Isen Mulang

Saya benar-benar salut pada
pengambil keputusan ini. Kok terpikir nama Rudiantara. Kok bisa merayunya agar
mau untuk turun pangkat.

Pemilihan Rudiantara bisa
menghindarkan PLN dari persoalan tarik-menarik.

Sesekali alumni Universitas
Padjadjaran Bandung menjabat Dirut PLN. Memang bukan dari fakultas tekniknya,
tapi dari jurusan statistik. Tidak terlalu jauh. Pasti lebih baik dari sekadar
lulusan pesantren seperti saya.

Apalagi Rudiantara pernah
menjadi Wadirut Semen Gresik. Pernah juga jadi CEO banyak perusahaan besar.

Naluri bisnis Rudiantara sangat
baik. Keahliannya di bidang keuangan juga istimewa.

Kedisiplinan salat lima
waktunya jangan ditanya. 

Di PLN itu titik beratnya
”hanya” pada leadership. Ahli-ahlinya luar biasa banyak.
Yang lebih berat adalah masalah politiknya. Saya bisa bercerita banyak soal
ini.

Terlalu banyak proyek di PLN.
Terlalu besar-besar nilai proyeknya. Anggaran di PLN jauh lebih besar dari
kementerian Kominfo. Dari segi anggaran Rudiantara jelas naik pangkat.

Saya yang justru pernah turun
pangkat. Saat dipindahkan dari jabatan Dirut PLN menjadi Menteri BUMN.

Turun pangkat?

Benar.

Dirut PLN gajinya Rp 170
juta/bulan.

Menteri BUMN gajinya Rp 19
juta/bulan.

Untung penurunan itu tidak
terasa –saya tidak pernah melihat keduanya.

Dari segi ini, siapa bilang Pak
Rudiantara turun pangkat.(dahlan iskan)

 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru