Sayang, olahraga saya bukan
yoga. Tapi saya salut pada yoga. Guru yoga adalah salah satu yang paling cepat move
on –di tengah pandemi Covid-19 ini.
Begitu banyak guru yoga yang
membuka kelas online. Sekarang ini. Kompak pula. Kalau ada
yang membuka online gratis langsung
“diserbu”: mengapa gratis. “Itu sama dengan membunuh profesi
guru yoga,” cuit sesama mereka. Ada pula serangan yang lebih brutal: takut
gak laku ya?
Maka beberapa yang semula
gratis mulai ada yang membuat pengumuman: mulai 1 Mei depan berbayar.
Yang gratis-gratis itu umumnya
mengajar lewat instagram. Satu arah. Murid bisa melihat guru, tapi guru tidak
bisa melihat murid.
“Kalau saya pilih pakai
Zoom,” ujar salah satu guru yoga Surabaya, Robert Chris Lee.
Semula Robert tidak tahu apa
itu Zoom. Bahkan tidak tahu harus berbuat apa –ketika murid-muridnya tidak ada
lagi yang mau datang ke tempat yoga.
Robert sudah pernah merayu agar
mereka tetap yoga. Tapi semua takut terkena Covid-19. Maka Robert memilih libur
mengajar.
Padahal menjadi guru yoga
adalah satu-satunya sumber pendapatannya. Seorang muridnya pernah mengatakan
pada saya: kasihan Robert. Ia tidak punya penghasilan lagi.
“Bagaimana
riwayatnya sampai Anda terpikir mengajar secara online?” tanya saya lewat
online.
“Ada seorang klien saya
yang meminta saya membuka kelas online,” jawabnya.
“Dialah yang mengajari saya apa itu Zoom. Lalu bagaimana
mengoperasikannya,” tambah Robert.
“Klien
Anda baik hati ya?” kata saya.
“Ia kan juga kangen lama
tidak yoga,” jawab Robert.
“Kangen
atau hanya kasihan Anda?” tanya saya dengan nada agak mengejek.
“Hehe saya kira
dua-duanya,” jawabnya.
Klien Robert memang banyak
orang kaya. Itulah sebabnya ia tidak mau menyebut mereka murid. Tempat yoganya
pun di kawasan perumahan paling mahal di Surabaya: Graha Famili –yang ada
golfnya.
Dengan menggunakan Zoom guru
yoga bisa melihat muridnya –eh, kliennya. Termasuk bisa membetulkan gerakan
mereka yang salah.
Karena itu Robert membatasi kelas online itu. Hanya 12
orang. Tiap satu sesi.
“Setengah private,”
kata Robert.
Untuk itu Robert mengenakan
tarif Rp 35.000 per orang. Satu jam di online.
Kalau dikalikan 12 hasilnya
lebih kecil dibanding mengajar gaya lama: Rp 800.000 sekali hadir.
Tapi angka itu tetap lumayan
–daripada menganggur. Apalagi ia masih bisa membuka kelas-kelas online berikutnya.
Di jam jam yang berbeda, pun di hari yang lain.
Wahai para guru yoga! Saya
salut pada kalian. Kalian adalah golongan yang cepat move on.
Sebenarnya saya ingin menulis
kalian semua. Satu persatu. Tapi biarlah Robert mewakili kalian. Kebetulan satu
kota dengan saya.
“Anda
sempat libur berapa lama? “
“Sepuluh hari, pak. Sejak
tanggal 19 Maret,” jawab Robert. “Pertama mengajar di online 29
Maret,” tambahnya.
“Sebelum
online berapa murid Anda?”
“Yang di Roca, Graha Famili 60
orang. Yang di Gold Gym, Grand City 25 orang.”
“Sudah
berapa tahun jadi guru yoga? Pertama di mana?”
“Sejak tahun 2014. Pertama
di Surabaya.”
“Anda
lahir di mana?”
“Di Surabaya, pak. Saya
arek Suroboyo. Orang tua di Wonorejo, Pasar Kembang.”
“Sejak
kapan mengenal yoga? Umur berapa?”
“Sejak tahun 2012. Saat
itu umur saya 28 tahun.”
“Siapa
guru yoga Anda?”
“Mr. Shanker, pak”.
“Wow,
orang bule.”
“India, pak.”
“Kenal
di mana?“
“Di gym, pak. Saya dulu
giat di gym. Bayar bulanan. Agar tidak rugi saya ikuti semua kelas yang ada.
Termasuk kelas yoga.”
“Berapa
lama belajar di India?”
“Lho, Mr. Shanker itu di
Surabaya pak. Di gym tadi.”
“Bagaimana
riwayatnya Anda bisa jadi guru yoga?”
“Teman saya kan guru yoga.
Saya jadi asistennya. Waktu ia ke luar negeri saya diminta
menggantikannya.”
“Sekarang
masih berteman dengan ia?”
“Masih, pak.”
“Jangan-jangan
sekarang ia yang jadi asisten Anda….”
“Gantian pak… Saling
membantu.”
“Siapa
yang sekarang tarifnya lebih mahal?“
“Hahaha sama-sama,
pak.”
“Apakah
satu jam Rp 700.000 itu sudah yang termahal di Surabaya?”
“Masih ada yang lebih
mahal, pak.”
“Sekarang,
via online ini, seminggu mengajar berapa kali?”
“Sementara Senin, Rabu,
Jumat dulu, pak.”
“Sudah
sibuk sekali, ya…”.
“Sibuk dulu, pak. Sehari
saya bisa mengajar dari jam 5 pagi sampai 9 malam. Tiap hari.”
“Kenapa
di online Anda batasi 12 orang?”
“Agar saya bisa
memperhatikan postur tubuh mereka, pak. Saya bisa membetulkan gerak
mereka.”
“Berarti
Anda bisa melihat satu persatu semua murid Anda…”
“Tidak juga, pak. Ada yang
tidak mau meng ‘on’ kan kamera. Malu, katanya.”
“Waktu
mulai punya uang, Anda beli rumah dulu atau mobil dulu?”
“Mobil dulu, pak.”
“Hah…?”
“Mobilitas saya tinggi
pak. Saya pernah naik motor. Tapi sekarang mobil.”
“Karena
klien Anda orang-orang kaya?”
“Tidak juga, pak. Saya
harus banyak bawa peralatan. Matras, tali-tali, block dll. Juga
supaya tidak kehujanan.”
“Apakah
Anda terus memperbarui ilmu yoga?”
“Iya, pak. Setahun sekali
saya ikut workshop.”
“Di
mana…?”
“Di Malaysia, pak.”
“Kenapa
Malaysia?”
“Sudah nyaman dengan
gurunya. Sudah seperti keluarga.”
“Di
Surabaya ini ada berapa guru yoga?”
“Banyak sekali, pak.”
“100
orang?”
“Ratusan, pak.”
“200?”
“Kurang lebih.”
“Sampai
umur berapa akan terus menjadi guru yoga?”
“Sampai saya masih
diperlukan.”
“Apakah
dengan bertambahnya umur seseorang kelenturan badannya berkurang?”
“Tidak, pak. Sepanjang terus latihan.”
“Saya
sering semedi, tapi belum pernah yoga. Yoga itu lebih ke olahraga atau olah
jiwa?”
“Samadhi yang lebih ke
jiwa. Yoga itu untuk kelenturan dan kekuatan tubuh. Pose-pose yoga itu
alat/tool untuk menuju samadhi.”
“Oh….
Jadi…”
“Jadi di yoga itu,
istilahnya, ada 9 limbs of yoga.”
“Maafkan…
Saya tidak mengerti…”
“Yama
(abstinences), niyama (observances), asana (yoga postures), pranayama
(breath control), pratyahara (withdrawal of the senses), dharana
(concentration), dhyana (meditation) dan samadhi (absorption).”
“Saya
pusing….Itu dilakukan dalam satu sesi yoga?”
“Samadhi itu tujuan akhir
yoga. Menuju samadhi itu tidak mudah. Kebanyakan, yang dilakukan, hanya sampai
asana (pose/gerakan) saja.”
“Oh….”
“Kebanyakan hanya sampai
keringetan saja. Hehehe…”
“Pertanyaan
terakhir: apakah Anda merasa diri Anda sedikit kewanita-wanitaan?”
“Tidak, pak”.
“Maafkan.
Terima kasih.”
“Sama-sama, pak”.
“Kapan
punya studio sendiri?”
“Sekarang belum ada
rencana, pak. Untuk punya studio sendiri tidak mudah.”
“Orang
tua kerja apa?”
“Pensiunan karyawan swasta
pak.”
“è°¢è°¢ä½ . ä¿é‡“.
“ä¸å®¢æ°”".
“Lho,
Anda bisa bahasa Mandarin?”
“Tidak, pak.”
“Kok
bisa menjawab dalam bahasa Mandarin?”
“Dibantu teman di sebelah
pak.”
Hahaha. Tidak bisa bahasa apa
pun tidak apa-apa. Yang penting bisa move on.(Dahlan Iskan)