JOKOWI, Megawati, dan Prabowo adalah pemain politik. Tapi, mereka
tidak hanya bertiga. Ada Susilo Bambang Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, Surya
Paloh, Airlangga Hartarto, dan lain-lain. Hanya Jokowi yang bukan ketua umum,
bukan pula petinggi partai politik.
Tapi, dialah presiden Republik
Indonesia dan presiden terpilih untuk periode kedua. Sederhana? Tidak.
Politik tidak sesederhana bertemu
di Stasiun MRT Lebak Bulus, bertukar gurauan di atas kereta yang melaju, lalu
bersantap bersama di Sate Senayan. Tak bisa sekadar dikaitkan juga dengan
perkeliran wayang kulit pada dinding di mana politisi berlatar, walaupun
punakawan syahdan sarat pesan. Pilihan motif batik di tubuh para pembesar juga
tak selamanya bisa dijadikan patokan analisis.
Surya Paloh yang mengundang Anies
Baswedan lantas membuka peluang mendukung gubernur Jakarta itu untuk Pemilu
2024, layak diduga sedang memainkan kosmetika politik. Tidak lebih, tidak
kurang. Sebab, sebagian dari tradisi politik adalah merias wajah sebelum
berangkat ke pesta demokrasi. Resepsi masih lama, lima tahun lagi. Aneka
kosmetik sudah dijajal sejak mula, sejak hari-hari ini.
Nasi goreng Megawati juga hanya
gimmick. Tak akan bisa dijadikan pegangan untuk satu-dua bulan ke depan.
Bahkan, sesuatu yang sudah paten pun masih mudah dicabut lagi lantaran tak
pernah ada yang benar-benar pakem dalam politik.
Tak ada musuh abadi, tak ada
kawan sejati. Semua pemain. Tanpa kecuali. Jadi, meski banyak analisis yang
beredar, jangan mengambil kesimpulan terlalu pagi.
Jika pun pernyataan selamat dari
Prabowo atas kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019 tidak memadamkan ketegangan,
tapi justru memantik ketegangan berikutnya, kita perlu menyadari itu sebagai
bagian tidak terpisahkan dari kehidupan berpolitik. Sebagian pakar menyebutnya
dinamika. Entah bagaimana bisa dinamis jika tidak harmonis. Entah pula
bagaimana politik yang harmonis itu.
Mengundang Rich Brian ke Istana
Bogor setelah menyatakan bahwa kabinetnya akan berisi anak-anak muda tak
menjadikan Jokowi lebih mudah berkompromi dengan para ketua umum partai politik
koalisi. Jika masih harus ditambah dengan pertemuan-pertemuan dengan para ketua
umum partai oposisi yang sudah bersalin kemeja politik untuk ke pesta
berikutnya, lebih berat lagi.
Periode ini Jokowi tidak akan
benar-benar tanpa beban. Dia justru memikul beban baru, yaitu bagaimana
meninggalkan warisan penting bagi bangsa dan negara. Beban itu tidak semuanya
benar-benar baru. Sejumlah dugaan pelanggaran hak asasi manusia pun menjadi
beban-beban di pundak Jokowi. Dia tetap harus menempatkan itu dalam prioritas
kerja saat masih harus berkompromi politik.
Padahal, persoalan tidak hanya
muncul dari partai politik; baik dari koalisi yang menagih janji maupun oposisi
yang tiba-tiba bermanis bibir. Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar di
Indonesia, yang niscaya memberikan suara terbanyak bagi kemenangan Jokowi,
takkan bergenit-genit ria di atas panggung politik. Tapi, diamnya para kiai pun
merupakan suara nan lantang yang pasti sampai kepada Jokowi.
Wajah Indonesia dalam lima tahun
ke depan kepemimpinan periode kedua Jokowi tidak cukup hanya dirias dengan
susunan kabinet yang didominasi jiwa muda dan peremajaan wilayah dengan
pembangunan infrastruktur. Tapi juga dengan menanam kembali pohon keyakinan
bahwa Indonesia adalah negara bangsa, bukan negara agama. Karena itulah,
kebudayaan harus mendapat suara.
Jangan melulu wacana politik yang
didengar, apalagi jika itu politik bagi-bagi kekuasaan. Juga jangan tentang
bagaimana membalas budi kepada koalisi, atau soal bagaimana baik hati kepada
oposisi, yang dibicarakan. Sambil nyate boleh, sambil menyantap nasi goreng pun
boleh, mulailah menyinggung tentang bagaimana bersama-sama menanggulangi
bencana kemanusiaan yang bernama politik. (*)
(Penulis adalah budayawan)