31.5 C
Jakarta
Saturday, April 12, 2025

Tahun Duka

Ini memang Natal yang mendung
bagi Jiwasraya –tapi lebih gelap lagi bagi CEO Boeing.

Dennis Muilenburg harus berhenti.
Selasa lalu. Itu hanya sebulan setelah ia dihajar Senat Amerika.

Ia dinilai hanya bisa memproduksi
peti mati.

Yang menilai adalah anggota Senat
Amerika. Muilenburg memang dipanggil Senat hari itu.

Janji sang CEO memang meleset.

Pesawat Boeing 737 MAX 8 ternyata
belum juga bisa terbang kembali. Pun sampai tutup tahun ini.

Berarti sudah hampir setahun
Boeing 737 MAX 8 dilarang terbang. Di seluruh dunia.

Bayangkan: pesawat baru sebanyak
387 menganggur di berbagai negara.

Bisa beli satu pesawat saja
susah. Ini ada 387 pesawat dianggurkan. Betapa rugi perusahaan yang telah
membelinya.

Untung Garuda hanya punya satu.
Sisa pesanannya yang 49 sudah dibatalkan. Atau akan ditukar dengan pesawat
jenis baru.

Pembeli terbanyak MAX 8 adalah
South West (USA), American Airlines (USA) dan China Southern (Guangzhou).

Tapi lebih banyak lagi adalah
yang ada di pabrik Boeing. Di dekat Seattle.

Jenis pesawat ini memang masih
terus diproduksi. Asumsi Boeing: bencana itu tidak akan lama. Sebelum triwulan
keempat 2019 semua urusan sudah akan beres.

Bahkan, waktu itu, lebih
optimistis lagi. Problem MAX 8 akan bisa diatasi dalam hitungan minggu. Boeing
adalah perusahaan besar. Orang-orang hebat ada di sana.

Minggu yang ditunggu tidak
datang-datang. Ganti menunggu bulan. Pun si bulan ternyata juga tidak bisa
datang.

Padahal pemesan jenis pesawat ini
sudah mencapai 4.900 lebih. Larisnya bukan main. Yang terkirim saja sudah
begitu banyak. Karena itu produksi jalan terus. Pun tanpa ada yang pernah
dikirim.

Sang CEO juga punya kiat lain
–dalam upaya memulihkan kepercayaan. Yakni meluncurkan seri baru MAX: Boeing
737 MAX 10.

Garuda diberitakan sudah
tertarik. Menukar sisa pesanan dengan MAX 10. Yang bisa terbang 3 jam lebih
jauh dari MAX 8.

Tapi upaya meluncurkan MAX 10 ini
terasa setengah-setengah. Seperti kurang percaya diri.

Peluncuran jenis baru itu
dilakukan –tumben– secara sederhana. Tidak dalam suasana wow.
Tidak pula mengundang calon-calon pembeli.

Pun media masa.

Peluncurannya hanya dilakukan di
depan karyawan sendiri. Kecil-kecilan. Media hanya tahu dari siaran pers yang
dikeluarkan Boeing. Itu pun pendek saja. Dengan hanya menyertakan satu foto.
Yakni foto peluncuran itu.

Kapan FAA mengizinkan Boeing 737
MAX 8 terbang?

Baca Juga :  PSKH, Pelayanan Pajak Tetap Normal

“Kami tidak bisa menetapkan waktunya.
Keselamatan adalah yang utama,” begitu keterangan resmi badan otoritas
penerbangan Amerika itu.

Dengan sikap FAA seperti itu
Boeing akhirnya bikin keputusan. Minggu lalu. Bahwa mulai Januari depan jenis
pesawat itu tidak diproduksi lagi.

Sang CEO lantas meletakkan
jabatan.

Belum ada penjelasan akan
diapakan yang sudah telanjur jadi. Atau yang sudah dikirim itu.

Itulah hasil puncak persaingan
pasar bebas. Antara Boeing Amerika dan Airbus Perancis.

Selama ini Boeing-lah
pemenangnya.

B 737 adalah gacoan Boeing. B 737
ibarat gadis cantik yang seksi.

B 737 hampir selalu sukses. Sejak
seri 200.

Kian sukses lagi di seri 300.

Disusul sukses berikutnya: seri
800. Yang ujung sayapnya melengkung ke atas itu.

Lalu seri 900. Yang banyak dibeli
Lion Air itu.

Boeing masih terus sukses di seri
berikutnya: 900NG (Next Generation). Lion juga punya banyak seri ini.

Yang kurang sukses hanya seri 400
yang agak besar dan seri 500 yang agak pendek.

Pokoknya, untuk pesawat ukuran 3
kursi di barisan kiri dan 3 kursi di barisan kanan Boeing 737 adalah rajanya.

Jenis pesawat ini begitu
efisiennya. Kapasitasnya dianggap paling ideal: sekitar 190 penumpang. Jarak
tempuhnya bisa lebih 3.000 km.

Pesawat yang lebih kecil dari ini
lama-lama hilang. Seperti Fokker 28 sampai Fokker 100. Bahkan Bombardier
regional juga gagal.

Jenis pesawat yang ukurannya
sedikit lebih besar dari itu juga dimakan B 737. Termasuk memakan produk Boeing
sendiri. Seperti 757 dan 767.

Kalau mau menghindari bersaing
dengan B 737 sekalian yang besar. Seperti Boeing 777. Yang juga sukses besar.
Yang juga memakan pasar ukuran yang lebih besar –seperti Boeing 747. Bahkan
Airbus yang bikin sejarah dengan A 380 tidak tahan. Airbus sudah memutuskan
untuk menghentikan produksi A 380 –yang amat saya banggakan itu.

Boleh dikata Airbus kalah di
semua segmen. Boeing-lah raja dunia.

Kuncinya adalah efisiensi.
Terutama dalam penggunaan bahan bakar. Di era BBM mahal, energi adalah tuhan di
segala bisnis.

Ternyata, pun raja bukan tidak
bisa kalah.

Akhirnya Airbus menemukan cara
menghemat BBM itu. Lebih hemat dari B 737 seri apa pun.

Desain baru itu dirahasiakan
total. Sambil dikerjakan. Intelijen Boeing kecolongan.

Atau ini hukum alam biasa saja.

Sang Raja overconfident. Merasa
tidak akan ada lagi yang lebih hebat.

Baca Juga :  Soal Dugaan Minta Uang Untuk Tebus KTP, Ini Klarifikasi Lurah Menteng

Ternyata yang kalah tidak
selamanya kalah. Awan hitam tidak akan berada di satu tempat terus menerus.

Desain baru Airbus akan bisa
mengalahkan B 737. Bahan bakarnya akan lebih irit sampai 20 persen.

Bukan main.

Itulah jenis pesawat yang disebut
A 320 Neo. Yang Garuda memesan dua buah. Salah satunya sudah jadi. Ketika
dikirim ke Jakarta dipakai angkut sepeda Brompton dan Harley Davidson itu.

A 320 Neo ini larisnya bukan
main.

Boeing merasa kecolongan.

Untuk menghadang Neo tidak mudah.
Harus membuat desain baru. Itu butuh waktu tahunan. Keburu Airbus menggerus
pasar Boeing.

Kunci rahasia Airbus pun
diketahui: mesin jetnya dibuat agak besar. Konsekuensinya tempat mesin harus
agak lebih tinggi. Agar tidak terlalu dekat dengan tanah.

Penempatan mesin seperti itu
memerlukan desain yang khusus. Agar hukum COG terpenuhi —center of gravity.

COG adalah iman bagi para ahli
pesawat. Mengabaikan COG sama dengan tidak beriman.

Dan itu yang terjadi di Boeing:
mengabaikan COG.

Posisi mesin B 737 MAX 8 dibuat
agak tinggi. Juga agak menonjol ke depan.

Penempatan seperti itu, menurut
rukun iman COG, dianggap musyrik. Akibatnya pesawat akan cenderung terdorong ke
atas.

Tapi Boeing sangat percaya diri.
Kecenderungan membumbung itu bisa diatasi dengan komputer. Diciptakanlah software khusus.
Untuk mengendalikan pesawat. Software itu disebut Maneuvering
Characteristics Augmentation System
 (MCAS).

Maka…

Terjadilah kecelakaan Lion Air di
Laut Jawa. Oktober tahun lalu. Lalu kecelakaan lagi di Ethiopian Airlines. Lima
bulan kemudian.

Total 346 orang meninggal dunia.

Bagaimana bisa FAA meloloskan
B737 MAX 8?

FAA memang punya aturan baru.
Untuk menghemat anggaran. Terutama sejak pemerintah pusat memotong anggaran
FAA.

Aturan baru itu menyebutkan
perusahaan seperti Boeing boleh melakukan sertifikasi sendiri. Khusus untuk
suatu perubahan kecil.

Menurut Boeing, B737 MAX 8 adalah
Boeing 737 NG yang sedikit diubah. Boeing 737 NG sudah mendapat sertifikat laik
terbang. Perubahan kecilnya tidak perlu dimintakan sertifikat ke FAA.

Mengubah posisi mesin dianggap
perubahan kecil. Pun memgintroduksi software MCAS.

Padahal, menurut ahli rancang
pesawat, itu sudah menyangkut keimanan pesawat. Sudah kategori musyrik COG.

Atau mungkin sayalah yang salah
menafsirkan bacaan. Maklum saya hanya kategori hobi naik pesawat. Bukan ahli
membuatnya.(Dahlan Iskan)

Ini memang Natal yang mendung
bagi Jiwasraya –tapi lebih gelap lagi bagi CEO Boeing.

Dennis Muilenburg harus berhenti.
Selasa lalu. Itu hanya sebulan setelah ia dihajar Senat Amerika.

Ia dinilai hanya bisa memproduksi
peti mati.

Yang menilai adalah anggota Senat
Amerika. Muilenburg memang dipanggil Senat hari itu.

Janji sang CEO memang meleset.

Pesawat Boeing 737 MAX 8 ternyata
belum juga bisa terbang kembali. Pun sampai tutup tahun ini.

Berarti sudah hampir setahun
Boeing 737 MAX 8 dilarang terbang. Di seluruh dunia.

Bayangkan: pesawat baru sebanyak
387 menganggur di berbagai negara.

Bisa beli satu pesawat saja
susah. Ini ada 387 pesawat dianggurkan. Betapa rugi perusahaan yang telah
membelinya.

Untung Garuda hanya punya satu.
Sisa pesanannya yang 49 sudah dibatalkan. Atau akan ditukar dengan pesawat
jenis baru.

Pembeli terbanyak MAX 8 adalah
South West (USA), American Airlines (USA) dan China Southern (Guangzhou).

Tapi lebih banyak lagi adalah
yang ada di pabrik Boeing. Di dekat Seattle.

Jenis pesawat ini memang masih
terus diproduksi. Asumsi Boeing: bencana itu tidak akan lama. Sebelum triwulan
keempat 2019 semua urusan sudah akan beres.

Bahkan, waktu itu, lebih
optimistis lagi. Problem MAX 8 akan bisa diatasi dalam hitungan minggu. Boeing
adalah perusahaan besar. Orang-orang hebat ada di sana.

Minggu yang ditunggu tidak
datang-datang. Ganti menunggu bulan. Pun si bulan ternyata juga tidak bisa
datang.

Padahal pemesan jenis pesawat ini
sudah mencapai 4.900 lebih. Larisnya bukan main. Yang terkirim saja sudah
begitu banyak. Karena itu produksi jalan terus. Pun tanpa ada yang pernah
dikirim.

Sang CEO juga punya kiat lain
–dalam upaya memulihkan kepercayaan. Yakni meluncurkan seri baru MAX: Boeing
737 MAX 10.

Garuda diberitakan sudah
tertarik. Menukar sisa pesanan dengan MAX 10. Yang bisa terbang 3 jam lebih
jauh dari MAX 8.

Tapi upaya meluncurkan MAX 10 ini
terasa setengah-setengah. Seperti kurang percaya diri.

Peluncuran jenis baru itu
dilakukan –tumben– secara sederhana. Tidak dalam suasana wow.
Tidak pula mengundang calon-calon pembeli.

Pun media masa.

Peluncurannya hanya dilakukan di
depan karyawan sendiri. Kecil-kecilan. Media hanya tahu dari siaran pers yang
dikeluarkan Boeing. Itu pun pendek saja. Dengan hanya menyertakan satu foto.
Yakni foto peluncuran itu.

Kapan FAA mengizinkan Boeing 737
MAX 8 terbang?

Baca Juga :  PSKH, Pelayanan Pajak Tetap Normal

“Kami tidak bisa menetapkan waktunya.
Keselamatan adalah yang utama,” begitu keterangan resmi badan otoritas
penerbangan Amerika itu.

Dengan sikap FAA seperti itu
Boeing akhirnya bikin keputusan. Minggu lalu. Bahwa mulai Januari depan jenis
pesawat itu tidak diproduksi lagi.

Sang CEO lantas meletakkan
jabatan.

Belum ada penjelasan akan
diapakan yang sudah telanjur jadi. Atau yang sudah dikirim itu.

Itulah hasil puncak persaingan
pasar bebas. Antara Boeing Amerika dan Airbus Perancis.

Selama ini Boeing-lah
pemenangnya.

B 737 adalah gacoan Boeing. B 737
ibarat gadis cantik yang seksi.

B 737 hampir selalu sukses. Sejak
seri 200.

Kian sukses lagi di seri 300.

Disusul sukses berikutnya: seri
800. Yang ujung sayapnya melengkung ke atas itu.

Lalu seri 900. Yang banyak dibeli
Lion Air itu.

Boeing masih terus sukses di seri
berikutnya: 900NG (Next Generation). Lion juga punya banyak seri ini.

Yang kurang sukses hanya seri 400
yang agak besar dan seri 500 yang agak pendek.

Pokoknya, untuk pesawat ukuran 3
kursi di barisan kiri dan 3 kursi di barisan kanan Boeing 737 adalah rajanya.

Jenis pesawat ini begitu
efisiennya. Kapasitasnya dianggap paling ideal: sekitar 190 penumpang. Jarak
tempuhnya bisa lebih 3.000 km.

Pesawat yang lebih kecil dari ini
lama-lama hilang. Seperti Fokker 28 sampai Fokker 100. Bahkan Bombardier
regional juga gagal.

Jenis pesawat yang ukurannya
sedikit lebih besar dari itu juga dimakan B 737. Termasuk memakan produk Boeing
sendiri. Seperti 757 dan 767.

Kalau mau menghindari bersaing
dengan B 737 sekalian yang besar. Seperti Boeing 777. Yang juga sukses besar.
Yang juga memakan pasar ukuran yang lebih besar –seperti Boeing 747. Bahkan
Airbus yang bikin sejarah dengan A 380 tidak tahan. Airbus sudah memutuskan
untuk menghentikan produksi A 380 –yang amat saya banggakan itu.

Boleh dikata Airbus kalah di
semua segmen. Boeing-lah raja dunia.

Kuncinya adalah efisiensi.
Terutama dalam penggunaan bahan bakar. Di era BBM mahal, energi adalah tuhan di
segala bisnis.

Ternyata, pun raja bukan tidak
bisa kalah.

Akhirnya Airbus menemukan cara
menghemat BBM itu. Lebih hemat dari B 737 seri apa pun.

Desain baru itu dirahasiakan
total. Sambil dikerjakan. Intelijen Boeing kecolongan.

Atau ini hukum alam biasa saja.

Sang Raja overconfident. Merasa
tidak akan ada lagi yang lebih hebat.

Baca Juga :  Soal Dugaan Minta Uang Untuk Tebus KTP, Ini Klarifikasi Lurah Menteng

Ternyata yang kalah tidak
selamanya kalah. Awan hitam tidak akan berada di satu tempat terus menerus.

Desain baru Airbus akan bisa
mengalahkan B 737. Bahan bakarnya akan lebih irit sampai 20 persen.

Bukan main.

Itulah jenis pesawat yang disebut
A 320 Neo. Yang Garuda memesan dua buah. Salah satunya sudah jadi. Ketika
dikirim ke Jakarta dipakai angkut sepeda Brompton dan Harley Davidson itu.

A 320 Neo ini larisnya bukan
main.

Boeing merasa kecolongan.

Untuk menghadang Neo tidak mudah.
Harus membuat desain baru. Itu butuh waktu tahunan. Keburu Airbus menggerus
pasar Boeing.

Kunci rahasia Airbus pun
diketahui: mesin jetnya dibuat agak besar. Konsekuensinya tempat mesin harus
agak lebih tinggi. Agar tidak terlalu dekat dengan tanah.

Penempatan mesin seperti itu
memerlukan desain yang khusus. Agar hukum COG terpenuhi —center of gravity.

COG adalah iman bagi para ahli
pesawat. Mengabaikan COG sama dengan tidak beriman.

Dan itu yang terjadi di Boeing:
mengabaikan COG.

Posisi mesin B 737 MAX 8 dibuat
agak tinggi. Juga agak menonjol ke depan.

Penempatan seperti itu, menurut
rukun iman COG, dianggap musyrik. Akibatnya pesawat akan cenderung terdorong ke
atas.

Tapi Boeing sangat percaya diri.
Kecenderungan membumbung itu bisa diatasi dengan komputer. Diciptakanlah software khusus.
Untuk mengendalikan pesawat. Software itu disebut Maneuvering
Characteristics Augmentation System
 (MCAS).

Maka…

Terjadilah kecelakaan Lion Air di
Laut Jawa. Oktober tahun lalu. Lalu kecelakaan lagi di Ethiopian Airlines. Lima
bulan kemudian.

Total 346 orang meninggal dunia.

Bagaimana bisa FAA meloloskan
B737 MAX 8?

FAA memang punya aturan baru.
Untuk menghemat anggaran. Terutama sejak pemerintah pusat memotong anggaran
FAA.

Aturan baru itu menyebutkan
perusahaan seperti Boeing boleh melakukan sertifikasi sendiri. Khusus untuk
suatu perubahan kecil.

Menurut Boeing, B737 MAX 8 adalah
Boeing 737 NG yang sedikit diubah. Boeing 737 NG sudah mendapat sertifikat laik
terbang. Perubahan kecilnya tidak perlu dimintakan sertifikat ke FAA.

Mengubah posisi mesin dianggap
perubahan kecil. Pun memgintroduksi software MCAS.

Padahal, menurut ahli rancang
pesawat, itu sudah menyangkut keimanan pesawat. Sudah kategori musyrik COG.

Atau mungkin sayalah yang salah
menafsirkan bacaan. Maklum saya hanya kategori hobi naik pesawat. Bukan ahli
membuatnya.(Dahlan Iskan)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru