33.1 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Selamat Imlek?

“SELAMAT
Merayakan Imlek.” “Selamat
Hari Raya Imlek.” “Selamat
Imlek.” Begitulah ucapan-ucapan yang saya terima pada hari-hari ini di akun
Facebook maupun melalui pesan WhatsApp.

Ucapan dengan bunyi-bunyi yang
sama tersebut dengan mudahnya juga bisa kita temukan dalam bentuk spanduk yang
terpasang di jalan-jalan, kartu-kartu (daring atau tercetak), maupun
ucapan-ucapan secara langsung.

Bahkan, kerap pula kita temukan
ungkapan ”Perayaan Imlek” ini di berbagai media. Baik dalam berita maupun
sebagai iklan.

Mereka yang memahami arti kata
”Imlek” barangkali saja hanya akan tersenyum ketika mendengar, membaca, atau
menerima berbagai ucapan tersebut. Meskipun, boleh jadi ada juga yang mencoba untuk
meralat ucapan-ucapan itu.

Betapa tidak, ”Imlek” (”Yinli”
dalam Mandarin atau ”Jim Lak” dalam Hakka) yang berasal dari bahasa Hokkian
(Fujian) sesungguhnya berarti ”kalender bulan”, dalam hal ini adalah ”kalender
lunar” yang dipergunakan oleh masyarakat Tionghoa (Huaren) yang masih
memelihara tradisi-kebudayaan China di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Makau, dan
berbagai penjuru dunia. Ia disebut juga sebagai ”Nongli” yang berarti ”kalender
agraria”.

Sebagai sistem penanggalan China
kuno yang pada 2020 Masehi ini sudah mencapai angka 2571, Imlek sebenarnya
sudah tidak lagi dipergunakan untuk keperluan administratif yang bersifat
formal, selain untuk hal-hal yang menyangkut adat-tradisi atau keagamaan.
Kendati sampai saat ini memang masih banyak keluarga Tionghoa yang merayakan
hari ulang tahun berdasar Imlek. Sejak 1949, Tiongkok secara resmi telah
mengadopsi kalender Masehi (Gregorian) untuk segala kebutuhan administratif.
Adapun Taiwan, meskipun masih memakai perhitungan ”Tahun Republik China” dalam
batas tertentu, kalender Masehi-lah yang mereka jadikan sebagai rujukan resmi.

Baca Juga :  Maaf, THM dan Pijat Refleksi Belum Boleh Buka di Kota Cantik

Karena itu, ucapan ”Selamat
Imlek” atau ungkapan ”Perayaan Imlek” yang bermakna ”Selamat Kalender Lunar”
atau ”Perayaan Kalender Lunar” jelas merupakan sebuah kekeliruan. Yang bukan
saja ”terdengar” janggal, tetapi juga lucu bagi mereka yang memahami maknanya.

Namun, toh kita tahu bahwa
kekeliruan –entahlah itu dalam bunyi, arti, ataupun penulisan– tampaknya sudah
merupakan sebuah kelaziman dalam kasus penyerapan kata dari satu bahasa ke
bahasa lain. Bahkan, ia menjadi suatu hal yang kerap kali memang tak
terhindarkan, mengingat akar bahasa dan logat antara dua masyarakat penutur
yang jauh berbeda.

Dalam kasus penyerapan ke dalam
bahasa Indonesia, tentu saja kita bisa merujuk cukup banyak pergeseran bunyi
dan penulisan maupun makna suatu kata serapan, baik yang berasal dari bahasa
asing maupun yang berasal dari bahasa-bahasa daerah. Dan, untuk kasus serapan
dari bahasa China (terutama dalam hal ini bahasa Hokkian), sebagai contoh kita
bisa menunjuk kata ”becak” yang berasal dari kata ”becia”, ”bihun” dari
”mihun”, dan ”kongko” (nongkrong) yang berasal dari kata ”kongkow”
(berbincang-bincang).

Sedangkan untuk kata ”Imlek”,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat dua pengertian. Yaitu, (1)
penanggalan China berdasar peredaran bulan; dan (2) tahun baru China yang jatuh
pada tanggal satu bulan pertama di awal tahun, berkaitan erat dengan pesta
menyambut musim semi; Sin Cia.

Seperti yang telah saya katakan
sebelumnya, jika kita merujuk kepada pengertiannya dalam bahasa China
(Hokkian), pengertian yang pertama tentunya sudah benar dan memang sesuai
dengan makna aslinya. Tetapi, jelas telah terjadi pergeseran makna dalam
pengertian kedua. Di sini tampaknya KBBI mencoba untuk menyesuaikan diri dengan
kekeliruan pemahaman yang telanjur terjadi dalam masyarakat Indonesia. Dengan
demikian, ucapan ”Selamat Kalender Lunar” pun akhirnya dapat diterima sebagai
”Selamat Tahun Baru Kalender Lunar”.

Baca Juga :  Kotim Bercahaya Siapkan Program Khusus

Tentu saja kita masih bisa
menggunakan ucapan yang lebih tepat, yakni ”Selamat Tahun Baru Imlek”. Namun,
dalam perkiraan saya, terjadinya pergeseran makna ”Imlek” sebagaimana yang
dapat kita temukan dalam KBBI sekarang ini salah satunya justru lantaran
terdapatnya kebiasaan dalam masyarakat Indonesia yang suka melakukan
penyingkatan kata atau penghematan kalimat.

Lalu, benarkah ”Imlek” tidak pas
disebut sebagai ”Tahun Baru China” karena yang merayakannya bukan hanya orang
China, seperti kata Ariel Heryanto dalam unggahan status Facebook-nya pada 24
Januari 2020?

Betul bahwa ”Imlek itu tahun baru
berdasarkan penanggalan lunar (bulan). Dalam bahasa Inggris disebut Lunar New
Year” dan ”Tionghoa di Indonesia tidak semua berkiblat ke China dan tidak semua
merayakan Imlek”. Tapi, Ariel Heryanto (dengan alasan tertentu yang agaknya
lebih bersifat politis) seakan sengaja hendak menafikan bahwa ”Imlek”, baik
sebagai kalender lunar maupun tahun baru, jelas-jelas berasal dari sejarah dan
tradisi-kebudayaan panjang bangsa China (2.571 tahun).

Dalam kasus yang kita bahas ini,
ia (Imlek) merupakan sebuah tradisi-budaya yang ikut bermigrasi ke segala
penjuru bumi bersama para imigran dari negeri China. Dan, kemudian menetap (dan
berakulturasi) di tanah-tanah rantau tempat anak cucu mereka beranak pinak. (***)

(Penulis Keturunan Tionghoa)

“SELAMAT
Merayakan Imlek.” “Selamat
Hari Raya Imlek.” “Selamat
Imlek.” Begitulah ucapan-ucapan yang saya terima pada hari-hari ini di akun
Facebook maupun melalui pesan WhatsApp.

Ucapan dengan bunyi-bunyi yang
sama tersebut dengan mudahnya juga bisa kita temukan dalam bentuk spanduk yang
terpasang di jalan-jalan, kartu-kartu (daring atau tercetak), maupun
ucapan-ucapan secara langsung.

Bahkan, kerap pula kita temukan
ungkapan ”Perayaan Imlek” ini di berbagai media. Baik dalam berita maupun
sebagai iklan.

Mereka yang memahami arti kata
”Imlek” barangkali saja hanya akan tersenyum ketika mendengar, membaca, atau
menerima berbagai ucapan tersebut. Meskipun, boleh jadi ada juga yang mencoba untuk
meralat ucapan-ucapan itu.

Betapa tidak, ”Imlek” (”Yinli”
dalam Mandarin atau ”Jim Lak” dalam Hakka) yang berasal dari bahasa Hokkian
(Fujian) sesungguhnya berarti ”kalender bulan”, dalam hal ini adalah ”kalender
lunar” yang dipergunakan oleh masyarakat Tionghoa (Huaren) yang masih
memelihara tradisi-kebudayaan China di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Makau, dan
berbagai penjuru dunia. Ia disebut juga sebagai ”Nongli” yang berarti ”kalender
agraria”.

Sebagai sistem penanggalan China
kuno yang pada 2020 Masehi ini sudah mencapai angka 2571, Imlek sebenarnya
sudah tidak lagi dipergunakan untuk keperluan administratif yang bersifat
formal, selain untuk hal-hal yang menyangkut adat-tradisi atau keagamaan.
Kendati sampai saat ini memang masih banyak keluarga Tionghoa yang merayakan
hari ulang tahun berdasar Imlek. Sejak 1949, Tiongkok secara resmi telah
mengadopsi kalender Masehi (Gregorian) untuk segala kebutuhan administratif.
Adapun Taiwan, meskipun masih memakai perhitungan ”Tahun Republik China” dalam
batas tertentu, kalender Masehi-lah yang mereka jadikan sebagai rujukan resmi.

Baca Juga :  Maaf, THM dan Pijat Refleksi Belum Boleh Buka di Kota Cantik

Karena itu, ucapan ”Selamat
Imlek” atau ungkapan ”Perayaan Imlek” yang bermakna ”Selamat Kalender Lunar”
atau ”Perayaan Kalender Lunar” jelas merupakan sebuah kekeliruan. Yang bukan
saja ”terdengar” janggal, tetapi juga lucu bagi mereka yang memahami maknanya.

Namun, toh kita tahu bahwa
kekeliruan –entahlah itu dalam bunyi, arti, ataupun penulisan– tampaknya sudah
merupakan sebuah kelaziman dalam kasus penyerapan kata dari satu bahasa ke
bahasa lain. Bahkan, ia menjadi suatu hal yang kerap kali memang tak
terhindarkan, mengingat akar bahasa dan logat antara dua masyarakat penutur
yang jauh berbeda.

Dalam kasus penyerapan ke dalam
bahasa Indonesia, tentu saja kita bisa merujuk cukup banyak pergeseran bunyi
dan penulisan maupun makna suatu kata serapan, baik yang berasal dari bahasa
asing maupun yang berasal dari bahasa-bahasa daerah. Dan, untuk kasus serapan
dari bahasa China (terutama dalam hal ini bahasa Hokkian), sebagai contoh kita
bisa menunjuk kata ”becak” yang berasal dari kata ”becia”, ”bihun” dari
”mihun”, dan ”kongko” (nongkrong) yang berasal dari kata ”kongkow”
(berbincang-bincang).

Sedangkan untuk kata ”Imlek”,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat dua pengertian. Yaitu, (1)
penanggalan China berdasar peredaran bulan; dan (2) tahun baru China yang jatuh
pada tanggal satu bulan pertama di awal tahun, berkaitan erat dengan pesta
menyambut musim semi; Sin Cia.

Seperti yang telah saya katakan
sebelumnya, jika kita merujuk kepada pengertiannya dalam bahasa China
(Hokkian), pengertian yang pertama tentunya sudah benar dan memang sesuai
dengan makna aslinya. Tetapi, jelas telah terjadi pergeseran makna dalam
pengertian kedua. Di sini tampaknya KBBI mencoba untuk menyesuaikan diri dengan
kekeliruan pemahaman yang telanjur terjadi dalam masyarakat Indonesia. Dengan
demikian, ucapan ”Selamat Kalender Lunar” pun akhirnya dapat diterima sebagai
”Selamat Tahun Baru Kalender Lunar”.

Baca Juga :  Kotim Bercahaya Siapkan Program Khusus

Tentu saja kita masih bisa
menggunakan ucapan yang lebih tepat, yakni ”Selamat Tahun Baru Imlek”. Namun,
dalam perkiraan saya, terjadinya pergeseran makna ”Imlek” sebagaimana yang
dapat kita temukan dalam KBBI sekarang ini salah satunya justru lantaran
terdapatnya kebiasaan dalam masyarakat Indonesia yang suka melakukan
penyingkatan kata atau penghematan kalimat.

Lalu, benarkah ”Imlek” tidak pas
disebut sebagai ”Tahun Baru China” karena yang merayakannya bukan hanya orang
China, seperti kata Ariel Heryanto dalam unggahan status Facebook-nya pada 24
Januari 2020?

Betul bahwa ”Imlek itu tahun baru
berdasarkan penanggalan lunar (bulan). Dalam bahasa Inggris disebut Lunar New
Year” dan ”Tionghoa di Indonesia tidak semua berkiblat ke China dan tidak semua
merayakan Imlek”. Tapi, Ariel Heryanto (dengan alasan tertentu yang agaknya
lebih bersifat politis) seakan sengaja hendak menafikan bahwa ”Imlek”, baik
sebagai kalender lunar maupun tahun baru, jelas-jelas berasal dari sejarah dan
tradisi-kebudayaan panjang bangsa China (2.571 tahun).

Dalam kasus yang kita bahas ini,
ia (Imlek) merupakan sebuah tradisi-budaya yang ikut bermigrasi ke segala
penjuru bumi bersama para imigran dari negeri China. Dan, kemudian menetap (dan
berakulturasi) di tanah-tanah rantau tempat anak cucu mereka beranak pinak. (***)

(Penulis Keturunan Tionghoa)

Terpopuler

Artikel Terbaru