Inilah wanita paling bahagia saat
ini: Maulina. Putri seorang jendral bintang tiga. Ibu seorang anak kecil.
Pengusaha tas wanita.
Yang membuatnyi sangat happy
adalah ini: usaha kerasnyi menurunkan berat badan berhasil. Turun
drastis: tinggal 92 kg.
“Target saya harus bisa
turun lagi. Agar tinggal 60 kg,” ujar Maulina.
Kapan?
“Tanggal 8 Agustus tahun
depan,” kata Maulina.
Dia begitu yakin.
Itu karena Maulina sudah
menemukan jalan yang benar. Sudah menemukan roadmap menuju
langsing. Yang sudah dia jalani hampir setengahnya. Selama setahun terakhir.
“Tidak akan gagal
lagi,” ujar Maulina, sarjana ekonomi Universitas Airlangga Surabaya itu.
Dia pernah berada dalam kondisi
yang sangat parah. Saat berat badannyi naik terus. Puncaknya mencapai 155 kg.
Tiga tahun yang lalu. Di tahun 2016 lalu. Di saat umurnyi 35 tahun.
Gejala obesitas itu terjadi sejak
SD. Setelah pindah dari Balikpapan ke Bandung. Ikut orang tua yang militer.
“Mungkin makanan di Bandung
enak-enak. Udaranya sejuk,” ujar Ny. Farid Zainuddin, sang ibu, sambil
tersenyum. “Waktu di Balikpapan kan panas. Dan makanan terbatas,”
tambahnyi.
Sejak itu badannyi tidak
terkendali. Bisa makan siomay 20 sekali duduk.
“Sejak itu, sampai lulus
universitas belum pernah timbangan turun. Selalu naik,” ujar Maulina.
Hanya menjelang perkawinan turun
3 kg. Menjadi 92 kg. Itu pun untuk menyesuaikan dengan baju pengantin. Pesan
bajunya pun tidak boleh jauh-jauh hari. Khawatir saat tiba hari perkawinan
tidak cukup lagi.
Selesai perkawinan bablas lagi.
Naik dan naik lagi.
Tidak ada keberatan dari suami?
“Tidak ada. Waktu pacaran kan ia
tahu saya sudah gemuk,” ujar Maulina.
Dia bertemu pacar (atau pacar
bertemu dia) saat kuliah di Unair. Saat itu Iqbal sebenarnya sudah kuliah di
ITS. Lalu merangkap kuliah di fakuktas ekonomi Unair. “Sekedar untuk dapat
pacar,” ujar Maulina menirukan candaan sang suami. “ITS ceweknya
sedikit,” tambahnyi sambil ngakak.
Setelah kawin itu hobi makannya
tidak berubah. Timbangannya terus bertambah. Dan tambah. Apalagi ketika hamil.
Menjadi 138 kg.
Bayinya lahir prematur. Lewat operasi cesar. Tapi selamat.
Itulah satu-satunya anak sampai
sekarang.
Anaknya pun tumbuh. Demikian juga
tubuh ibunya. Sampai, itu tadi, mencapai puncaknya: 155 kg. Tiga tahun lalu.
“Suami saya tidak terlihat kaget. Mungkin karena tiap hari melihat saya.
Tidak merasakan perubahan itu,” tutur Maulina.
Maulina sendiri yang merasakan.
Dia tidak lagi bisa tidur normal.
Posisi tidurnya harus duduk. Bersandar di ujung ranjang. Itu pun hanya bisa
sebentar. Begitu tertidur badannyi melorot. Dada sesak. Napas tercekik. Lalu
terbatuk. Terpaksa Maulina terbangun.
Untuk memperbaiki posisi. Duduk
lagi. Tertidur sebentar. Melorot lagi. Sesak lagi. Terbangun lagi.
Begitulah sepanjang malam. Sangat
tersiksa.
Itu pun belum membuatnyi
‘insyaf’. Tipping point-nya baru terjadi saat Maulina
selesai membenahi dagangan tasnyi. Lututnyi terasa bengkak. Ternyata lutut
kirinya memang membesar. Dan saat diraba tidak ada rasa.
Saat itulah Maulina merasa
seperti akan mati. Lalu muncul tekatnyi untuk keluar dari masalah obesitas.
Tidak mudah.
Nafsu makannya luar biasa.
Terutama makanan manis. Seperti
cake manis. Cake yang begitu ‘berat’ di mata Maulina bisa berfungsi hanya untuk
camilan nonton TV.
Tapi Maulina sudah bertekat
bulat: harus teratasi.
Maulina pun minta suami untuk
mencarikan trainer pribadi.
Program pun dimulai. Di sebuah gym di
mall Surabaya Timur. Maulina diberi program 100 latihan. Seperti yang biasa
dilakukan di fitness center.
“Baru sepuluh paket saya
menyerah,” katanyi.
“Di lantai bawah banyak
makanan. Lebih menarik dari gym,” guraunya.
Maulina minta ganti cara. Mencoba
ikut program diet yang lagi terkenal saat itu: keto.
Ternyata juga terlalu keras. Kian
menjalaninya kian kuat mimpinya soal berbagai makanan kesukaannya.
Makanan apa saja kesukaannya?
Semua makanan.
Dengan diet itu dia merasa
tersiksa. Lahir batin. Juga depresi.
Dua bulan ikut Keto, Maulina
menyerah. Terlalu berat. Terlalu dipaksakan.
Akhirnya dicari cara ketiga:
makan obat.
Hasilnya?
Maulina justru sakit. Maag-nya
rewel. Berdarah. Maulina muntah darah.
Saya tidak sampai hati bertanya
obat apa saja yang dia coba.
Tapi dia belum menyerah.
Maulina pun mengambil jalan
pintas: sedot lemak.
Tidak sembarangan. Dia pelajari
semua seluk beluk sedot lemak. Kali ini dia cukup waspada. Di Surabaya ada
kasus besar. Tokoh tinju Surabaya meninggal karena sedot lemak di Singapura.
Namanya Aseng. Teman baik saya juga.
“Kami putuskan sedot
lemaknya akan bertahap,” ujar Maulina. “Tahap pertama hanya 12 Kg.
Disesuaikan dengan total berat badan. Tidak boleh melebihi prosentasi
tertentu,” tambahnyi.
Dia tidak mau jadi Aseng kedua.
Sedot lemak pun dilakukan di
Surabaya. Di salah satu rumah sakit pusat kota.
Penyedotan selesai. “Saat
dilakukan penyedotan itu sakitnya bukan main,” kata Maulina.
Tapi yang lebih sakit lagi adalah
setelah penyedotan. Seluruh bagian perutnyi tidak lagi membiru. Tapi menghitam.
Bagian perut itu harus dibebat
kencang. Agar rongga yang terjadi setelah penyedotan bisa rapat kembali.
“Dipegang saja bukan main
sakitnya. Apalagi harus dibebat kencang. Menderita sekali,” ujar Maulina.
Bebat itu pun dibuka. Maulina
tidak kuat lagi. Enam hari dia di rumah sakit. Bentuk bagian perutnyi lebih
rusak lagi. Seperti jalan rusak. “Ada bentuk seperti mangkok di pusar
saya,” katanyi.
Maulina wanita cerdas. Dia
pelajari banyak sekali bahan terkait obesitasnyi.
Akhirnya dia tahu jalan yang
benar: harus lebih bersabar. Jangan terlalu dipaksa. Tapi konsisten. Tidak ada
jalan pintas di bidang itu.
Maulina mencari trainer yang
seperti itu.
Ketemu.
Sang trainer tiga kali seminggu
datang ke rumah Maulina. Di Sutorejo, Surabaya timur. Yang diajarkan pun sangat
ringan: hanya mengangkat tangan. Sambil duduk.
Gerakan pertamanya sangat berat.
Tapi dia suka. Tidak dipaksakan. Sekuatnyi saja.
Kian lama kemampuan mengangkat
tangannyi bertambah. Kian ringan. Kiat cepat.
Barulah ditambah gerakan-gerakan
lain. Yang juga dimulai dari sangat ringan.
Maulina melakukannya dengan
senang. Apalagi dia bisa merasakan ada kemajuan. Biar pun kemajuan kecil.
Misalnya jumlah angkat tangannyi bertambah.
Kemajuan kecil menggeret kemajuan
besar. Begitulah hukumnya.
Kemajuan yang paling
membahagiakannya adalah ketika Maulina bisa mengikat tali sepatu. Bagi orang
lain ikat sepatu mungkin barang sepele. Bagi Maulina itu tambahan motivasi yang
sangat besar.
Apalagi ketika akhirnya bisa
salat. Dan bisa memotong kuku kakinyi. Bukan main termotivasinyi.
Kini Maulina sudah berkibar.
Sudah merasa sangat langsing. Sudah berani memejeng-mejengkan badannya: nih
sudah langsing.
Dan itu masih 92 kg.
Sudah turun sebanyak 63 kg dari
puncaknya.
Olahraga itu bukan hanya membuat
berat badannyi susut. Ototnyi pun terbentuk. Memang Maulina masih gemuk –untuk
ukuran orang langsing– tapi gemuknya saat ini gemuk berisi. Dan lincah.
Maulina sekarang sudah bisa push-up.
Bisa burpee.
Juga sudah bisa loncat katak –dari duduk langsung loncat.
Ketika sudah sampai tahap loncat,
awalnya Maulina hanya bisa meloncat sekali. Itu pun posisi kakinyi belum
terlihat meninggalkan tanah.
Lama-lama dia bisa meloncat
dengan benar. Sekali. Lain hari dua kali. Tiga kali. Terus bertambah.
Mula-mula jarak loncatan satu
dengan berikutnya lama. Lalu kian cepat. Jumlah loncatannya bertambah.
Kecepatannya naik.
Kini Maulina bisa meloncat katak
100 kali dalam 50 menit. Itulah rekor barunya. Yang masih akan dia pecahkan
lagi.
Dan Maulina sudah bisa tidur
secara normal. Satu kebahagiaan yang lain lagi.
Tentu Maulina juga mengatur
makanan. Tapi tidak ada yang memaksa. Dia tahu: berapa kebutuhan kalori
tubuhnya. Dia atur sendiri.
Kini Maulina makan apa saja. Tapi
dia tahu kapan harus makan apa. Dan seberapa banyak.
Kalau pagi sudah makan x
misalnya, siang akan makan y dan malam z. Dalam jumlah yang dia atur.
Lama-lama dia tidak mau makan
gorengan. Sangat jarang. Sistem di dalam tubuhnya sudah tidak bisa menerima
gorengan. “Kalau malam makan gorengan, paginya terasa berat sekali.
Kapok,” katanyi.
Saya juga kaget ketika ketemu
Maulina Rabu malam lalu itu. Dia itu temannya anak saya, Isna Iskan. Putri saya
itu yang menunjukkan foto terbaru Maulina.
“Lho berubah total?”
tanya saya.
“Kalau gak percaya sekarang
kita ke sana,” ujar Isna.
Dia lagi di rumah orang tuanyi.
Yang bagian depannya dia jadikan showroom dagangan
tasnyi.
Di halaman belakang rumah itu
dibangun pabrik dua lantai. Di situlah tas Kalyana –dalam bahasa Sansekerta
berarti cantik– dibuat.
Suaminyi yang menjadi pimpinan
pabrik di situ.
Pekarangan rumah ini sangat luas.
Hampir 2000 meter. Pun di depannya masih ada lapangan basket milik RW. Juga ada
masjid.
Di ruang depan itu ada lukisan
Hanoman. Juga ada wayang kulit Gatotkaca. Saya mengambil si Gatutkaca dan
kangen memainkannya.
Saya pun ingin tahu siapa orang
tua Maulina. Termasuk saat menjadi tentara –dinas di mana saja.
Ayahnya pindah-pindah.
“Terakhir pangkatnya
apa?” tanya saya.
“Bintang tiga. Mayor
Jendral,” ujar sang ibu. Yang penampilannyi begitu sederhana.
“Lho, namanya siapa? Siapa
tahu saya kenal,” kata saya.
Sang ibu menyebut nama suaminyi.
Ups… Ternyata teman baik saya
juga. Sejak beliau masih mayor atau letkol. Saya masih redaktur. Tanpa diatur:
bapak teman bapak. Anak teman anak.
Tidak perlu diceritakan lagi.
Saya tahu. Karirnya selalu di bagian intel. Terakhir menjadi pejabat tinggi di
BIN –sebelum pensiun dulu.
“Beliau kan orang Minang.
Kok banyak wayang di sini?” tanya saya.
“Saya yang Blora,”
jawab sang ibu.
Saya melarang sang ibu
membangunkan suaminyi. Biarlah besoknya saja saya WA beliau –bahwa saya sudah
datang ke rumah beliau.
Saya berjanji akan bertemu
Maulina lagi tahun depan. Ingin tahu: apakah benar dia bisa menjadi 60 Kg. Saya
juga akan menyalami Iqbal, sang suami.
Melihat tahapan apa yang dia
lakukan, kelihatannya dia bisa. Karena itu saya tidak mau taruhan untuk itu.(dis)