30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Gizi Santri Melawan Pandemi

HARI Santri Nasional tahun ini (22 Oktober) kita peringati dalam
situasi pandemi Covid-19. Pun dalam situasi resesi ekonomi nasional. Kondisi
tersebut tentu berimbas pada kehidupan santri. Pesantren benar-benar diuji
dalam melangsungkan pendidikan asrama dengan protokol kesehatan yang ketat.

Meskipun pada tahun ajaran baru
2020–2021 ini pendidikan di sekolah-sekolah dilangsungkan secara daring,
sebagian pesantren (atau bahkan sebagian besar?) telah memulai pendidikan
asrama dan secara luring tentunya. Risiko besar menanti karena para santri
selalu berkumpul 24 jam setiap hari.

Sejauh ini beberapa kasus positif
Covid-19 di pesantren juga dapat dikendalikan dengan cepat. Persebarannya
memang cepat, tapi pengendaliannya juga bisa cepat karena keberadaan santri
dalam area terbatas dan dikontrol pesantren.

Namun, ada satu hal yang perlu
menjadi concern kita, yaitu pemenuhan gizi santri di era pandemi Covid-19.
Penelitian yang pernah penulis lakukan di beberapa pesantren menunjukkan bahwa
pesantren belum menyediakan menu makan seimbang sesuai dengan kebutuhan santri,
yang rerata masih remaja dan sedang dalam masa pertumbuhan. Santri juga sering
melewatkan waktu makan dengan berbagai alasan. Bila dirunut, makanan sederhana
yang terkesan ”asal kenyang” bisa jadi karena iuran yang ditarik dari orang tua
memang minim, yang membuat pihak pesantren juga menyesuaikan bujet yang ada.

Di era Covid-19 ini, tentunya
tantangan pesantren dalam penyediaan makan lebih berat, mengingat para orang
tua santri juga terdampak secara ekonomi. Memasukkan anak ke pondok pesantren,
bagi sebagian orang tua, perlu effort
yang lebih besar dan biaya ekstra karena harus membayar biaya asrama, makan,
dan pendidikan dua sistem (diniyah serta sekolah formal).

Hasil lima studi tentang anemia
pada santri di pondok pesantren, semuanya menunjukkan lebih dari separo santri
putri menderita anemia. Bahkan, ada yang mencapai hampir 80 persen. Artinya, di
antara 10 santri putri, 8 menderita anemia. Penyebab anemia umumnya adalah
kekurangan zat gizi mikro, utamanya zat besi. Bahan makanan yang banyak
mengandung zat besi di antaranya bayam, brokoli, kerang, hati, daging, ikan,
kacang-kacangan, dan biji-bijian lainnya.

Baca Juga :  Jukir Liar di Palangka Raya Diberi Peringatan

Anemia yang diderita remaja tidak
hanya akan berdampak pada pertumbuhannya, tetapi juga performa di sekolah, daya
ingat, dan konsentrasi belajarnya. Serta memengaruhi sistem imun tubuh sehingga
rentan menderita penyakit infeksi. Anemia pada remaja perlu segera
ditanggulangi karena juga berdampak jangka panjang, seperti kelak ketika
menjadi ibu hamil.

Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018
menunjukkan, hampir 50 persen ibu hamil menderita anemia. Ibu hamil anemia
berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dan pada beberapa
studi berhubungan pula dengan stunting pada anak.

Untuk itu, sangat layak pesantren
dan santri di dalamnya mendapatkan subsidi bahan pangan. Bisa jadi, santri lebih
membutuhkan bantuan pangan daripada kuota internet. Perlu ada kajian terkait
hal tersebut, mengingat santri belajar di pesantren dan pembelajaran dilakukan
secara luring.

Bentuk program bantuan pangan
pada santri dapat mengadopsi sebuah program subsidi pangan di sekolah asrama
pada dua provinsi di Tiongkok. Pengelola sekolah menerima bantuan dana, di mana
dana tersebut digunakan untuk keperluan gizi anak sekolah yang tinggal di
asrama.

Pengelola juga mendapat
penjelasan tentang tujuan program, target yang ditetapkan, dan pengumpulan data
awal tentang status gizi, termasuk status anemia anak didiknya, serta tentang
pengelolaan gizi anak sekolah.

Pengelola diberi keleluasaan
dalam penggunaan dana untuk memenuhi target yang ditetapkan dan diberi bonus bila
bisa menurunkan angka kurang gizi dan penderita anemia. Anak sekolah pun
diminta membuat catatan makanan yang dikonsumsinya sebagai bentuk monitoring
keragaman pangan yang diberikan pengelola.

Baca Juga :  LP3ES

Pada akhir program, siswa sekolah
tersebut diukur kembali status gizi dan anemianya. Hasilnya, program subsidi
pangan itu terbukti efektif menurunkan angka anemia dan meningkatkan status
gizi serta kesehatan anak sekolah di lokasi tersebut.

Bantuan pangan dapat pula berupa
bahan pangan secara langsung dengan melibatkan dan memberdayakan para petani
atau usaha kecil menengah di sekitar lokasi pesantren. Bantuan dapat pula
berupa bibit ikan lele, misalnya, atau tanaman pangan yang dapat dipanen secara
cepat dalam beberapa bulan.

Studi telah banyak dilangsungkan
berbagai peneliti dengan objek santri dan pesantren. Kini tinggal bagaimana
tindak lanjut dari bukti yang telah ada. Terdapat ribuan pesantren di Jawa
Timur dan Indonesia dengan jutaan santri di dalamnya. Mereka juga generasi
penerus bangsa dan calon pemimpin masa depan.

Karena itu, sudah saatnya status
gizi dan kesehatan santri mendapat perhatian lebih. Apalagi, di masa pandemi
ini, orang tua santri mungkin juga terdampak secara ekonomi dan berimbas pada
uang saku yang dikirimkan kepada putra/putrinya. Santri pun menjadi lebih berisiko
menderita kekurangan gizi.

Momen Hari Santri Nasional tahun
ini yang dirayakan dalam suasana pandemi Covid-19 kiranya dapat menjadi titik
awal bagi semua pihak, baik pemerintah, para pengusaha, organisasi
kemasyarakatan/keagamaan, maupun masyarakat luas, untuk lebih meningkatkan kepedulian
terhadap kehidupan di pesantren. Utamanya status gizi dan kesehatan para
santri. (*)

(Penulis adalah Dosen Departemen
Gizi FKM Universitas Airlangga Surabaya)

HARI Santri Nasional tahun ini (22 Oktober) kita peringati dalam
situasi pandemi Covid-19. Pun dalam situasi resesi ekonomi nasional. Kondisi
tersebut tentu berimbas pada kehidupan santri. Pesantren benar-benar diuji
dalam melangsungkan pendidikan asrama dengan protokol kesehatan yang ketat.

Meskipun pada tahun ajaran baru
2020–2021 ini pendidikan di sekolah-sekolah dilangsungkan secara daring,
sebagian pesantren (atau bahkan sebagian besar?) telah memulai pendidikan
asrama dan secara luring tentunya. Risiko besar menanti karena para santri
selalu berkumpul 24 jam setiap hari.

Sejauh ini beberapa kasus positif
Covid-19 di pesantren juga dapat dikendalikan dengan cepat. Persebarannya
memang cepat, tapi pengendaliannya juga bisa cepat karena keberadaan santri
dalam area terbatas dan dikontrol pesantren.

Namun, ada satu hal yang perlu
menjadi concern kita, yaitu pemenuhan gizi santri di era pandemi Covid-19.
Penelitian yang pernah penulis lakukan di beberapa pesantren menunjukkan bahwa
pesantren belum menyediakan menu makan seimbang sesuai dengan kebutuhan santri,
yang rerata masih remaja dan sedang dalam masa pertumbuhan. Santri juga sering
melewatkan waktu makan dengan berbagai alasan. Bila dirunut, makanan sederhana
yang terkesan ”asal kenyang” bisa jadi karena iuran yang ditarik dari orang tua
memang minim, yang membuat pihak pesantren juga menyesuaikan bujet yang ada.

Di era Covid-19 ini, tentunya
tantangan pesantren dalam penyediaan makan lebih berat, mengingat para orang
tua santri juga terdampak secara ekonomi. Memasukkan anak ke pondok pesantren,
bagi sebagian orang tua, perlu effort
yang lebih besar dan biaya ekstra karena harus membayar biaya asrama, makan,
dan pendidikan dua sistem (diniyah serta sekolah formal).

Hasil lima studi tentang anemia
pada santri di pondok pesantren, semuanya menunjukkan lebih dari separo santri
putri menderita anemia. Bahkan, ada yang mencapai hampir 80 persen. Artinya, di
antara 10 santri putri, 8 menderita anemia. Penyebab anemia umumnya adalah
kekurangan zat gizi mikro, utamanya zat besi. Bahan makanan yang banyak
mengandung zat besi di antaranya bayam, brokoli, kerang, hati, daging, ikan,
kacang-kacangan, dan biji-bijian lainnya.

Baca Juga :  Jukir Liar di Palangka Raya Diberi Peringatan

Anemia yang diderita remaja tidak
hanya akan berdampak pada pertumbuhannya, tetapi juga performa di sekolah, daya
ingat, dan konsentrasi belajarnya. Serta memengaruhi sistem imun tubuh sehingga
rentan menderita penyakit infeksi. Anemia pada remaja perlu segera
ditanggulangi karena juga berdampak jangka panjang, seperti kelak ketika
menjadi ibu hamil.

Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018
menunjukkan, hampir 50 persen ibu hamil menderita anemia. Ibu hamil anemia
berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dan pada beberapa
studi berhubungan pula dengan stunting pada anak.

Untuk itu, sangat layak pesantren
dan santri di dalamnya mendapatkan subsidi bahan pangan. Bisa jadi, santri lebih
membutuhkan bantuan pangan daripada kuota internet. Perlu ada kajian terkait
hal tersebut, mengingat santri belajar di pesantren dan pembelajaran dilakukan
secara luring.

Bentuk program bantuan pangan
pada santri dapat mengadopsi sebuah program subsidi pangan di sekolah asrama
pada dua provinsi di Tiongkok. Pengelola sekolah menerima bantuan dana, di mana
dana tersebut digunakan untuk keperluan gizi anak sekolah yang tinggal di
asrama.

Pengelola juga mendapat
penjelasan tentang tujuan program, target yang ditetapkan, dan pengumpulan data
awal tentang status gizi, termasuk status anemia anak didiknya, serta tentang
pengelolaan gizi anak sekolah.

Pengelola diberi keleluasaan
dalam penggunaan dana untuk memenuhi target yang ditetapkan dan diberi bonus bila
bisa menurunkan angka kurang gizi dan penderita anemia. Anak sekolah pun
diminta membuat catatan makanan yang dikonsumsinya sebagai bentuk monitoring
keragaman pangan yang diberikan pengelola.

Baca Juga :  LP3ES

Pada akhir program, siswa sekolah
tersebut diukur kembali status gizi dan anemianya. Hasilnya, program subsidi
pangan itu terbukti efektif menurunkan angka anemia dan meningkatkan status
gizi serta kesehatan anak sekolah di lokasi tersebut.

Bantuan pangan dapat pula berupa
bahan pangan secara langsung dengan melibatkan dan memberdayakan para petani
atau usaha kecil menengah di sekitar lokasi pesantren. Bantuan dapat pula
berupa bibit ikan lele, misalnya, atau tanaman pangan yang dapat dipanen secara
cepat dalam beberapa bulan.

Studi telah banyak dilangsungkan
berbagai peneliti dengan objek santri dan pesantren. Kini tinggal bagaimana
tindak lanjut dari bukti yang telah ada. Terdapat ribuan pesantren di Jawa
Timur dan Indonesia dengan jutaan santri di dalamnya. Mereka juga generasi
penerus bangsa dan calon pemimpin masa depan.

Karena itu, sudah saatnya status
gizi dan kesehatan santri mendapat perhatian lebih. Apalagi, di masa pandemi
ini, orang tua santri mungkin juga terdampak secara ekonomi dan berimbas pada
uang saku yang dikirimkan kepada putra/putrinya. Santri pun menjadi lebih berisiko
menderita kekurangan gizi.

Momen Hari Santri Nasional tahun
ini yang dirayakan dalam suasana pandemi Covid-19 kiranya dapat menjadi titik
awal bagi semua pihak, baik pemerintah, para pengusaha, organisasi
kemasyarakatan/keagamaan, maupun masyarakat luas, untuk lebih meningkatkan kepedulian
terhadap kehidupan di pesantren. Utamanya status gizi dan kesehatan para
santri. (*)

(Penulis adalah Dosen Departemen
Gizi FKM Universitas Airlangga Surabaya)

Terpopuler

Artikel Terbaru