26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

LP3ES

Sudah lebih enam tahun saya puasa bicara BUMN
di depan umum. Senin kemarin pecah telur.

Minggu lalu saya memang dalam kebimbangan
besar. Mau atau tidak. Untuk berbicara di depan umum –dengan tema BUMN.
Biasanya saya tegas saja: tidak mau.

Kali ini yang minta adalah LP3ES (Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Lewat direkturnya
yang baru: Prof. Dr. Didik J Rachbini.

Sungguh kurang ajar kalau sampai saya menolak.
Dan lagi menteri BUMN-nya kan sudah berganti. Saya merasa banyak kecocokan
dengan Erick Thohir –menteri BUMN yang sekarang.

Dengan menteri yang lalu pun saya tidak punya
masalah. Tapi rasanya tidak etis kalau saya mengomentari kebijakan pengganti
saya. Saya pun memilih bersikap diam.

Memang sesekali saya menyinggung dalam tulisan.
Tapi sangat terkontrol. Misalnya saat BUMN berhasil mengambil alih Freeport. Saya
memberikan pujian.

Lalu soal blackout listrik
akibat pohon sengon yang bergoyang di dekat Semarang.

Selebihnya saya selalu menolak undangan
seminar. Juga menolak wawancara koran maupun televisi.

Tapi Senin lalu saya harus ‘berkhianat’. LP3ES
terlalu berarti bagi perjalanan hidup saya.

Peristiwanya terjadi tahun 1975.

Saat saya masih bujangan.

Umur saya baru 24 tahun.

Saya adalah reporter sebuah koran kecil di kota
yang amat kecil: Samarinda. Korannya empat halaman. Terbitnya seminggu sekali.
Sering juga tidak terbit.

Teknologi koran itu membuat saya bersyukur:
bisa merasakan seperti hidup di tahun 1940-an. Penyusunan huruf di
percetakannya persatu huruf.

Huruf itu terbuat dari timah. Huruf ‘a’
berkumpul menjadi satu di satu kotak. Demikian juga ‘b’, ‘c’ dan seterusnya.
Lalu ada kotak-kotak lain untuk huruf besar.

Pegawai penyusun huruf itu sering tidak masuk.
Itu memberi kesempatan pada saya untuk belajar menyusunnya secara benar.

Akhirnya bisa.

Saya sering tidak perlu menulis berita. Hasil
wawancara langsung saya susun di tempat huruf-huruf itu. Saya juga bisa memutar
mesin cetak yang masih menggunakan tangan.

Saya beruntung mengalami zaman paling belakang
di teknologi cetak. Kalau ke museum –di Amerika, misalnya– saya bisa
menjelaskan bagaimana cara kerja benda kuno itu.

Setahun di koran itu saya mendengar ada
pengumuman: LP3ES menyelenggarakan pendidikan wartawan muda –khusus dari
daerah-daerah. Tujuannya: untuk mendorong demokratisasi di daerah-daerah
–lewat pers yang maju.

Peminatnya banyak sekali. Lebih 1.000 orang.
Tapi hanya 10 orang yang akan diterima. Seleksi pun diadakan di seluruh
Indonesia.

Salah seorang pimpinan LP3ES datang ke
Samarinda. Saya masih ingat namanya: Arselan Harahap. Kalau tidak ada ‘Harahap’
di belakang nama itu saya kira ia orang Jogja. Sopannya luar biasa. Halusnya
sangat lembut. Mirip kehalusan pembawaan politisi Akbar Tanjung.

Baca Juga :  Pemkot Serius Tingkatkan SDM, Hadapi Pemindahan Ibu Kota

Saya lolos seleksi.

Saya harus ke Jakarta. Selama 3 bulan.
Senangnya bukan main. Bisa melihat Jakarta.

Kami –dari Medan, Padang, Palembang, Bandung,
Surabaya, Bali, Makassar, Banjarmasin, Mataram dan Samarinda– diasramakan di
Wisma Seni, Taman Ismail Marzuki.

Malam hari kami dididik teori jurnalistik.
Tempatnya di kantor LP3ES –saat itu di Jalan Jambu, Jakarta. Dari TIM kami
berjalan kaki ke tempat pendidikan itu.

Pengajar jurnalistiknya Amir Daud –wartawan
senior saat itu. Kami diawasi dari malam ke malam. Sesekali pimpinan tertinggi
LP3ES meninjau kami: Nono Anwar Makarim (ayahanda Mendikbud sekarang) dan
wakilnya, Ismet Hadad.

Siang hari kami disebar ke tempat praktik:
dititipkan di koran-koran nasional. Siapa-magang-di-mana ditentukan lewat
undian.

Sebelum undian saya berdoa keras: semoga dapat
tempat magang di harian Kompas. Itulah koran paling bergengsi saat itu. Koran
terbesar di Indonesia.

Kalaupun meleset, semoga di majalah TEMPO.

Ada doa tambahan: semoga jangan mendapat undian
di harian PosKota. Yang terkenal sebagai spesialisasi berita kriminal.

Kompas dan TEMPO adalah bacaan saya setiap hari
di Samarinda. Tiap habis maghrib saya ke agen koran: tidak sabar mendapat koran
keesokan harinya.

Saya begitu mengidolakan wartawan-wartawan
Kompas seperti Emmanuel Subangun dan Parakitri Simbolon. Saya hafal semua nama
redaktur TEMPO dan wartawannya.

Nama seperti Salim Said, Syu’bah Asa, Putu
Wijaya, George Yunus Adicondro hafal lengkap dengan foto wajah mereka. Apalagi
unsur pimpinannya: saya dewakan.

Dan saya mendapat undian di Majalah TEMPO
–alhamdulillah. Kantornya masih di Jalan Senin Raya 83. Di lantai atas sebuah
toko.

Di TEMPO saya hanya akan 1,5 bulan. Akan ada
rotasi. Saya harus pindah ke media lain. Diundi lagi.

Saya berdoa keras lagi: agar mendapat tempat di
Kompas. Pokoknya jangan sampai di PosKota.

Arselan Harahap datang ke TEMPO. Untuk
menjemput saya. Waktu magang di situ sudah habis.

Tiba-tiba Arselan marah sekali. “Anda
tidak boleh dipindah dari TEMPO,” ujarnya. “Pimpinan TEMPO minta agar
Anda tetap di sini,” tambahnya. “Ini merusak program LP3ES,”
gerutunya.

Saya diam saja.

Dalam hati saya senang sekali.

Hari berikutnya saya diberitahu oleh pimpinan
redaksi TEMPO. “Saya minta Anda tetap di TEMPO,” ujar Bur Rasuanto
–nama aslinya Burhanuddin Rasuan. Rasuan adalah nama kampungnya di Ogan
Komiring Ulu, Sumsel.

Bur adalah sastrawan besar. Novelnya, Tuyet,
saya baca dua kali. Ia-lah yang menciptakan kata ‘santai’ menjadi kata baku
dalam bahasa Indonesia. Konon kata itu ia comot dari bahasa di daerahnya.

Baca Juga :  Kualitas Pengelolaan Keuangan Akan Ditingkatkan

Di masa tuanya almarhum Mas Bur –begitu saya
memanggilnya– menjadi dosen filsafat di Universitas Indonesia.

Senin lalu saya bertemu kembali dengan Arselan
Harahap. Lewat Zoom. Masih bekerja untuk LP3ES. Lagi menyelesaikan buku tentang
Bung Hatta.

Wajahnya masih sangat segar. Gaya Jogja-nya
masih sangat lembut –ia alumnus Universitas Gajah Mada.

“Dahlan, Anda berkhianat dua kali,”
ujarnya sambil tertawa ngakak.

Yang satunya apa ya?

“Berdasarkan kontrak, Anda harus kembali
ke Samarinda. Untuk memajukan koran di Kaltim,” katanya.

Rupanya Arselan lupa.

Saya benar-benar sudah kembali ke Kaltim. Ke
Samarinda. Tetap bekerja lagi di koran Mimbar Masyarakat –koran mahasiswa yang
beralih ke koran umum.

Memang, ketika pendidikan di LP3ES itu berakhir
Mas Bur minta saya: jangan pulang. “Anda di Jakarta saja. Anda memenuhi
syarat jadi wartawan TEMPO,” ujarnya.

Tapi saya menjawab bahwa saya terikat kontrak.
Mas Bur ngotot. Tapi saya tidak mau. “Ya sudah. Anda pulang ke Kaltim tapi
jadi wartawan TEMPO juga di sana,” ujarnya.

“Bolehkah saya tetap merangkap di Mimbar
Masyarakat?“ tanya saya.

“Boleh,” jawabnya.

Besoknya saya pulang ke Samarinda. Sudah
membawa kartu pers sebagai wartawan TEMPO. Gagahnya bukan main –menurut
perasaan saya.

Begitulah. Kalau Senin lalu saya ‘berkhianat’
lagi, ceritanya seperti itu. Saya tidak senang, tapi apa boleh buat.

Sebenarnya masih ada satu ‘pengkhianatan’ lagi.
Tahun kedua sebagai wartawan TEMPO saya ‘berselingkuh’. Setiap hari saya
menulis berita untuk harian Kompas.

Menunggu tulisan dimuat di TEMPO terlalu lama
–maklum mingguan. Di Kompas begitu cepat prosesnya. Hari ini dikirim, besoknya
sudah bisa dibaca.

Enam bulan kemudian, seorang redaktur Kompas ke
Samarinda. Khusus untuk menemui saya. Ia minta saya monoloyalitas –hanya
menulis untuk Kompas. Saya akan secara resmi diangkat sebagai wartawan Kompas.

Saya yang justru gementeran.

Saya mengalami kesulitan bagaimana bisa pamit
dari TEMPO.

Justru saat itu saya menolak dikawini Kompas.
Saya pun mengirim surat ke pimpinan TEMPO. Saya menceritakan perselingkuhan
saya itu. Lalu minta maaf. Tobat. Sejak itu saya menyatakan kesetiaan seumur
hidup pada TEMPO.

Bahwa kemudian saya tidak di TEMPO lagi
sepenuhnya itu atas penugasan resmi dari TEMPO.

Semua itu karena LP3ES. Bagaimana bisa saya
menolak untuk sekedar berbicara tentang BUMN –di Zoom.

Ampunilah.(Dahlan Iskan)

 

Sudah lebih enam tahun saya puasa bicara BUMN
di depan umum. Senin kemarin pecah telur.

Minggu lalu saya memang dalam kebimbangan
besar. Mau atau tidak. Untuk berbicara di depan umum –dengan tema BUMN.
Biasanya saya tegas saja: tidak mau.

Kali ini yang minta adalah LP3ES (Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Lewat direkturnya
yang baru: Prof. Dr. Didik J Rachbini.

Sungguh kurang ajar kalau sampai saya menolak.
Dan lagi menteri BUMN-nya kan sudah berganti. Saya merasa banyak kecocokan
dengan Erick Thohir –menteri BUMN yang sekarang.

Dengan menteri yang lalu pun saya tidak punya
masalah. Tapi rasanya tidak etis kalau saya mengomentari kebijakan pengganti
saya. Saya pun memilih bersikap diam.

Memang sesekali saya menyinggung dalam tulisan.
Tapi sangat terkontrol. Misalnya saat BUMN berhasil mengambil alih Freeport. Saya
memberikan pujian.

Lalu soal blackout listrik
akibat pohon sengon yang bergoyang di dekat Semarang.

Selebihnya saya selalu menolak undangan
seminar. Juga menolak wawancara koran maupun televisi.

Tapi Senin lalu saya harus ‘berkhianat’. LP3ES
terlalu berarti bagi perjalanan hidup saya.

Peristiwanya terjadi tahun 1975.

Saat saya masih bujangan.

Umur saya baru 24 tahun.

Saya adalah reporter sebuah koran kecil di kota
yang amat kecil: Samarinda. Korannya empat halaman. Terbitnya seminggu sekali.
Sering juga tidak terbit.

Teknologi koran itu membuat saya bersyukur:
bisa merasakan seperti hidup di tahun 1940-an. Penyusunan huruf di
percetakannya persatu huruf.

Huruf itu terbuat dari timah. Huruf ‘a’
berkumpul menjadi satu di satu kotak. Demikian juga ‘b’, ‘c’ dan seterusnya.
Lalu ada kotak-kotak lain untuk huruf besar.

Pegawai penyusun huruf itu sering tidak masuk.
Itu memberi kesempatan pada saya untuk belajar menyusunnya secara benar.

Akhirnya bisa.

Saya sering tidak perlu menulis berita. Hasil
wawancara langsung saya susun di tempat huruf-huruf itu. Saya juga bisa memutar
mesin cetak yang masih menggunakan tangan.

Saya beruntung mengalami zaman paling belakang
di teknologi cetak. Kalau ke museum –di Amerika, misalnya– saya bisa
menjelaskan bagaimana cara kerja benda kuno itu.

Setahun di koran itu saya mendengar ada
pengumuman: LP3ES menyelenggarakan pendidikan wartawan muda –khusus dari
daerah-daerah. Tujuannya: untuk mendorong demokratisasi di daerah-daerah
–lewat pers yang maju.

Peminatnya banyak sekali. Lebih 1.000 orang.
Tapi hanya 10 orang yang akan diterima. Seleksi pun diadakan di seluruh
Indonesia.

Salah seorang pimpinan LP3ES datang ke
Samarinda. Saya masih ingat namanya: Arselan Harahap. Kalau tidak ada ‘Harahap’
di belakang nama itu saya kira ia orang Jogja. Sopannya luar biasa. Halusnya
sangat lembut. Mirip kehalusan pembawaan politisi Akbar Tanjung.

Baca Juga :  Pemkot Serius Tingkatkan SDM, Hadapi Pemindahan Ibu Kota

Saya lolos seleksi.

Saya harus ke Jakarta. Selama 3 bulan.
Senangnya bukan main. Bisa melihat Jakarta.

Kami –dari Medan, Padang, Palembang, Bandung,
Surabaya, Bali, Makassar, Banjarmasin, Mataram dan Samarinda– diasramakan di
Wisma Seni, Taman Ismail Marzuki.

Malam hari kami dididik teori jurnalistik.
Tempatnya di kantor LP3ES –saat itu di Jalan Jambu, Jakarta. Dari TIM kami
berjalan kaki ke tempat pendidikan itu.

Pengajar jurnalistiknya Amir Daud –wartawan
senior saat itu. Kami diawasi dari malam ke malam. Sesekali pimpinan tertinggi
LP3ES meninjau kami: Nono Anwar Makarim (ayahanda Mendikbud sekarang) dan
wakilnya, Ismet Hadad.

Siang hari kami disebar ke tempat praktik:
dititipkan di koran-koran nasional. Siapa-magang-di-mana ditentukan lewat
undian.

Sebelum undian saya berdoa keras: semoga dapat
tempat magang di harian Kompas. Itulah koran paling bergengsi saat itu. Koran
terbesar di Indonesia.

Kalaupun meleset, semoga di majalah TEMPO.

Ada doa tambahan: semoga jangan mendapat undian
di harian PosKota. Yang terkenal sebagai spesialisasi berita kriminal.

Kompas dan TEMPO adalah bacaan saya setiap hari
di Samarinda. Tiap habis maghrib saya ke agen koran: tidak sabar mendapat koran
keesokan harinya.

Saya begitu mengidolakan wartawan-wartawan
Kompas seperti Emmanuel Subangun dan Parakitri Simbolon. Saya hafal semua nama
redaktur TEMPO dan wartawannya.

Nama seperti Salim Said, Syu’bah Asa, Putu
Wijaya, George Yunus Adicondro hafal lengkap dengan foto wajah mereka. Apalagi
unsur pimpinannya: saya dewakan.

Dan saya mendapat undian di Majalah TEMPO
–alhamdulillah. Kantornya masih di Jalan Senin Raya 83. Di lantai atas sebuah
toko.

Di TEMPO saya hanya akan 1,5 bulan. Akan ada
rotasi. Saya harus pindah ke media lain. Diundi lagi.

Saya berdoa keras lagi: agar mendapat tempat di
Kompas. Pokoknya jangan sampai di PosKota.

Arselan Harahap datang ke TEMPO. Untuk
menjemput saya. Waktu magang di situ sudah habis.

Tiba-tiba Arselan marah sekali. “Anda
tidak boleh dipindah dari TEMPO,” ujarnya. “Pimpinan TEMPO minta agar
Anda tetap di sini,” tambahnya. “Ini merusak program LP3ES,”
gerutunya.

Saya diam saja.

Dalam hati saya senang sekali.

Hari berikutnya saya diberitahu oleh pimpinan
redaksi TEMPO. “Saya minta Anda tetap di TEMPO,” ujar Bur Rasuanto
–nama aslinya Burhanuddin Rasuan. Rasuan adalah nama kampungnya di Ogan
Komiring Ulu, Sumsel.

Bur adalah sastrawan besar. Novelnya, Tuyet,
saya baca dua kali. Ia-lah yang menciptakan kata ‘santai’ menjadi kata baku
dalam bahasa Indonesia. Konon kata itu ia comot dari bahasa di daerahnya.

Baca Juga :  Kualitas Pengelolaan Keuangan Akan Ditingkatkan

Di masa tuanya almarhum Mas Bur –begitu saya
memanggilnya– menjadi dosen filsafat di Universitas Indonesia.

Senin lalu saya bertemu kembali dengan Arselan
Harahap. Lewat Zoom. Masih bekerja untuk LP3ES. Lagi menyelesaikan buku tentang
Bung Hatta.

Wajahnya masih sangat segar. Gaya Jogja-nya
masih sangat lembut –ia alumnus Universitas Gajah Mada.

“Dahlan, Anda berkhianat dua kali,”
ujarnya sambil tertawa ngakak.

Yang satunya apa ya?

“Berdasarkan kontrak, Anda harus kembali
ke Samarinda. Untuk memajukan koran di Kaltim,” katanya.

Rupanya Arselan lupa.

Saya benar-benar sudah kembali ke Kaltim. Ke
Samarinda. Tetap bekerja lagi di koran Mimbar Masyarakat –koran mahasiswa yang
beralih ke koran umum.

Memang, ketika pendidikan di LP3ES itu berakhir
Mas Bur minta saya: jangan pulang. “Anda di Jakarta saja. Anda memenuhi
syarat jadi wartawan TEMPO,” ujarnya.

Tapi saya menjawab bahwa saya terikat kontrak.
Mas Bur ngotot. Tapi saya tidak mau. “Ya sudah. Anda pulang ke Kaltim tapi
jadi wartawan TEMPO juga di sana,” ujarnya.

“Bolehkah saya tetap merangkap di Mimbar
Masyarakat?“ tanya saya.

“Boleh,” jawabnya.

Besoknya saya pulang ke Samarinda. Sudah
membawa kartu pers sebagai wartawan TEMPO. Gagahnya bukan main –menurut
perasaan saya.

Begitulah. Kalau Senin lalu saya ‘berkhianat’
lagi, ceritanya seperti itu. Saya tidak senang, tapi apa boleh buat.

Sebenarnya masih ada satu ‘pengkhianatan’ lagi.
Tahun kedua sebagai wartawan TEMPO saya ‘berselingkuh’. Setiap hari saya
menulis berita untuk harian Kompas.

Menunggu tulisan dimuat di TEMPO terlalu lama
–maklum mingguan. Di Kompas begitu cepat prosesnya. Hari ini dikirim, besoknya
sudah bisa dibaca.

Enam bulan kemudian, seorang redaktur Kompas ke
Samarinda. Khusus untuk menemui saya. Ia minta saya monoloyalitas –hanya
menulis untuk Kompas. Saya akan secara resmi diangkat sebagai wartawan Kompas.

Saya yang justru gementeran.

Saya mengalami kesulitan bagaimana bisa pamit
dari TEMPO.

Justru saat itu saya menolak dikawini Kompas.
Saya pun mengirim surat ke pimpinan TEMPO. Saya menceritakan perselingkuhan
saya itu. Lalu minta maaf. Tobat. Sejak itu saya menyatakan kesetiaan seumur
hidup pada TEMPO.

Bahwa kemudian saya tidak di TEMPO lagi
sepenuhnya itu atas penugasan resmi dari TEMPO.

Semua itu karena LP3ES. Bagaimana bisa saya
menolak untuk sekedar berbicara tentang BUMN –di Zoom.

Ampunilah.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru