29.7 C
Jakarta
Wednesday, November 27, 2024

Grand Jury

INILAH cara yang sangat baik dalam menentukan salah atau tidak salah. Kekhawatiran meledaknya kerusuhan besar pun tidak terjadi.

Padahal sejak Senin lalu kantor-kantor penting pemerintah di kota itu sudah diminta tutup. Agar jangan sampai menjadi sasaran amukan massa –yang lagi naik daun di Amerika.

Sudah lebih lima bulan. Seperti tiada hari tanpa demo di Louisville –kota kelahiran dan makam petinju Mohamad Ali itu. Yakni sejak polisi menembak wanita kulit hitam, lewat tengah malam, ketika wanita itu lagi tidur bersama pacarnyi di apartemennyi.

Itu 13 Maret 2020 –ketika wabah Covid-19 sudah mulai melanda Amerika tapi baru akan masuk Indonesia.

Nama wanita itu: Breonna Taylor. Umur 26 tahun. Pekerjaan: teknisi alat kesehatan.

Dari sertifikat kematiannyi disebutkan: badannyi terkena tembakan sebanyak 5 kali.

Yang menembak adalah polisi kulit putih.

Maka meledaklah Kota Louisville, yang salah satu daya tarikya adalah karena terletak di tepi sungai Mississippi.

Apalagi kejadian “polisi kulit putih menembak orang kulit hitam” lagi jadi topik di seluruh negeri. Kali ini korbannya wanita muda. Tak sersenjata pula.

Apalagi setelah itu segera tersiar berita bahwa malam itu polisi langsung menendang pintu apartemen tanpa lebih dulu memberikan ketukan. Juga tidak ada pemberitahuan siapa mereka yang datang itu.

Pacar Taylor pun, pemuda bernama Kenneth Walker, terbangun. Langsung menembakkan senjata ke arah pintu. Mengenai salah satu polisi –sedikit luka. Rupanya sang pacar membawa senjata. Yang setelah diusut ia memang punya izin untuk memiliki senjata.

Mendengar tembakan dari dalam itu polisi langsung melalukan berondongan tembakan. Sampai 20 atau 30 kali. Terkena si cewek. Tewas seketika. Sedang cowoknya selamat.

Begitu seriusnya peristiwa malam itu sampai diputuskan untuk membentuk Grand Jury. Untuk menilai apakah tiga polisi tersebut bersalah.

Rabu kemarin memang dijadwalkan Grand Jury mengumumkan hasil kerja mereka. Antisipasi pun dilakukan. Kantor-kantor penting ditutup sejak Senin. Situasi kota Louisville tegang. Seperti hamil tua.

Baca Juga :  Virus Corona Tidak Lebih Mematikan Dari SARS

Keputusan Grand Jury akhirnya diumumkan: mengecewakan keluarga Tylor.

“Adikku Taylor yang sangat aku cintai, kamu kalah hari ini,” ujar kakak wanitanyi, seperti disiarkan luas media Amerika.

Tapi tidak terjadi kurusuhan.

Louisville aman.

Saya ikut lega. Saya beberapa kali ke Louisville, termasuk saat menghadiri pemakaman Mohamad Ali tiga–empat tahun lalu.

Lembaga Grand Jury rupanya sangat dipercaya di Amerika.

Sistem hukum di Amerika memang mengenal apa yang disebut juri. Ketika ada seseorang yang dijadikan tersangka, bukan hakim yang menyatakan bersalah atau tidak. Yang memutuskan adalah juri.

Kalau juri sudah memutuskan si A bersalah, barulah hakim memutuskan berapa lama hukumannya.

Siapa juri itu?

Untuk perkara biasa dewan juri itu terdiri dari 9 sampai 12 orang. Mereka adalah warga kota itu. Siapa saja. Yang dipilih secara acak oleh pengadilan.

Warga-kota yang dipilih harus mau –kecuali punya alasan yang bisa dibenarkan, misalnya sakit.

Kesibukan pekerjaan atau kerepotan keluarga tidak bisa dijadikan alasan.

Yang menolak menjadi juri akan dianggap contempt of court –-menghina pengadilan. Bisa dihukum.

Keberadaan Jury itu dirahasiakan. Mereka harus dikarantina, biasanya di hotel. Tidak boleh bertemu siapa pun, membaca apa pun, menonton sesuatu pun.

Ada yang diizinkan bertanya kepada terdakwa atau saksi. Atau melihat barang bukti. Ada juga yang sifatnya pasif. Hanya mendengar pertanyaan jaksa atau pembela. Juga mendengar jawaban-jawaban terdakwa. Tetap dari tempat yang tersembunyi.

Mereka lantas membuat keputusan: bersalah atau tidak. Kalau pun menyatakan bersalah kesalahan yang mana –jaksa biasanya menuduh terdakwa dengan beberapa tuduhan.

Yang di Louisville ini agak beda. Namanya saja Grand Jury. Jumlah jurinya sampai 23 orang. Waktu sidangnya 6 bulan –malam-malam mereka dibolehkan pulang untuk minta “jatah” ke istri. Atau menagih “jatah” ke suami.

Bukan berarti selama enam bulan itu tiap hari ada sidang. Hari persidangan itu, kalau dijumlah, hanya 20 hari. Selebihnya untuk mempelajari berkas-berkas perkara.

Grand Jury di Louisville ini juga diizinkan minta tambahan saksi. Bahkan diizinkan mengajukan pertanyaan kepada terdakwa. Juga diizinkan melihat barang bukti. Semua itu dilakukan dari tempat yang tidak terlihat.

Baca Juga :  Jaga Kearifan Lokal, Kultur Sosial dan Budaya Dayak

Keputusan Grand Jury yang dibacakan Rabu kemarin adalah: polisi tersebut tidak terbukti melakukan pembunuhan.

Pengadilan sudah memberi izin polisi untuk masuk ke apartemen Taylor tanpa mengetuk pintu. Ini jadi perdebatan. Terutama karena pengadilan kemudian mengharuskan polisi mengetuk pintu. Perubahan putusan itu terjadi ketika polisi sudah berangkat melakukan operasi.

Tapi itu tidak penting.

Polisi mengaku pun malam itu sudah lebih dulu mengetuk pintu tiga kali. Juga sudah meneriakkan bahwa mereka adalah polisi. Itu didengar oleh tetangga kamar yang jadi saksi. Tetangga itu mengatakan mendengar semua itu.

Pacar Taylor sendiri mengaku mendengar ketukan pintu. Tapi tidak mendengar kata-kata “Polisi”. Ia langsung menembakkan senjata karena mengira ada penyusup yang membahayakannya.

Urusan pacar ini tidak berlanjut. Ia punya izin memiliki senjata. Ia juga orang baik. Ia tidak punya catatan kriminal.

Grand Jury rupanya bisa menerima keterangan terdakwa: tiga polisi itu. Bahwa mereka hanya ditugaskan untuk melakukan penggerebekan di alamat tersebut. Polisi punya bukti-bukti: ada kiriman obat bius dengan alamat rumah Taylor itu. Bukti lain: mobil Taylor beberapa kali parkir di tempat tertentu yang terkait dengan perdagangan obat bius.

Pacar lama Taylor memang seorang buron obat bius: Jamarcus Glover. Bisa saja saat itu ia pinjam mobil Taylor.

Setelah tembakan-tembakan itu tiga polisi –Jonathan Mattingly, Brett Hankison, dan Myles Cosgrove– tetap melakukan penggeledahan rumah Taylor: tidak ditemukan obat bius atau pun uang dengan nilai tertentu yang terkait obat bius.

Dua polisi dinyatakan tidak bersalah sama sekali.

Satu polisi, dinyatakan bersalah. Tapi bukan melakukan pembunuhan. Kesalahannya adalah: mengganggu ketenangan tetangga dan mengancam nyawa si tetangga.

Waktu itu salah satu peluru memang mengenai kamar tetangga.

Soal Taylor sampai mati dengan lima luka tembakan?

Itu tragedi.(Dahlan Iskan)

INILAH cara yang sangat baik dalam menentukan salah atau tidak salah. Kekhawatiran meledaknya kerusuhan besar pun tidak terjadi.

Padahal sejak Senin lalu kantor-kantor penting pemerintah di kota itu sudah diminta tutup. Agar jangan sampai menjadi sasaran amukan massa –yang lagi naik daun di Amerika.

Sudah lebih lima bulan. Seperti tiada hari tanpa demo di Louisville –kota kelahiran dan makam petinju Mohamad Ali itu. Yakni sejak polisi menembak wanita kulit hitam, lewat tengah malam, ketika wanita itu lagi tidur bersama pacarnyi di apartemennyi.

Itu 13 Maret 2020 –ketika wabah Covid-19 sudah mulai melanda Amerika tapi baru akan masuk Indonesia.

Nama wanita itu: Breonna Taylor. Umur 26 tahun. Pekerjaan: teknisi alat kesehatan.

Dari sertifikat kematiannyi disebutkan: badannyi terkena tembakan sebanyak 5 kali.

Yang menembak adalah polisi kulit putih.

Maka meledaklah Kota Louisville, yang salah satu daya tarikya adalah karena terletak di tepi sungai Mississippi.

Apalagi kejadian “polisi kulit putih menembak orang kulit hitam” lagi jadi topik di seluruh negeri. Kali ini korbannya wanita muda. Tak sersenjata pula.

Apalagi setelah itu segera tersiar berita bahwa malam itu polisi langsung menendang pintu apartemen tanpa lebih dulu memberikan ketukan. Juga tidak ada pemberitahuan siapa mereka yang datang itu.

Pacar Taylor pun, pemuda bernama Kenneth Walker, terbangun. Langsung menembakkan senjata ke arah pintu. Mengenai salah satu polisi –sedikit luka. Rupanya sang pacar membawa senjata. Yang setelah diusut ia memang punya izin untuk memiliki senjata.

Mendengar tembakan dari dalam itu polisi langsung melalukan berondongan tembakan. Sampai 20 atau 30 kali. Terkena si cewek. Tewas seketika. Sedang cowoknya selamat.

Begitu seriusnya peristiwa malam itu sampai diputuskan untuk membentuk Grand Jury. Untuk menilai apakah tiga polisi tersebut bersalah.

Rabu kemarin memang dijadwalkan Grand Jury mengumumkan hasil kerja mereka. Antisipasi pun dilakukan. Kantor-kantor penting ditutup sejak Senin. Situasi kota Louisville tegang. Seperti hamil tua.

Baca Juga :  Virus Corona Tidak Lebih Mematikan Dari SARS

Keputusan Grand Jury akhirnya diumumkan: mengecewakan keluarga Tylor.

“Adikku Taylor yang sangat aku cintai, kamu kalah hari ini,” ujar kakak wanitanyi, seperti disiarkan luas media Amerika.

Tapi tidak terjadi kurusuhan.

Louisville aman.

Saya ikut lega. Saya beberapa kali ke Louisville, termasuk saat menghadiri pemakaman Mohamad Ali tiga–empat tahun lalu.

Lembaga Grand Jury rupanya sangat dipercaya di Amerika.

Sistem hukum di Amerika memang mengenal apa yang disebut juri. Ketika ada seseorang yang dijadikan tersangka, bukan hakim yang menyatakan bersalah atau tidak. Yang memutuskan adalah juri.

Kalau juri sudah memutuskan si A bersalah, barulah hakim memutuskan berapa lama hukumannya.

Siapa juri itu?

Untuk perkara biasa dewan juri itu terdiri dari 9 sampai 12 orang. Mereka adalah warga kota itu. Siapa saja. Yang dipilih secara acak oleh pengadilan.

Warga-kota yang dipilih harus mau –kecuali punya alasan yang bisa dibenarkan, misalnya sakit.

Kesibukan pekerjaan atau kerepotan keluarga tidak bisa dijadikan alasan.

Yang menolak menjadi juri akan dianggap contempt of court –-menghina pengadilan. Bisa dihukum.

Keberadaan Jury itu dirahasiakan. Mereka harus dikarantina, biasanya di hotel. Tidak boleh bertemu siapa pun, membaca apa pun, menonton sesuatu pun.

Ada yang diizinkan bertanya kepada terdakwa atau saksi. Atau melihat barang bukti. Ada juga yang sifatnya pasif. Hanya mendengar pertanyaan jaksa atau pembela. Juga mendengar jawaban-jawaban terdakwa. Tetap dari tempat yang tersembunyi.

Mereka lantas membuat keputusan: bersalah atau tidak. Kalau pun menyatakan bersalah kesalahan yang mana –jaksa biasanya menuduh terdakwa dengan beberapa tuduhan.

Yang di Louisville ini agak beda. Namanya saja Grand Jury. Jumlah jurinya sampai 23 orang. Waktu sidangnya 6 bulan –malam-malam mereka dibolehkan pulang untuk minta “jatah” ke istri. Atau menagih “jatah” ke suami.

Bukan berarti selama enam bulan itu tiap hari ada sidang. Hari persidangan itu, kalau dijumlah, hanya 20 hari. Selebihnya untuk mempelajari berkas-berkas perkara.

Grand Jury di Louisville ini juga diizinkan minta tambahan saksi. Bahkan diizinkan mengajukan pertanyaan kepada terdakwa. Juga diizinkan melihat barang bukti. Semua itu dilakukan dari tempat yang tidak terlihat.

Baca Juga :  Jaga Kearifan Lokal, Kultur Sosial dan Budaya Dayak

Keputusan Grand Jury yang dibacakan Rabu kemarin adalah: polisi tersebut tidak terbukti melakukan pembunuhan.

Pengadilan sudah memberi izin polisi untuk masuk ke apartemen Taylor tanpa mengetuk pintu. Ini jadi perdebatan. Terutama karena pengadilan kemudian mengharuskan polisi mengetuk pintu. Perubahan putusan itu terjadi ketika polisi sudah berangkat melakukan operasi.

Tapi itu tidak penting.

Polisi mengaku pun malam itu sudah lebih dulu mengetuk pintu tiga kali. Juga sudah meneriakkan bahwa mereka adalah polisi. Itu didengar oleh tetangga kamar yang jadi saksi. Tetangga itu mengatakan mendengar semua itu.

Pacar Taylor sendiri mengaku mendengar ketukan pintu. Tapi tidak mendengar kata-kata “Polisi”. Ia langsung menembakkan senjata karena mengira ada penyusup yang membahayakannya.

Urusan pacar ini tidak berlanjut. Ia punya izin memiliki senjata. Ia juga orang baik. Ia tidak punya catatan kriminal.

Grand Jury rupanya bisa menerima keterangan terdakwa: tiga polisi itu. Bahwa mereka hanya ditugaskan untuk melakukan penggerebekan di alamat tersebut. Polisi punya bukti-bukti: ada kiriman obat bius dengan alamat rumah Taylor itu. Bukti lain: mobil Taylor beberapa kali parkir di tempat tertentu yang terkait dengan perdagangan obat bius.

Pacar lama Taylor memang seorang buron obat bius: Jamarcus Glover. Bisa saja saat itu ia pinjam mobil Taylor.

Setelah tembakan-tembakan itu tiga polisi –Jonathan Mattingly, Brett Hankison, dan Myles Cosgrove– tetap melakukan penggeledahan rumah Taylor: tidak ditemukan obat bius atau pun uang dengan nilai tertentu yang terkait obat bius.

Dua polisi dinyatakan tidak bersalah sama sekali.

Satu polisi, dinyatakan bersalah. Tapi bukan melakukan pembunuhan. Kesalahannya adalah: mengganggu ketenangan tetangga dan mengancam nyawa si tetangga.

Waktu itu salah satu peluru memang mengenai kamar tetangga.

Soal Taylor sampai mati dengan lima luka tembakan?

Itu tragedi.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru