Pun anak Anda: akan selalu
melihat bapaknya. Meski pun sang bapak sedang di tempat yang jauh.
Contohnya anak kecil Yudi Utomo
(Yudiu) ini. Yang setelah besar kelak menjadi ahli nuklir lulusan Amerika. Yang
sekarang menjadi direktur utama salah satu perusahaan –di grup yang saya
dirikan.
Waktu ia masih SD bapaknya
mendapat beasiswa di New York. Selama 6 tahun. Sampai meraih gelar doktor. Di
New York University.
Sang bapak tidak boleh membawa
keluarga.
Tapi Yudiu ikut ke New York
–dalam khayalannya. Ia cari bacaan tentang kota itu. Tentang Amerika Serikat.
Tentang pesawat terbang. Tentang makanan di sana. Tentang apa pun menyangkut
Amerika.
Belum ada internet. Belum ada
Google. Ia harus rajin ke perpustakaan di kotanya, Jogja. Ayahnya dosen di
Universitas Gadjah Mada. Tinggalnya di kompleks perumahan dosen.
Yudiu juga rajin ke toko buku.
Belum ada Gramedia yang sekarang menjadi raja buku di Jogja. Baru ada Gunung
Agung.
â€Waktu SD pun saya sudah hafal
seluruh negara bagian di Amerika,†ujarnya. â€Hafal juga semua ibu kotanya,â€
tambahnya.
Peta Amerika ia kuasai. Peta
kertas itu. Saat matanya sampai ke titik kota New York ia lebih lama memandang
titik itu. â€Di sini bapak saya,†katanya dalam hati.
Setiap kali melihat peta itu
matanya berhenti lagi di New York. Ia bayangkan ayahnya lagi sekolah di situ.
Ia bayangkan kelak ia pun harus sekolah di Amerika.
Maka ia rajin belajar bahasa
Inggris. Waktu nonton tv ia pilih tayangan film Hollywood –untuk menyerap
bahasanya. Setiap melihat turis ia kejar. Kebetulan banyak turis asing di
Jogja. Ia praktekkan bahasa Inggrisnya.
Begitu lulus SMA ia lihat peluang
untuk tes pertukaran pelajar. Ia ikut tes. Enteng. Ia sudah menguasai
Amerika.
Lulus.
Yudiu pun ke Amerika. Mendarat di
San Francisco. â€Ini lah Amerika itu…,†kata hatinya.
Dari pantai barat itu Yudiu harus
menjalani program pengenalan di pantai timur Amerika: di New York. Oh… Di
situlah bapaknya dulu sekolah. Yang ketika ia berhasil ke kota itu ayahnya
sudah kembali ke Jogja. Sudah menjadi wakil rektor IKIP.
Akhirnya Yudiu mendapat orang tua
asuh di negara bagian Oregon. Di pantai barat. Di utaranya San Francisco.
Setelah seminggu di New York, Yudiu harus balik lagi ke pantai barat. Terbang
lagi lima jam.
Di situlah Yudiu masuk SMA. Di
sebuah kota kecil bernama Albany. Ia harus tinggal di sebuah keluarga kulit
putih. Yang juga aktivis gereja.
Pekerjaan â€orang tua angkat†-nya
itu tukang pipa. Bukan orang kaya. TV-nya hitam putih –ketika di rumahnya di
Jogja TV-nya sudah berwarna.
Ia pun harus tinggal satu kamar
dengan anak-anaknya.
Yang Yudiu heran: keluarga ini
kok punya dua mobil. Kelak ia tahu bahwa mobil di Amerika itu penting sebagai
alat kerja –bukan lambang kemewahan. Dan memang tidak mahal.
Ia belajar banyak soal toleransi.
Anak Islam taat yang harus tinggal di keluarga Kristen taat. Yudiu melihat
betapa â€bapakâ€-nya itu menghormati keyakinan Yudiu –termasuk soal makan
babi.
Ia juga belajar hidup. Waktu itu
sepatunya sudah jebol. â€Bapak†nya itu tahu. Lalu membicarakannya.
â€Apakah kamu perlu membeli sepatu
baru?†tanya sang bapak.
â€Iya. Tapi saya tidak punya
uang,†jawab Yudiu.
Sang bapak pun memberi tahu jalan
mendapat uang. Asal Yudiu mau berkeringat. Yakni menjadi tukang potong rumput
di halaman tetangga. Sang bapaklah yang akan mengantarkan ke para tetangga
itu.
Yudiu pun mengambil pelajaran
sangat berharga. Meski masih SMA anak Amerika sudah diajar mandiri. Ia pun
melakukan pekerjaan potong rumput itu. Toh pakai mesin. Mirip dengan bermain.
Yudiu pun bisa membeli sepatu.
Dengan uang hasil keringatnya sendiri.
Ia juga belajar keras –meski
tiap hari juga bermain sepak bola: posisinya penyerang.
Ia ingin punya ijazah SMA Amerika
–meski hanya setahun di situ. Ia harus bisa melahap semua pelajaran SMA. Toh
ia sudah lulus SMA di Jogja.
â€Jadinya saya punya dua ijazah
SMA,†ujar Yudiu saat rekaman video â€Abah Menjawab†di rumah saya.
Di video itu saya yang
mewawancarainya. Akan disiarkan beberapa hari lagi.
Atau mungkin tidak akan pernah
disiarkan.
Tergantung.
â€Tergantung apa?†tanyanya.
“Tergantung Ensterna bisa beroperasi
atau tidak,†jawab saya sambil bercanda.
PT Ensterna Indonesia adalah
perusahaan baru. Yudiu-lah Dirutnya. Itu bergerak di bidang irradiasi. Atau
sterilisasi. Untuk produk apa saja. Bisa buah, alat kesehatan, pakaian, sampai
makanan dan minuman.
Investasinya hampir Rp 200
miliar.
Tiba-tiba ada Covid-19. Terhambat
luar biasa –mestinya. Tenaga ahli dari luar negeri tidak bisa ke Indonesia.
Padahal mesin-mesin sudah tiba di lokasi pabrik: di kompleks industri Tambak
Langon Surabaya.
Saya tidak paham cara kerja mesin
itu. Pun setelah dijelaskan. Sebagai â€anak TK†di bidang itu saya punya
pemahaman sendiri: itulah mesin pembuat petir –sekaligus penipu petir.
Lihat sendiri saja videonya nanti
–jalau jadi disiarkan.
Syarat agar video itu disiarkan adalah:
kalau pabrik Ensterna sudah beroperasi.
Mestinya seminggu lagi: 4 Juli
2020 –bersamaan dengan hari ulang tahun Amerika Serikat: negeri yang
membuatnya bisa beli sepatu pertama. Juga negeri yang membuatnya menjadi doktor
ahli nuklir.
Tapi ada Covid-19. Para ahli luar
negeri tidak bisa datang.
â€Anda kan lebih ahli dari
mereka,†kata saya.
Betul. Tapi mesin ini tiba tanpa
petunjuk apa-apa. Ada rahasia pabrik mesin di situ. Petunjuk itu baru akan
diberikan kelak –setelah mesin diserahterimakan dalam kondisi beroperasi.
Tapi kapan Covid-19 ini berakhir?
Akankah investasi begitu besar harus kalah dari Covid? Bagaimana kewajiban
terhadap banknya nanti?
Yudiu pun membentuk tim
teknologi. Anak-anak muda dari Jogja ia kerahkan: yang lulusan teknik nuklir
UGM. Atau yang semester akhir.
Merekalah yang mengambil alih
peran tenaga asing.
Mesin pun dibuka. Sangat banyak software di
situ yang harus dipelajari. Celaka: semua software dikunci dengan password.
Ada yang akhirnya bisa menemukan
rahasia itu. Begitu dibuka ketemu password lagi. Yang
berikutnya lagi. Password dikunci dengan password.
Satu persatu kesulitan itu
terpecahkan. Saat saya menulis naskah ini tinggal satu password lagi
yang sedang dikeroyok anak-anak muda itu. Yang umurnya 22, 23 dan yang paling
tua 27 tahun.
Tugas saya hanya satu: berdoa. Di
malam-malam saya. (Dahlan Iskan)