28.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Berpikir 1000

Saya berpikir 1000 kali untuk menulis DI’s Way hari ini. Yang ke-1001
saya putuskan: menulis.

Sepanjang semua orang bisa lockdown secara
sukarela, sebenarnya memang tidak perlu lockdown total.

Namun kita menghadapi kenyataan: banyak orang
punya jalan pikiran yang berbeda. Terutama kalau sudah menyangkut agama.

Dan itu tidak mungkin dilawan. Dan sebaiknya memang jangan dilawan.
Tidak bijaksana.

Misalnya begitu banyak yang berpikiran ‘nyawa
itu di tangan Tuhan’. Mereka tidak salah.

Mereka berpegang pada kitab suci: “kalau
sudah waktunya ajal tiba tidak akan bisa dimundurkan atau dimajukan satu detik
pun”.

Ayat tersebut menjadi salah satu ayat favorit.
Artinya: termasuk ayat yang paling sering diindoktrinasikan. Sejak kecil
dagulu. Saya hafal bunyinya dalam bahasa Arab.

Bisa jadi kepopuleran ayat itu sejajar dengan
ayat: bila kalian mensyukuri nikmat Tuhan senantiasa akan ditambah nikmat itu
dan bila kalian tidak mengakui nikmat itu kalian akan mendapat laknat.

Jadi, mati itu di tangan Tuhan. Seperti apa pun Anda lari dari kematian,
Anda mati juga –kalau memang sudah ditentukan saat itu harus mati.

Sebaliknya untuk apa meniadakan salat Jumat.
Kalau memang belum saatnya mati Anda tidak akan mati. Kok sampai mengorbankan
salat Jumat!

Dengan berpegang pada prinsip-prinsip seperti
itu bagi kami mati itu biasa. Tidak menakutkan sama sekali.

Mati itu sudah ditentukan harinya, jamnya dan
detiknya sejak jauh-jauh hari –bahkan sejak sebelum dilahirkan.

Saya ikuti pula pemberitaan di Amerika dengan
intensif. Ternyata di sana banyak juga kelompok gereja yang punya pikiran
mirip-mirip itu.

Umumnya dari kelompok yang mendukung Donald
Trump. Hanya saja jumlahnya tidak sebanyak (dalam persentase) di lingkungan
kami umat Islam di Indonesia.

Pun menghadapi Covid-19 sekarang ini. Jangankan
virus, ke medan perang pun kami tidak takut. Kalau belum waktunya mati tidak
akan mati.

Yang seperti itu sudah menjadi realitas
masyarakat kita. Jangan dimusuhi. Tidak menyelesaikan masalah. Juga tidak
bijaksana.

Ketika Masjid Al Falah Surabaya tidak
melaksanakan salat Jumat (Jumat lalu) ada jemaah yang datang marah-marah. Ia
manyatakan: yang menyuruh tidak jumatan itu pasti PKI (Partai Komunis
Indonesia).

Al Falah adalah masjid besar yang letaknya di
jalan utama Surabaya. Langkahnya itu sangat mengejutkan, memang. Sampai dikecam
sebagai PKI.

Baca Juga :  Bupati Apresiasi PDAM dan RSUD Raih Top BUMD

Saya juga menerima kiriman WA. Dengan nada
bangga –dan ingin menunjukkan kebanggaan itu pada saya: Abah…. Alhamdulillah
masjid di lingkungan saya tetap ramai jumatannya. Di lingkungan kami tidak ada
yang sampai paranoid.

Ibaratnya ikhtiar sudah dianggap paranoid.
Dalam kasus Al Falah Surabaya sebenarnya agak mengherankan.

Lihatlah pertanyaan yang disampaikan kepada
saya ini: mengapa masjid yang biasanya memegang prinsip kuat keagamaan (Quran
Hadis) malah bisa menerima ide tidak perlu ada Jumatan?

Al Falah termasuk dikenal sebagai masjid
seperti itu.

Sebaliknya masjid-masjid yang selama ini
dikenal berorientasi pada ahlusunah yang moderat dan akomodatif justru tetap
melaksanakan salat Jumat?

Saya tidak mampu menjawab pertanyaan itu.
Apalagi yang bertanya itu seorang intelektual. Maka jawaban saya singkat:
justru saya yang ingin menanyakan itu kepada Anda!

Ia lantas menambahkan: mengapa yang selama ini
kita kenal sebagai Wahabi (Saudi Arabia dkk) malah bisa menerima ide libur
jumatan.

Sedang yang ahlusunah malah tidak?

Pertanyaan itu pun menggantung. Saya pilih
diam. Saya sebenarnya tahu jawabnya, tetapi itu termasuk 1002.

Misalnya lagi: Jamaah Tabligh. Kita mengenal
kelompok ini sangat damai. Tidak pernah mau demo, tidak pernah anti-pemerintah,
tidak pernah terkait terorisme.

Namun kali ini nama Jamaah Tabligh dicela di
mana-mana. Sebagai salah satu komunitas penyebar Covid-19.

Kenapa yang seperti itu bisa terjadi di
kelompok Jamaah Tabligh? Saya juga tidak bisa menjawab. Masih harus masuk ke
1003.

Itu awalnya dari acara besar mereka di dekat
Kuala Lumpur. Akhir bulan Februari lalu. Berarti Covid-19 sudah mulai
merajalela saat itu.

Pertemuan itu diikuti puluhan ribu orang. Media
Malaysia menyebut 16.000 orang.

Banyak jemaah dari mancanegara ikut hadir.
Termasuk dari Indonesia. Puluhan ribu orang itu berada dalam satu lokasi selama
tiga hari.

Tidur di situ –seadanya. Makan di situ
–banyak yang masak sendiri. Ibadah bersama. Mendengarkan rangkaian ceramah
bersama.

Begitulah memang kebiasaan di aliran Jamaah
Tabligh. Selalu pindah-pindah tempat. Dari satu negara ke negara lain.

Akhirnya diketahuilah forum di dekat Kuala
Lumpur itu menjadi arena penularan Covid-19.

Separuh dari penderita Covid-19 di Malaysia
terkait dengan acara Tabligh ini. Jumlah penderita di Malaysia mencapai 1.300
orang –tiga hari lalu.

Baca Juga :  Sekolah Terbakar, Siswa Gagal Simulasi USBN

Namun peserta dari luar negeri sudah pulang
semua. Sudah sulit dilacak. Sebagian sudah siap-siap menghadiri pertemuan besar
berikutnya di Indonesia –di dekat Makassar. Yang jadwalnya pekan lalu.

Kelompok ini memang kompak sekali. Saya pernah
ikut pertemuan seperti itu di dekat Karawang. Yang hadir puluhan ribu orang.
Selama tiga hari.

Saya juga pernah ke salah satu pusat kelompok
ini di dekat Lahore, Pakistan.

Setelah pertemuan di dekat Kuala Lumpur itu
muncul pula berita Covid-19 dari banyak negara tetangga.

Dari Kamboja sangat mengejutkan. Tiba-tiba ada
11 penderita baru. Padahal Kamboja termasuk yang paling sedikit penderita
Covid-19-nya.

Sampai hari itu baru ada 11 orang penderita.
Tiba-tiba hari itu naik 100 persen.

Setelah diteliti semua penderita baru itu
adalah orang Khmer muslim. Mereka baru tiba dari Kuala Lumpur itu.

Sampai kemarin jumlah penderita di Kamboja 53
orang dengan tingkat kematian 0.

Pemerintah Vietnam juga sangat menyesalkan
mereka. Vietnam –yang berusaha penderitanya seminim mungkin– merasa
kebobolan.

Banyak orang Nha Trang yang tiba-tiba terkena
Covid-19. Ternyata itu dari komunitas Islam di kota pantai dekat Da Nang itu.
Mereka juga baru pulang dari acara Jamaah Tabligh di dekat Kuala Lumpur.

Kini penderita Covid-19 di Vietnam 94 orang,
tidak satu orang pun meninggal. Sampai kemarin.

Berita yang sama muncul dari Thailand, Filipina
dan Brunei. Meski begitu mereka masih ngotot tetap menyelenggarakan pertemuan
tingkat dunia di dekat Makassar.

Ribuan orang sudah sempat berdatangan. Untung
pemerintah daerah berkeras menghentikan acara itu.

Di Inggris komunitas Islam juga lagi jadi
sorotan. Itu karena 50 persen penderita Covid-19 di Inggris terjadi di
komunitas Islam di sana. Itu data dua hari lalu.

Di Korea Selatan yang jadi sorotan adalah
komunitas gereja. Di Inggris komunitas masjid. Komunitas –agama maupun bukan
agama– memang diketahui sebagai pusat penukaran yang cepat.

Pengurus masjid Al Falah –yang mulai hari
ini lockdown total,
termasuk tidak ada salat jemaah lima waktu– mungkin juga tidak takut mati.

Toh mati urusan masing-masing. Namun harus juga
dicari cara mati yang enak: yang tanpa menularkannya ke orang lain.(dahlan iskan)

 

Saya berpikir 1000 kali untuk menulis DI’s Way hari ini. Yang ke-1001
saya putuskan: menulis.

Sepanjang semua orang bisa lockdown secara
sukarela, sebenarnya memang tidak perlu lockdown total.

Namun kita menghadapi kenyataan: banyak orang
punya jalan pikiran yang berbeda. Terutama kalau sudah menyangkut agama.

Dan itu tidak mungkin dilawan. Dan sebaiknya memang jangan dilawan.
Tidak bijaksana.

Misalnya begitu banyak yang berpikiran ‘nyawa
itu di tangan Tuhan’. Mereka tidak salah.

Mereka berpegang pada kitab suci: “kalau
sudah waktunya ajal tiba tidak akan bisa dimundurkan atau dimajukan satu detik
pun”.

Ayat tersebut menjadi salah satu ayat favorit.
Artinya: termasuk ayat yang paling sering diindoktrinasikan. Sejak kecil
dagulu. Saya hafal bunyinya dalam bahasa Arab.

Bisa jadi kepopuleran ayat itu sejajar dengan
ayat: bila kalian mensyukuri nikmat Tuhan senantiasa akan ditambah nikmat itu
dan bila kalian tidak mengakui nikmat itu kalian akan mendapat laknat.

Jadi, mati itu di tangan Tuhan. Seperti apa pun Anda lari dari kematian,
Anda mati juga –kalau memang sudah ditentukan saat itu harus mati.

Sebaliknya untuk apa meniadakan salat Jumat.
Kalau memang belum saatnya mati Anda tidak akan mati. Kok sampai mengorbankan
salat Jumat!

Dengan berpegang pada prinsip-prinsip seperti
itu bagi kami mati itu biasa. Tidak menakutkan sama sekali.

Mati itu sudah ditentukan harinya, jamnya dan
detiknya sejak jauh-jauh hari –bahkan sejak sebelum dilahirkan.

Saya ikuti pula pemberitaan di Amerika dengan
intensif. Ternyata di sana banyak juga kelompok gereja yang punya pikiran
mirip-mirip itu.

Umumnya dari kelompok yang mendukung Donald
Trump. Hanya saja jumlahnya tidak sebanyak (dalam persentase) di lingkungan
kami umat Islam di Indonesia.

Pun menghadapi Covid-19 sekarang ini. Jangankan
virus, ke medan perang pun kami tidak takut. Kalau belum waktunya mati tidak
akan mati.

Yang seperti itu sudah menjadi realitas
masyarakat kita. Jangan dimusuhi. Tidak menyelesaikan masalah. Juga tidak
bijaksana.

Ketika Masjid Al Falah Surabaya tidak
melaksanakan salat Jumat (Jumat lalu) ada jemaah yang datang marah-marah. Ia
manyatakan: yang menyuruh tidak jumatan itu pasti PKI (Partai Komunis
Indonesia).

Al Falah adalah masjid besar yang letaknya di
jalan utama Surabaya. Langkahnya itu sangat mengejutkan, memang. Sampai dikecam
sebagai PKI.

Baca Juga :  Bupati Apresiasi PDAM dan RSUD Raih Top BUMD

Saya juga menerima kiriman WA. Dengan nada
bangga –dan ingin menunjukkan kebanggaan itu pada saya: Abah…. Alhamdulillah
masjid di lingkungan saya tetap ramai jumatannya. Di lingkungan kami tidak ada
yang sampai paranoid.

Ibaratnya ikhtiar sudah dianggap paranoid.
Dalam kasus Al Falah Surabaya sebenarnya agak mengherankan.

Lihatlah pertanyaan yang disampaikan kepada
saya ini: mengapa masjid yang biasanya memegang prinsip kuat keagamaan (Quran
Hadis) malah bisa menerima ide tidak perlu ada Jumatan?

Al Falah termasuk dikenal sebagai masjid
seperti itu.

Sebaliknya masjid-masjid yang selama ini
dikenal berorientasi pada ahlusunah yang moderat dan akomodatif justru tetap
melaksanakan salat Jumat?

Saya tidak mampu menjawab pertanyaan itu.
Apalagi yang bertanya itu seorang intelektual. Maka jawaban saya singkat:
justru saya yang ingin menanyakan itu kepada Anda!

Ia lantas menambahkan: mengapa yang selama ini
kita kenal sebagai Wahabi (Saudi Arabia dkk) malah bisa menerima ide libur
jumatan.

Sedang yang ahlusunah malah tidak?

Pertanyaan itu pun menggantung. Saya pilih
diam. Saya sebenarnya tahu jawabnya, tetapi itu termasuk 1002.

Misalnya lagi: Jamaah Tabligh. Kita mengenal
kelompok ini sangat damai. Tidak pernah mau demo, tidak pernah anti-pemerintah,
tidak pernah terkait terorisme.

Namun kali ini nama Jamaah Tabligh dicela di
mana-mana. Sebagai salah satu komunitas penyebar Covid-19.

Kenapa yang seperti itu bisa terjadi di
kelompok Jamaah Tabligh? Saya juga tidak bisa menjawab. Masih harus masuk ke
1003.

Itu awalnya dari acara besar mereka di dekat
Kuala Lumpur. Akhir bulan Februari lalu. Berarti Covid-19 sudah mulai
merajalela saat itu.

Pertemuan itu diikuti puluhan ribu orang. Media
Malaysia menyebut 16.000 orang.

Banyak jemaah dari mancanegara ikut hadir.
Termasuk dari Indonesia. Puluhan ribu orang itu berada dalam satu lokasi selama
tiga hari.

Tidur di situ –seadanya. Makan di situ
–banyak yang masak sendiri. Ibadah bersama. Mendengarkan rangkaian ceramah
bersama.

Begitulah memang kebiasaan di aliran Jamaah
Tabligh. Selalu pindah-pindah tempat. Dari satu negara ke negara lain.

Akhirnya diketahuilah forum di dekat Kuala
Lumpur itu menjadi arena penularan Covid-19.

Separuh dari penderita Covid-19 di Malaysia
terkait dengan acara Tabligh ini. Jumlah penderita di Malaysia mencapai 1.300
orang –tiga hari lalu.

Baca Juga :  Sekolah Terbakar, Siswa Gagal Simulasi USBN

Namun peserta dari luar negeri sudah pulang
semua. Sudah sulit dilacak. Sebagian sudah siap-siap menghadiri pertemuan besar
berikutnya di Indonesia –di dekat Makassar. Yang jadwalnya pekan lalu.

Kelompok ini memang kompak sekali. Saya pernah
ikut pertemuan seperti itu di dekat Karawang. Yang hadir puluhan ribu orang.
Selama tiga hari.

Saya juga pernah ke salah satu pusat kelompok
ini di dekat Lahore, Pakistan.

Setelah pertemuan di dekat Kuala Lumpur itu
muncul pula berita Covid-19 dari banyak negara tetangga.

Dari Kamboja sangat mengejutkan. Tiba-tiba ada
11 penderita baru. Padahal Kamboja termasuk yang paling sedikit penderita
Covid-19-nya.

Sampai hari itu baru ada 11 orang penderita.
Tiba-tiba hari itu naik 100 persen.

Setelah diteliti semua penderita baru itu
adalah orang Khmer muslim. Mereka baru tiba dari Kuala Lumpur itu.

Sampai kemarin jumlah penderita di Kamboja 53
orang dengan tingkat kematian 0.

Pemerintah Vietnam juga sangat menyesalkan
mereka. Vietnam –yang berusaha penderitanya seminim mungkin– merasa
kebobolan.

Banyak orang Nha Trang yang tiba-tiba terkena
Covid-19. Ternyata itu dari komunitas Islam di kota pantai dekat Da Nang itu.
Mereka juga baru pulang dari acara Jamaah Tabligh di dekat Kuala Lumpur.

Kini penderita Covid-19 di Vietnam 94 orang,
tidak satu orang pun meninggal. Sampai kemarin.

Berita yang sama muncul dari Thailand, Filipina
dan Brunei. Meski begitu mereka masih ngotot tetap menyelenggarakan pertemuan
tingkat dunia di dekat Makassar.

Ribuan orang sudah sempat berdatangan. Untung
pemerintah daerah berkeras menghentikan acara itu.

Di Inggris komunitas Islam juga lagi jadi
sorotan. Itu karena 50 persen penderita Covid-19 di Inggris terjadi di
komunitas Islam di sana. Itu data dua hari lalu.

Di Korea Selatan yang jadi sorotan adalah
komunitas gereja. Di Inggris komunitas masjid. Komunitas –agama maupun bukan
agama– memang diketahui sebagai pusat penukaran yang cepat.

Pengurus masjid Al Falah –yang mulai hari
ini lockdown total,
termasuk tidak ada salat jemaah lima waktu– mungkin juga tidak takut mati.

Toh mati urusan masing-masing. Namun harus juga
dicari cara mati yang enak: yang tanpa menularkannya ke orang lain.(dahlan iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru