MEMASUKI pertengahan tahun 2019, mungkin bagi sebagian
orang tidak menyadari Indonesia memasuki kemewahan demografi yang belum tentu
dimiliki di negara lain. Jumlah penduduk usia produktif (15-65 tahun) lebih
banyak dibandingkan jumlah penduduk tidak produktif (usia di bawah 15 tahun dan
di atas 65 tahun).
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam proyeksinya menyebutkan populasi penduduk
Indonesia pada 2019 diperkirakan mencapai 266,91 juta jiwa. Proporsi jumlah
penduduk usia produktif (usia 15-65 tahun) sebanyak 183,36 juta jiwa atau 68,7
persen total populasi.
Bahkan pada tahun 2024, angkanya berpotensi meningkat hingga 282 juta
dan di tahun 2045 sekitar 317 juta jiwa.Tidak salah bila penduduk usia produktif
terutama generasi mudanya disebut masa depan bangsa Indonesia.
Bisa dibayangkan dengan kondisi tersebut maka potensi untuk pembangunan
tentunya akan lebih besar. Hal ini bisa menjadi peluang ataukah justru menjadi
bencana.Namun kini memasuki era digital, kehadiran ponsel pintar atau
smartphone bisa menjadi peluang yang digunakan sebagai sarana yang positif
untuk mempercepat pembangunan.
Mudahnya memperoleh smartphone, tidak selamanya berdampak positif, namun
juga mempunyai dampak buruk. Membanjirnya aplikasi, film, dan game online yang
merasuki generasi muda saat ini banyak dikeluhkan orang tua termasuk pendidik.
Jangan heran kini banyak anak muda gandrung dan sibuk dengan smartphone-nya
masing-masing di tangan.
Menurut data Scientist Sharing Vision, menyebutkan Indonesia pada tahun
2019 pengguna smartphone diperkirakan meningkat 26,17 persen menjadi 140,4
Juta. Begitu pun untuk penggunaan internet akan meningkat 12,8 persen menjadi
178,4 Juta. Sementara untuk pengguna mobile internet meningkat 9,23 persen
diprediksi menjadi 89,4 Juta. Sungguh tren peningkatan yang sangat luar biasa.
Bagi sebagian orang tua di zaman yang serba gawai, sudah mulai
membiasakan anak-anaknya dengan smartphone bahkan sedari kecil. Tapi sadarkah
bahwa saat ini generasi muda kita sedang mengalami ancaman yang sangat serius
terkait gawai. Penggunaan smartphone yang berlebihan bisa berdampak terhadap
psikis bahkan kerusakan otak anak.
Sekarang coba perhatikan anak-anak di sekitar kita, apakah mereka
gelisah jika smartphone-nya tidak ada. Ataukah mereka betah berlama-lama untuk
main game atau sekadar menonton youtube atau film di gawainya. Kecanduan
smartphone namanya, dan apakah orang tua sadar bahwa anak kita terancam dengan
suatu penyakit yang menyerang otak. Penyakit itu bernama demensia digital.
Istilah demensia digital pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan saraf
terkemuka asal Jerman yaitu dr. Manfred Spitzer (2012). Demensia digital
menggambarkan penggunaan teknologi digital yang berlebihan akan mengakibatkan
penurunan kemampuan kognitif. Menurutnya bahwa memori jangka pendek seseorang
akan mulai memburuk karena menggunakan teknologi secara berlebihan. Beliau
memperingatkan tentang bahaya gawai bagi anak-anak karena dapat menyebabkan
kegagalan dalam perkembangan otak yang bersifat permanen.
Dampak jangka panjang yang timbul dapat menyebabkan keterbelakangan dan
perkembangan emosi pada anak. Celakanya anak-anak lebih berisiko dibanding
orang dewasa, karena di usia anak-anak otaknya masih dalam proses pertumbuhan.
Dikhawatirkan menjelang tahun 2034 yang diprediksi akan menjadi puncak bonus
demografi, anak-anak muda Indonesia akan lebih banyak menggunakan smartphone
untuk “bersenang-senang†ketimbang untuk mengasah kognitif agar terangsang
berfikir cerdas dan kreatif.
Diharapkan masyarakat Indonesia dapat mengambil manfaat dari penggunaan
teknologi smarthpone untuk menjadi peluang dalam mengembangkan kemampuan daya
nalar berpikir kreatif dan tentunya dapat meningkatkan
kesejahteraan. Di tahun-tahun mendatang Indonesia bisa digdaya maju di tangan
generasi muda yang produktif, tapi bisa juga terjun bebas ke lembah
keterpurukan di tangan generasi muda yang teracuni oleh penggunaan smartphone
yang berlebihan dan berdampak negatif.
Selaku pribadi, orang tua, masyarakat sosial dan juga pemerintah saatnya
untuk memberikan pendidikan dan pemahaman yang baik dan benar kepada anak-anak
muda dalam penggunaan smarthphone ke arah positif. Mulai dari rumah, sekolah,
lingkungan sekitar dan terutama berkaca pada diri sendiri apakah kita sudah
proporsional dalam menggunakan smartphone. Jawabanya ada pada pribadi
masing-masing.
Oleh karenanya, jangan racuni generasi muda dengan memberikan smartphone
secara berlebihan, tempatkan smartphone sebagai alat edukasi yang bernilai
positif. Lindungi dan sayangi anak-anak kita dari pengaruh negatif smartphone
dan jangan jadikan mereka kecanduan smartphone, percayalah kehidupanya yang
cerah dapat mencerahkan muka bangsa Indonesia kedepan.
Dengan adanya pengawasan dan sikap saling peduli terhadap penggunaan
smarthphone di kalangan generasi muda, diharapkan bonus demografi dapat
dimanfaatkan sebagai peluang yang baik. Bukan justru malah menjadi bencana ke
depannya. (*)
(Penulis ada Fungsional Statistisi Ahli Muda BPS Pinrang)